Translate

Tuesday, October 11, 2016

TUJUAN PENDIDIKAN SUFISTIK MENURUT SYEIKH IBNU TAIMIYAH


MUHASSABAH
Pembahasan tentang tujuan pendidikan ini disarikan dari Majmu’ Fatawa karya Syeikh Ibnu Taimiyah, jilid ke sepuluh. Menurutnya,  bahwa tujuan pendidikan yang paling tinggi dan menyeluruh adalah menumbuhkan aqidah dan al-wala (al-wala: kata jadian dari kata waliya yang bermakna dekat, mendekat diri, taqorrub kepada Allah SWT.)

Menjadikan seluruh perbuatan murni untuk Allah dan istiqomah pada semua aspeknya menurut syarirat-Nya, disertai penambahan pemahaman seorang muslim tentang keislaman yang bersifat pokok, yang membuatnya bangga terhadap Islam, serta mampu mendakwahkannya dihadapan semua orang. Dalam makna lain, bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah ibadah yang sempurna kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan kata lain ma’rifah kepada Allah.

Ibadah dalam pengertian Syeikh Ibnu Taimiyah ada dua macam: Ibadah Kauniyah dan Ibadah Diniyah.

Ibadah Kauniyah, seperti pengakuan bahwa Allah yang telah menciptakan kita, dan bahwa manusia tunduk kepada sunnah yang mengatur alam ini.
Ibadah Diniyah, seperti pengakuan bahwa penghambaan dan ketaatan hanya untuk Allah semata, sebagaimana syariat yang telah ditetapkan-Nya untuk kita. Ibadah Diniyah, menetapkan penataan hubungan seorang muslim dengan Khaliqnya, juga penataan hubungan antar individu muslim dan masyarakat sekitarnya. Atas dasar itu, maka jenis ibadah ini dapat dibagi kepada dua macam:
1). Menumbuhkan aspek kepribadian dan pentingnya penyucian diri (Tazkiyyatun Nufus), serta menata hubungan manusia dengan Khaliqnya.
2). Mengajar dan melatih hidup bermasyarakat.

Adapun rincian mengenai tujuan umum pendidikan Islam menurut Syeikh Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:
a). Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
b). Tawakkal kepada Allah.
c). Memurnikan atau keikhlasan ibadah hanya untuk Allah.
d). Bersyukur kepada Allah.
e). Sabar.
f). Takut dan berharap (kepada Allah).
g). Iman kepada qadr.

Tujuan umum kedua, pengenalan terhadap diri manusia dan tindakan dalam upaya menyucikan. Hal ini memuat:
1). Penumbuhan aspek kemasyarakatan, yang terdiri atas aspek kemasyarakatan yang muncul ketika seseorang berinteraksi dengan individu-individu masyarakat, dan aspek yang muncul ketika masyarakat muslim bergaul dengan masyarakat lainnya.
2). Pembinaan emosi kemanusiaan yang terangkum dalam penyakit-penyakit qalbu, seperti takabur, iri, dengki dan cinta dunia.
Dari dua tujuan-tujuan umum diatas, tentu saja tidak semua akan dibicarakan, pada kesempatan penulisan ini hanya akan membahas bagian pertama saja.

Menumbuhkan Keimanan Kepada Allah SWT.
 Menurut Syeikh Ibnu Taimiyah, penumbuhan keimanan kepada Allah merupakan sasaran pokok dalam praktek pendidikan. Setiap pendidikan yang melalaikan dan meremehkan arti penting aspek ini dikategorikan sebagai pendidikan yang menyimpang.
Sementara Allah adalah sebagai pemberi nikmat yang begitu banyak kepada kita, yang tidak ada bandingannya. Karenanya menjadi keharusan bagi setiap Lembaga Pendidikan untuk memperkenalkan kepada para pelajar asma’ Allah berikut sifat-sifatnya yang baik. Hal ini secara jelas ditampakkan dalam ayat Al-Qur’an yang mengaitkan orang yang beriman dengan rasa takut kepada Allah.
Allah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ‘Ulama”

Ibnu Taimiyah mengedepankan pentingnya hubungan manusia dengan Khaiqnya, dan memasukkan bagian kedalam aspek a’mal al-Qulub (aktifitas Qalbu), dalam rangka memelihara kesinambungan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, kemurnian ibadah kepada Allah, tawakal, sabar, syukur, rasa takut dan berharap, serta qadha dan qadr.

Ibnu Taimiyah memandang penting untuk selalu memperbaiki qalbu, sebab pola manusia tidak selaras dengan program Allah kecuali dengan memperbaiki qalbu lewat cara memperbaharui keimanan dan meluruskannya dari segala penyimpangan.

Al-Qur’an dan Sunnah sangat memperhatikan kesucian qalbu, sebagai tempat iman dan taqwa. Hal ini terwujud dengan ibadah yang ikhlas kepada Allah. Selain itu, hati juga sebagai tempat ma’rifat dan ilmu, sebagai pusat kekufuran dan sumber kebaikan serta kejelekan. Hati pula yang dapat merenung, berfikir dan berdzikir. Demikian juga ditempat tumbuhnya perasaan cinta dan benci, sayang dan murka. Diantara sifat-sifat yang baik adalah damai, suci, cinta kepada keimanan dan taqwa. Diantara sifat-sifat yang buruk adalah cinta kepada kekufuran, kelalaian, ragu dan kesesatan. (Muhammad Ali Al-Jauzi, Mafhum al-‘Aql wa al-Qlb fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, t.t, h.239).

Tempat hati adalah didalam dada manusia. Pada dasarnya hati itu baik, tetapi dapat berubah menjadi buruk, lalu mengikuti hawa nafsu dan bisikan-bisikan syetan selama tidak dibentengi iman. Namun demikian, kelurusan dan kebaikan hati dapat terjaga dengan membaca Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an menjadi obat bagi penyakit mental. Mengenai keunggulan Al-Qur’an, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Didalam Al-Qur’an terdapat hikmah dan pelajaran yang baik dalam bentuk berita yang menyenangkan dan menakutkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 10, h.95).

Secara lebih rinci mengenai aktivitas qalbu menurut Ibnu Taimiyah, sebagai berikut;
A). Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa cinta merupakan unsur pokok dalam setiap aktivitas keagamaan, karena dia akan membawa seorang untuk semakin memperkuat kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam bentuk mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa cinta kepada Allah itu ada dua prinsip: Cinta karena kebaikan-Nya, kedua Cinta karena dzat-Nya. Mengenai yang pertama, Allah SWT. mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya karena kebaikan-Nya kepada mereka dan karena keluasan Nikmat-Nya. Jika manusia menyembah Allah dan mencintai-Nya karena alasan ini, maka berarti ia telah mencintai dzat Allah.
Sementara prinsip kedua adalah mencintai karena Dia memang layak untuk dicintai. Nama-nama Allah yang baik serta sifat-sifat-Nya mengharuskan kita harus cinta, yaitu manusia dituntut untuk mencintai Allah dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sulit.
(Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 10, h.96).

Adapun cinta kepada Rasullullah saw., telah menjadi keharusan untuk mencintainya sebagai konsekuensi cinta kepada Allah, sebagaimana Rasul bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.”
(Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy, Jilid 2, h.15).
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya memberikan pengaruh kepada manusia ketika dia melakukan interaksi sosial dalam masyarakat.

B). Tawakkal Kepada Allah.
Ibnu Taimiyah mengganggap tawakkal kepada Allah sebagai bangunan agama dan satu kemuliaan mukmin. Barang siapa yang berpaling, maka dia telah maksiat kepada Allah dan Rasul, dan bahkan dia telah keluar dari hakikat keimanan. Sikap tawakkal berarti iman kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya serta mengikuti petunjuk-Nya dalam seluruh persoalan keagamaan dan keduniawian.

Tawakkal yang benar adalah kepada Allah, sementara tawakkal kepada selain-Nya adalah syirik. Tawakkal seperti itulah yang membedakan orang yang bersungguh-sungguh berusaha dengan yang tidak, karena tawakkal menghendaki adanya sebab. Karenanya tidak ada pertentangan antara perbuatan dengan ketergantungan penuh kepada Allah.

Memang pada dasarnya selalu menuntut adanya sebab bagi setiap perbuatan yang dilakukan. Karenanya jangan mengharapkan adanya hasil tanpa memperlihatkan penyebab awalnya. Hasil dapat diharapkan setelah menciptakan sebabnya, seraya menyerahkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah tidak menyia-nyiakan ganjaran bagi orang yang telah berbuat secara sempurna. Itu sebabnya, menciptakan sebab merupakan syarat pokok bagi terwujudnya hasil yang diharapkan, dan meninggalkan sebab berarti maksiat, dan diharamkan oleh Allah. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menggabungkan ibadah dan tawakkal sebagai dua hal yang menyatu dalam agama.  
Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini kepada empat bagian;
1). Orang yang menyembah Allah, namun tidak bertawakkal kepada-Nya, yaitu orang meninggalkan faktor sebab. Orang yang seperti ini termasuk orang yang lemah, karena orang yang kuat adalah orang meminta pertolongan kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya.
2). Orang yang meminta pertolongan kepada Allah, tetapi tidak taat kepada-Nya dalam ibadah mereka. Mereka beribadah menurut keinginan dan perasaan mereka semata tanpa memperhatikan perintah dan larangan-Nya serta apa yang diridhai-Nya. Kebanyakan dari mereka adalah yang murtad dari Islam.
3). Mereka yang berpaling dari ibadah kepada Allah dan meminta tolong kepada-Nya. Mereka inilah seburuk-buruknya orang.
4). Kelompok orang yang terpuji, mereka menyembah Allah, meminta pertolongan atas dasar ketaatan kepada Allah, dan bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka, yang kepada-Nya mereka menyembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dan kepada Rosul-Nya.

Ibnu Taimiyah berpendirian bahwa bertawakkal dan berdo’a kepada Allah merupakan keharusan dalam hal-hal yang wajib, yang sunnah dan mubah, namun tidak pada hal-hal yang haram. Karenanya tidak dibenarkan seseorang untuk membuat sebab yang mendatangkan kemaksiatan. Dari pemaparan diatas, dapat dikemukakan sifat-sifat tertentu bagi orang-orang yang bertawakkal berikut ini:
a). Keyakinan bahwa Allah berkuasa terhadap alam.
b). Meminta pertolongan kepada Allah berdasarkan ketaatan, yang dapat memperkuat kesempurnaan ibadah kepada-Nya.
c). Membuat sebab-sebab perantara, yang dengannya dapat mempertegas pencapaian tujuan.
Dengan demikian, ada tiga ciri yang menyalahi prinsip-prinsip bertawakkal;
1* Menghilangkan sebab-sebab material-lahiriah dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat duniawi.
2* Menghindari dari keharusan mengikuti ketentuan Allah, dan mengaitkan hal ini kepada qodha dan qadar.
3* Meminta pertolongan kepada Allah sebatas dalam perkataan, tanpa tindakan nyata.

Oleh karena itu, kewajiban pendidik muslim saat ini adalah belajar sekaligus mengajarkan kepada  siswa beribadah kepada Allah, memadukan antara meminta pertolongan dengan mengikuti sunnah-Nya lewat penunaian perintah-Nya sekaligus larangan-Nya. Maksudnya adalah menghadirkan sebab-sebab langsung yang selaras dengan sunnah Allah di alam dan perintah-perintah-Nya di dalam syariat-Nya, menyandarkan qalbu mereka dengan bertawakkal kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa tidak cukup dengan hanya sebab semata kecuali atas izin Allah SWT.

C). Memurnikan atau keikhlasan ibadah hanya untuk Allah.
Sikap ikhlas merupakan asas bagi diterimanya setiap ibadah,  karena hakikat ibadah bukan pada formal luarnya, melainkan keikhlasan yang tumbuh dalam qalbu. Tindakan anggota badan jika tidak diikuti oleh keikhlasan hati dalam beribadah, maka Allah tidak akan menerimanya. Karenanya Ibnu Taimiyah menjelaskan akan pentingnya keikhlasan dalam beribadah ketika dia menggambarkan ikhlas sebagai hakikat islam dan prinsip agama. Itu sebabnya induk Islam adalah syahadat (kesaksian) bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, yang bermakna mengkhususkan ibadah hanya kepada Allah semata. Atas dasar ini, Ibnu Taimiyah mendefinisikan ikhlas dengan: “Pemurnian dari setiap yang disembah kecuali kepada Allah yang telah menciptakan kita”. Maksudnya, beribadah kepada Allah semata, tidak mensyirikkan-Nya dalam beribadah, seraya merendahkan diri, sehingga Allah lebih dicintai dari pada yang lain.

Ibnu Taimiyah membagi Ikhlas kepada dua macam:
1). Ikhlas dalam perbuatan, yaitu keikhlasan beragama untuk Allah dalam bentuk niat dan kehendak. Hal ini terkandung dalam Surat Al-Kafirun.
2). Ikhlas dalam perkataan, yaitu yang terkandung dalam Surat Al-Ikhlas.
Kedua macam ikhlas tersebut harus diwujudkan kedua-duaya secara simultan, karena ucapan Laa Ilaha Illalloh  mengandung kedua makna diatas (perkataan dan perbuatan).

Selanjutnya Ibnu Taimiyah menjelaskan balasan bagi orang yang ikhlas beribadah semata karena Allah adalah Dia akan menghidupkan qalbunya, sehingga terhindar dari kelalaian, terhindar dari perilaku yang buruk dan keji, serta terhindar dari gangguan syaitan, karena syaitan tidak dapat menggelincirkan hamba-hamba Allah yang ikhlas.
Sementara orang yang qalbunya tidak ikhlas, Allah akan menjadikannya hamba bagi kedudukannya atau kekayaannya atau hamba bagi hawa nafsunya. Ibnu Taimiyah mengatakan: “satu hal yang pasti, jika qalbu tidak lurus menghadap Allah, maka dia berpaling kepada selain-Nya, atau malah menjadi musyrik”.

Keikhlasan yang pada dasarnya membangkitkan tindakan dari lubuk jiwa, mengharuskan adanya keselarasan dengan tindakan lahir, yakni perbuatan lahir harus sesuai dengan yang ada didalam jiwa. Jika tidak demikian, maka akan dikategorikan sebagai nifaq, riya’ atau hanya sebagai tindakan biasa yang tidak tergolong ke dalam ibadah.
Seyogyanya bagi seorang pendidik menjadikan tujuan, tindakan dan pikirannya ikhlas karena Allah SWT, yaitu menjadikan seluruh perbuatannya dan aktivitas mendidiknya semata mencari keridhaan Allah. Megharapkan pendidikan pada upaya memperkuat keikhlasan searah dengan pentingnya niat yang benar.

D.) Syukur Kepada Allah.
Bersyukur dan memuji kepada Allah termasuk wajib bagi manusia, terlepas dari apakah yang diperoleh itu kebaikan ataupun keburukan. Karena pujian merupakan buah dari sikap ridha akan qadha dan qadr Allah. Karenanya sebagian mufassir menafsirkan pujian dengan ridha. Rasul adalah pemilik pujian, begitu pula umatnya yang layak untuk dipuji, yaitu orang-orang yang selalu memuji Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesulitan.  
Hadits diatas menunjukkan bahwa setiap ketetapan Allah terhadap seorang mukmin itu baik baginya dalam semua aspek. Jika ia memperoleh kelapangan (kebahagiaan) dia bersyukur, maka dia memperoleh pahala dari Allah dengan jalan menambah kebahagiaannya, yang membuat dia tenang. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, juga memperoleh pahala dengan jalan Allah memberikan rasa tenteram, ia pun jadi tenang.

Ibnu Taimiyah membagi pujian terhadap kebahagiaan dan pujian terhadap kesulitan, masing-masing kepada dua bagian. Pujian terhadap kebahagiaan adalah pujian kepada Allah karena telah menjadi keharusan dirinya, karena Allah telah menjadikan segala sesuatunya, lalu membaguskan ciptaan-Nya; dan pujian atas kebaikan Allah terhadap hamba-Nya yang mukmin, meskipun tampak tidak menyenangkan, karena pilihan Allah untuk orang mukmin itu lebih baik ketimbang pilihan sendiri.

Nikmat-nikmat Allah yang harus disyukuri itu sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya, karena itu wajib bagi manusia memuji Allah dan bersyukur atas nikmatnya, baik ketika dia berdiri maupun ketika duduk. Tatkala manusia ridha akan ketentuan Allah, itu berarti ia memuji Allah, karena dia tahu bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari Allah.
Seorang pendidik hendaknya menanamkan rasa syukur ini pada diri murid dalam setiap keadaan. Menjelaskan kepada mereka tentang cara bersyukur, seperti mensyukuri nikmat Allah dengan cara bersedekah kepada fakir dan miskin, karena sedekah merupakan ibadah yang mengantarkan kepada keridhaan Allah. Atau dengan jalan menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan memberi nasehat dan bantuan kepada seluruh mukmin. Demikian juga bersyukur dengan jiwa dan harta dalam berjihad dijalan Allah, sebab harta dan jiwa juga termasuk nikmat Allah.

E). Sabar.
Sabar merupakan pengendali jiwa terhadap sesuatu yang akan menghalanginya memperoleh keridhaan Allah. Kata sabar telah disebutkan Allah dalam Al-Qur’an lebih dari 90 tempat, yang dikaitkan dengan sholat. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Allah memadukan antara iman dan sabar, karena seorang mukmin itu tahu akan kebenaran, lalu mengikutinya serta bersabar atasnya.
Sabar dibagi kepada tiga macam:
1). Bersabar dalam menunaikan kewajiban, yaitu sabar dalam ketaatan dan terus menerus menunaikannya.
2). Bersabar atas kebenaran.
3). Bersabar dari kemaksiatan, yakni bersabar untuk tidak mengikuti hawa nafsu terhadap sesuatu yang dilarang Allah.
Bersabar dari berbuat maksiat sementara dia dapat melakukannya, Ibnu Taimiyah menganggapnya sebagai jihad. Karena jiwa tidak diiringi kemampuan, maka tidak akan membuat dia tertarik, seperti kecenderungan jiwa akan kedudukan, harta dan sesuatu yang menjijikkan. Namun bila diiringi kemampuan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang diharamkan, tetapi dia bersabar, maka disebut sebagai jihad, bahkan seutama-utamanya jihad.

 Ibnu Taimiyah mengaitkan sabar dengan taqwa, rahmat dan shalat, karena didalam Al-Qur’an Allah telah mengaitkan sabar dengan tiga unsur itu. Dia membagi manusia sesuai dengan lapangan sabar dan taqwa kepada empat bagian:
1* Ahli taqwa dan sabar, dan mereka ini termasuk orang yang beruntung didunia dan akhirat.
2* Orang yang termasuk taqwa tetapi tidak sabar, seperti orang yang menunaikan ketaatan lahiriah dan meninggalkan yang dilarang, tetapi berkeluh kesah ketika di uji.
3* Orang yang sabar tetapi tidak taqwa, seperti pencuri yang dapat bersabar terhadap kesulitan ketika mereka menempuh perjalanan pada saat mencari barang curian dan mengambil harta yang haram.
4* Orang yang tidak taqwa dan sabar ketika di uji. Mereka inilah yang jika seseorang memaksa mereka, mereka merendah kepadanya dan berbuat bohong. Tapi jika mereka yang memaksa orang lain, mereka menjadi orang yang paling sadis, keras hati dan paling tipis rasa kebaikan dan rasa maafnya.

Seorang pendidik dituntut menghiasi diri dengan kesabaran pada saat bergaul dengan para pelajar. Hendaklah dia menjadi orang penyabar disaat melaksanakan tugas mengajar. Demikian juga wajib bagi pendidik memelihara perbedaan antar individu para pelajar, juga hendaknya mengulangi informasi dan memvariasikan metode pengajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa yang dihadapinya. Semua membutuhkan kejelian dan kesabaran. Sikap sabar ini pula menjadi penting dalam pergaulan antar para pendidik, belajar memaafkan dan bersalam-salaman. Kurikulum pendidikan yang kokoh akan berjalan secara mantap ditangan para pelajar yang sabar, dan memberikan penjelasan pada mereka akan manfaat yang besar yang akan mereka petik, jika nilai kebaikan ini memantul dalam perilaku mereka.

F). Takut dan Berharap
Takut adalah peristiwa alamiah dan fitri pada manusia. Lebih jauh, ia berfungsi untuk menjaga manusia dari bahaya dan kebinasaan. Ibnu Taimiyah mendefinisikannya sebagai pencegah dan penghalang dari salah jalan (kesesatan).

Adapun berharap adalah daya jiwa yang fitri sebagai hamparan cita-cita yang ada dihadapan manusia. Sementara Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai ketergantungan hati manusia kepada Allah karena memperoleh cinta-Nya.
Setiap perasaan takut dan harapan terkait dengan kecintaan kepada Allah SWT. karena manusia mengharapkan sesuatu yang dicintainya dan menginginkan terwujudnya sesuatu itu, dan orang yang takut akan menghindar dari sesuatu yang ia takuti menuju kepada sesuatu yang disenangi. Dari situ Ibnu Taimiyah menjelaskan gerakan hati terhadap Allah itu ada tiga; cinta, takut dan berharap. Dan dari ketiga hal itu, cintalah yang paling kuat. Cinta akan menarik manusia untuk mengikuti yang dicintainya dan berjalan diatas ketentuan dan programnya. Kekuatan  cinta seperti ini hendaknya menjadi daya tarik untuk kepada Allah. Takut kepada siksaan Allah akan mencegah manusia terjatuh kedalam sesuatu yang dilarang. Sementara berharap pada karunia, kemulian, pengampunan Allah akan mendorong keberanian manusia mentaati perintah-Nya dalam mencari keridhaan-Nya.

Khauf (takut) hendakna hanya untuk Allah semata. Kesempurnaan takutnya seorang hamba kepada Tuhannya membuat dia tidak takut kepada selain-Nya. (Surat Al-Ahzab ayat 39).
Demikian juga halnya Raja’ (berharap), siapa orang yang menggantungkan hatinya kepada makhluk dan berharap kepadanya dalam suatu hal yang ia sendiri tidak mampu, maka dia dianggap syirik khafi. Orang yang mengutamakan Allah, akan mencegah dirinya dari memenuhi panggilan dan berharap pada selain Allah. Hanya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa berharap kepada makhluk atau takut kepadanya dalam urusan duniawi yang ia mampu atas itu, tidak dianggap syirik.

Ayat-ayat tentang ‘takut’ dan ‘berharap’ cukup banyak didalam Al-Qur’an, Allah mengaitkan ajaran-Nya, perintah dan larangan, adakalanya dalam bentuk berita gembira tentang kenikmatan dunia dan akhirat, dan adakalanya berita yang menakutkan, dan adakalanya dengan kedua-duanya sekaligus. Itu dilakukan agar memberi pengaruh pada perasaan dan perilaku manusia. Ternyata Al-Qur’an menggunakan metode tarhib wa al-targhib dalam mendidik para mukmin.
Metode tarhib ialah; metode pendidikan dengan menyampaikan berita buruk/ancaman kepada pelajar melalui lisan maupun tulisan, agar pelajar menjadi manusia yang bertakwa.
Metode targhib ialah; metode pendidikan dengan menyampaikan berita gembira/harapan kepada pelajar melalui lisan maupun tulisan, agar pelajar menjadi manusia yang bertakwa.

G). Beriman kepada Qadr.
Orang mukmin adalah orang beriman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, hari akhir dan Qadr baik dan jahat. Qadha dan Qadr merupakan hukum Allah dalam bentuk mendatangkan sesuatu dengan cara tertentu dan pada waktu tertentu. Iman kepada Qadr adalah pokok bagi Iman kepada Allah dan pengetahuan yang benar terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Diantara sifat-Nya adalah karenanya sesuatu tidak akan terjadi kecuali atas perintah, ilmu dan takdir Allah.
(Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 22).
Ibnu Taimiyah mengatakan ridha akan Qadha dan Qadr itu ada dua macam, pertama adalah ridha akan qadha tentang sesuatu yang diperintahkan oleh Allah, dan ini pada dasarnya adalah wajib. Dan termasuk kedalam iman.
(Al-Qur’an surat At-Tauah ayat 59).
Hal itu lebih dari sekedar peristiwa yang sesuai dengan kehendak dan kekuasaan Allah, dan terjadi pada manusia atas dasar paksaan, seperti perbedaan kehendak mereka. Maka manusia tidak mempunyai peluang untuk memilih kedua orang tuanya, namanya, bentuknya, kecerdasannya atau umurnya. Semua itu menjadi keharusan manusia untuk menerimanya.

Jenis yang kedua adalah ridha terhadap qadr, yaitu ridha terhadap larangan dari kekufuran, fasiq, berbuat maksiat. Dalam hal ini tidak di syari’atkan untuk ridha, meskipun telah ditetapkan Allah terhadap hamba-Nya.
(Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 7).

Kita jumpai bahwa qadha dan qadr melekat dalam pikiran kebanyakan kaum muslimin dalam bentuk menyerah terhadap peristiwa dan tunduk kepada-Nya seraya berdiam diri, dengan anggapan bahwa hal itu termasuk kehendak Allah. Seandainya berdiam diri terhadap peristiwa yang buruk termasuk keharusan keyakinan terhadap qadr, tentu Rasul orang yang pertama kali melakukan itu.
Karenanya apabila seseorang ditimpa musibah, hendaklah dia ridha dan menerima apa yang telah ditakdirkan oleh Allah padanya, pasrah terhadap hukum dan kekuasaan-Nya.

DISKUSI.
Tujuan pendidikan perilaku (sulukiyah) yang dikemukakan Ibnu Taimiyah diatas, terlihat adanya nuansa baru mengenai sasaran yang hendak dicapai dalam proses kependidikan Islam. Beliau sangat fokus terhadap pembinaan aspek mental dan jiwa, yang berpusat qalbu. Pembinaan aspek mental tersebut lebih diarahkan pada apa yang disebut beliau dengan a’mal al-qulub, aktivitas qalbu atau amalan qalbu, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas, syukur, sabar, takut dan berharap serta iman akan qadha dan qadr.

Bila mengacu pada wilayah pada sasaran pendidikan dalam taksonomi bloom (ranah kognitif, afektif dan psikomotor), maka tampaknya Ibnu Taimiyah lebih menekankan pada ranah afeksi. Karena afeksi inilah menurutnya yang menjadi penggerak sekaligus pengarah bagi ranah-ranah yang lain. Sebab cara berfikir seseorang merupakan refleksi dari batinnya. Bahkan Nabi menyebutkan, bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh motif. Sementara motif itu adanya diqalbu. Karenanya dapat dikatakan konsep pendidikan Ibnu taimiyah sebagai  konsep pendidikan qalbu.

Pendidikan yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah dalam menghampiri dunia pendidikan, khususnya dalam perumusan tujuan pendidikan Islam, adalah pendekatan tasawuf. Dunia tasawuf lebih menitik-beratkan pada pembinaan aspek rasa, sebagian dari fungsi qalbu. Ajaran tasawuf mengorientasikan seluruh perilaku keagamaan seseorang, yang bertitik pangkal pada keimanan yang kokoh dan bermuara pada upaya taqarrub ilallah. Aktivitas (amalan-amalan) yang mesti dilakukan sebagai media untuk sampai pada kondisi ‘taqarrub’, diantaranya cinta, ikhlas, tawakkal, sabar dan takut. Ternyata hal itu pulalah yang ditekankan Ibnu Taimiyah untuk dicapai dalam proses pendidikan.

 Alasan lain untuk mengatakan bahwa pendekatan tasawuf yang digunakan beliau adalah penggunaan istilah ‘sulukiyah’, sementara istilah itu banyak digunakan dalam disiplin ilmu tarekat didunia tasawuf. Bila rumusan tujuan ini kita bandingkan dengan rumusan lain, akan banyak ditemukan perbedan, disamping terdapat persamaan pada sisi-sisi tertentu, misalnya, al-Ghazali merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut;
1* Membentuk insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2* Membentuk insan purna yang bertujuan, mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Athiyah al-Abrosyi, mengemukakan lima tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu:
a). Membantu pembentukan akhlak yang mulia,
b). Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan akhirat,
c). Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,
d). Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri,
e). Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu agar didapatinya,
f). Mencari rizki dalam hidup disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.

Abd. Rahman Nahlawy merumuskan empat tujuan, yaitu:
1). Pendidikan akal dan persiapan pikiran: Pendidikan Islam memandang dengan penuh pemikiran, renungan dan meditasi.
2). Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada peserta didik.
3). Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik lelaki maupun perempuan.
4). Berusaha untuk menyeimbangi segala potensi dan bakat manusia.

Sementara Moh. Said Ramadhan El-Buthi, menyebutkan tujuh macam tujuan yang hendak dicapai, yaitu;
A* Mencapai keridhaan Allah, menjauhi murka dan siksa-Nya dan melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas kepada-Nya.
B* Memupuk munculnya jiwa kebangsaan pada diri manusia berdasarkan pada agama dan ajaran-ajaran yang dibawanya, serta mengajak manusia pada nilai-nilai dan akhlak yang mulia.
C* Mengangkat taraf akhlak dalam masyarakat berdasar pada agama yang diturunkan untuk membimbing masyarakat kearah yang di ridhai-Nya.
D* Mewujudkan ketenteraman dalam jiwa dan aqidah yang dalam, penyerahan dan kepatuhan yang ikhlas kepada Allah SWT.
E* Memelihara bahasa dan kesusastraan Arab sebagai bahasa Al-Qur’an.
F* Menghapuskan khurafat-khurafat yang bercampur-baur dengan hakekat agama, menyebarkan kesadaran Islam yang sebenarnya dan mewujudkan hakekat agama atas kebersihan dan kecermelangan.
G* Meneguhkan perpaduan tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan perselisihan, bergabung dan kerjasama dalam rangka prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan Islam diatas, terlihat perbedaannya dengan rumusan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Namun demikian pada bagian-bagian tertentu ada persamaannya. Pada rumusan Imam Al-Ghazali, misalnya, terlihat ada persamaannya, yaitu membentuk insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Pada El-Buthi, juga terlihat persamaannya pada tujuan utama, yaitu mencapai keridhaan Allah dan pengabdian yang tulus ikhlas kepada-Nya.  (H.Suhrowardi, M.Ag.)

                                                         *** ## ***           

            

            

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.