MUHASSABAH
Pembahasan tentang tujuan
pendidikan ini disarikan dari Majmu’
Fatawa karya Syeikh Ibnu Taimiyah, jilid ke sepuluh. Menurutnya, bahwa tujuan pendidikan yang paling tinggi
dan menyeluruh adalah menumbuhkan aqidah
dan al-wala (al-wala: kata jadian
dari kata waliya yang bermakna dekat, mendekat diri, taqorrub kepada Allah
SWT.)
Menjadikan seluruh perbuatan
murni untuk Allah dan istiqomah pada semua aspeknya menurut syarirat-Nya,
disertai penambahan pemahaman seorang muslim tentang keislaman yang bersifat
pokok, yang membuatnya bangga terhadap Islam, serta mampu mendakwahkannya
dihadapan semua orang. Dalam makna lain, bahwa tujuan tertinggi pendidikan
Islam adalah ibadah yang sempurna kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan kata lain
ma’rifah kepada Allah.
Ibadah dalam pengertian
Syeikh Ibnu Taimiyah ada dua macam: Ibadah Kauniyah dan Ibadah
Diniyah.
Ibadah Kauniyah,
seperti pengakuan bahwa Allah yang telah menciptakan kita, dan bahwa manusia
tunduk kepada sunnah yang mengatur alam ini.
Ibadah Diniyah,
seperti pengakuan bahwa penghambaan dan ketaatan hanya untuk Allah semata,
sebagaimana syariat yang telah ditetapkan-Nya untuk kita. Ibadah Diniyah,
menetapkan penataan hubungan seorang muslim dengan Khaliqnya, juga penataan
hubungan antar individu muslim dan masyarakat sekitarnya. Atas dasar itu, maka
jenis ibadah ini dapat dibagi kepada dua macam:
1). Menumbuhkan aspek
kepribadian dan pentingnya penyucian diri (Tazkiyyatun
Nufus), serta menata hubungan manusia dengan Khaliqnya.
2). Mengajar dan melatih
hidup bermasyarakat.
Adapun rincian mengenai
tujuan umum pendidikan Islam menurut Syeikh Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:
a). Cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya.
b). Tawakkal kepada Allah.
c). Memurnikan atau
keikhlasan ibadah hanya untuk Allah.
d). Bersyukur kepada Allah.
e). Sabar.
f). Takut dan berharap
(kepada Allah).
g). Iman kepada qadr.
Tujuan umum kedua, pengenalan
terhadap diri manusia dan tindakan dalam upaya menyucikan. Hal ini memuat:
1). Penumbuhan aspek
kemasyarakatan, yang terdiri atas aspek kemasyarakatan yang muncul ketika
seseorang berinteraksi dengan individu-individu masyarakat, dan aspek yang
muncul ketika masyarakat muslim bergaul dengan masyarakat lainnya.
2). Pembinaan emosi
kemanusiaan yang terangkum dalam penyakit-penyakit qalbu, seperti takabur, iri,
dengki dan cinta dunia.
Dari dua tujuan-tujuan umum
diatas, tentu saja tidak semua akan dibicarakan, pada kesempatan penulisan ini
hanya akan membahas bagian pertama saja.
Menumbuhkan Keimanan Kepada
Allah SWT.
Menurut Syeikh Ibnu Taimiyah, penumbuhan
keimanan kepada Allah merupakan sasaran pokok dalam praktek pendidikan. Setiap
pendidikan yang melalaikan dan meremehkan arti penting aspek ini dikategorikan
sebagai pendidikan yang menyimpang.
Sementara Allah adalah
sebagai pemberi nikmat yang begitu banyak kepada kita, yang tidak ada
bandingannya. Karenanya menjadi keharusan bagi setiap Lembaga Pendidikan untuk
memperkenalkan kepada para pelajar asma’
Allah berikut sifat-sifatnya yang baik. Hal ini secara jelas ditampakkan
dalam ayat Al-Qur’an yang mengaitkan orang yang beriman dengan rasa takut
kepada Allah.
Allah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ‘Ulama”
Ibnu Taimiyah mengedepankan
pentingnya hubungan manusia dengan Khaiqnya, dan memasukkan bagian kedalam
aspek a’mal al-Qulub (aktifitas Qalbu),
dalam rangka memelihara kesinambungan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemurnian ibadah kepada Allah, tawakal, sabar, syukur, rasa takut dan berharap,
serta qadha dan qadr.
Ibnu Taimiyah memandang
penting untuk selalu memperbaiki qalbu, sebab pola manusia tidak selaras dengan program Allah kecuali dengan
memperbaiki qalbu lewat cara memperbaharui keimanan dan meluruskannya dari
segala penyimpangan.
Al-Qur’an dan Sunnah sangat
memperhatikan kesucian qalbu, sebagai tempat iman dan taqwa. Hal ini terwujud
dengan ibadah yang ikhlas kepada Allah. Selain itu, hati juga sebagai tempat
ma’rifat dan ilmu, sebagai pusat kekufuran dan sumber kebaikan serta kejelekan.
Hati pula yang dapat merenung, berfikir dan berdzikir. Demikian juga ditempat
tumbuhnya perasaan cinta dan benci, sayang dan murka. Diantara sifat-sifat yang
baik adalah damai, suci, cinta kepada keimanan dan taqwa. Diantara sifat-sifat
yang buruk adalah cinta kepada kekufuran, kelalaian, ragu dan kesesatan. (Muhammad Ali Al-Jauzi, Mafhum al-‘Aql wa
al-Qlb fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, t.t, h.239).
Tempat hati adalah didalam
dada manusia. Pada dasarnya hati itu baik, tetapi dapat berubah menjadi buruk,
lalu mengikuti hawa nafsu dan bisikan-bisikan syetan selama tidak dibentengi
iman. Namun demikian, kelurusan dan kebaikan hati dapat terjaga dengan membaca
Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an menjadi obat bagi penyakit mental. Mengenai
keunggulan Al-Qur’an, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Didalam Al-Qur’an terdapat hikmah dan pelajaran yang baik dalam
bentuk berita yang menyenangkan dan menakutkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, jilid 10, h.95).
Secara lebih rinci mengenai
aktivitas qalbu menurut Ibnu Taimiyah, sebagai berikut;
A).
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa cinta merupakan unsur pokok dalam setiap aktivitas keagamaan, karena dia
akan membawa seorang untuk semakin memperkuat kecintaannya kepada Allah dan
Rasul-Nya, dalam bentuk mentaati segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
bahwa cinta kepada Allah itu ada dua prinsip: Cinta karena kebaikan-Nya, kedua Cinta karena dzat-Nya. Mengenai yang pertama, Allah SWT. mengajak
hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya karena kebaikan-Nya kepada mereka dan
karena keluasan Nikmat-Nya. Jika manusia menyembah Allah dan mencintai-Nya
karena alasan ini, maka berarti ia telah mencintai dzat Allah.
Sementara prinsip kedua
adalah mencintai karena Dia memang layak untuk dicintai. Nama-nama Allah yang
baik serta sifat-sifat-Nya mengharuskan kita harus cinta, yaitu manusia
dituntut untuk mencintai Allah dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan lapang
maupun dalam keadaan sulit.
(Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, jilid 10, h.96).
Adapun cinta kepada
Rasullullah saw., telah menjadi keharusan untuk mencintainya sebagai
konsekuensi cinta kepada Allah, sebagaimana Rasul bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu
hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.”
(Shahih Muslim bi Syarh
al-Nawawy, Jilid 2, h.15).
Cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya memberikan pengaruh kepada manusia ketika dia melakukan interaksi
sosial dalam masyarakat.
B).
Tawakkal Kepada Allah.
Ibnu Taimiyah mengganggap
tawakkal kepada Allah sebagai bangunan agama dan satu kemuliaan mukmin. Barang
siapa yang berpaling, maka dia telah maksiat kepada Allah dan Rasul, dan bahkan
dia telah keluar dari hakikat keimanan. Sikap tawakkal berarti iman kepada
Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya serta
mengikuti petunjuk-Nya dalam seluruh persoalan keagamaan dan keduniawian.
Tawakkal yang benar adalah
kepada Allah, sementara tawakkal kepada selain-Nya adalah syirik. Tawakkal
seperti itulah yang membedakan orang yang bersungguh-sungguh berusaha dengan
yang tidak, karena tawakkal menghendaki adanya sebab. Karenanya tidak ada
pertentangan antara perbuatan dengan ketergantungan penuh kepada Allah.
Memang pada dasarnya selalu
menuntut adanya sebab bagi setiap perbuatan yang dilakukan. Karenanya jangan
mengharapkan adanya hasil tanpa memperlihatkan penyebab awalnya. Hasil dapat
diharapkan setelah menciptakan sebabnya, seraya menyerahkan kepada Allah SWT
yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah tidak menyia-nyiakan ganjaran bagi
orang yang telah berbuat secara sempurna. Itu sebabnya, menciptakan sebab
merupakan syarat pokok bagi terwujudnya hasil yang diharapkan, dan meninggalkan
sebab berarti maksiat, dan diharamkan oleh Allah. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah
menggabungkan ibadah dan tawakkal sebagai
dua hal yang menyatu dalam agama.
Ibnu Taimiyah membagi
tawakkal ini kepada empat bagian;
1).
Orang yang menyembah Allah, namun tidak bertawakkal kepada-Nya,
yaitu orang meninggalkan faktor sebab. Orang yang seperti ini termasuk orang
yang lemah, karena orang yang kuat adalah orang meminta pertolongan kepada
Allah dan bertawakkal kepada-Nya.
2).
Orang yang meminta pertolongan kepada Allah, tetapi tidak taat kepada-Nya dalam
ibadah mereka. Mereka beribadah menurut keinginan dan
perasaan mereka semata tanpa memperhatikan perintah dan larangan-Nya serta apa
yang diridhai-Nya. Kebanyakan dari mereka adalah yang murtad dari Islam.
3).
Mereka yang berpaling dari ibadah kepada Allah dan meminta tolong kepada-Nya.
Mereka inilah seburuk-buruknya orang.
4).
Kelompok orang yang terpuji, mereka menyembah Allah, meminta pertolongan atas
dasar ketaatan kepada Allah, dan bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka, yang
kepada-Nya mereka menyembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dan kepada
Rosul-Nya.
Ibnu Taimiyah berpendirian
bahwa bertawakkal dan berdo’a kepada Allah merupakan keharusan dalam hal-hal
yang wajib, yang sunnah dan mubah, namun tidak pada hal-hal yang haram.
Karenanya tidak dibenarkan seseorang untuk membuat sebab yang mendatangkan
kemaksiatan. Dari pemaparan diatas, dapat dikemukakan sifat-sifat tertentu bagi
orang-orang yang bertawakkal berikut ini:
a). Keyakinan bahwa Allah
berkuasa terhadap alam.
b). Meminta pertolongan
kepada Allah berdasarkan ketaatan, yang dapat memperkuat
kesempurnaan ibadah kepada-Nya.
c). Membuat sebab-sebab
perantara, yang dengannya dapat mempertegas pencapaian tujuan.
Dengan demikian, ada tiga
ciri yang menyalahi prinsip-prinsip bertawakkal;
1* Menghilangkan
sebab-sebab material-lahiriah dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat
duniawi.
2* Menghindari
dari keharusan mengikuti ketentuan Allah, dan mengaitkan hal ini kepada qodha
dan qadar.
3* Meminta
pertolongan kepada Allah sebatas dalam perkataan, tanpa tindakan nyata.
Oleh
karena itu, kewajiban pendidik muslim saat ini adalah belajar sekaligus
mengajarkan kepada siswa beribadah
kepada Allah, memadukan antara meminta pertolongan dengan mengikuti sunnah-Nya
lewat penunaian perintah-Nya sekaligus larangan-Nya. Maksudnya adalah
menghadirkan sebab-sebab langsung yang selaras dengan sunnah Allah di alam dan
perintah-perintah-Nya di dalam syariat-Nya, menyandarkan qalbu mereka dengan
bertawakkal kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa tidak cukup dengan hanya
sebab semata kecuali atas izin Allah SWT.
C).
Memurnikan atau keikhlasan ibadah hanya untuk Allah.
Sikap
ikhlas merupakan asas bagi diterimanya setiap ibadah, karena hakikat ibadah bukan pada formal
luarnya, melainkan keikhlasan yang tumbuh dalam qalbu. Tindakan anggota badan
jika tidak diikuti oleh keikhlasan hati dalam beribadah, maka Allah tidak akan
menerimanya. Karenanya Ibnu Taimiyah menjelaskan akan pentingnya keikhlasan
dalam beribadah ketika dia menggambarkan ikhlas sebagai hakikat islam dan prinsip
agama. Itu sebabnya induk Islam adalah syahadat
(kesaksian) bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, yang bermakna mengkhususkan
ibadah hanya kepada Allah semata. Atas dasar ini, Ibnu Taimiyah mendefinisikan
ikhlas dengan: “Pemurnian dari setiap
yang disembah kecuali kepada Allah yang telah menciptakan kita”. Maksudnya,
beribadah kepada Allah semata, tidak mensyirikkan-Nya dalam beribadah, seraya
merendahkan diri, sehingga Allah lebih dicintai dari pada yang lain.
Ibnu
Taimiyah membagi Ikhlas kepada dua macam:
1).
Ikhlas dalam perbuatan, yaitu keikhlasan beragama untuk Allah
dalam bentuk niat dan kehendak. Hal ini terkandung dalam Surat Al-Kafirun.
2).
Ikhlas dalam perkataan, yaitu yang terkandung dalam Surat
Al-Ikhlas.
Kedua macam ikhlas tersebut
harus diwujudkan kedua-duaya secara simultan, karena ucapan Laa Ilaha Illalloh mengandung kedua makna diatas (perkataan dan
perbuatan).
Selanjutnya Ibnu Taimiyah
menjelaskan balasan bagi orang yang ikhlas beribadah semata karena Allah adalah
Dia akan menghidupkan qalbunya, sehingga terhindar dari kelalaian, terhindar
dari perilaku yang buruk dan keji, serta terhindar dari gangguan syaitan,
karena syaitan tidak dapat menggelincirkan hamba-hamba Allah yang ikhlas.
Sementara orang yang qalbunya
tidak ikhlas, Allah akan menjadikannya hamba bagi kedudukannya atau kekayaannya
atau hamba bagi hawa nafsunya. Ibnu Taimiyah mengatakan: “satu hal yang pasti,
jika qalbu tidak lurus menghadap Allah, maka dia berpaling kepada selain-Nya,
atau malah menjadi musyrik”.
Keikhlasan yang pada
dasarnya membangkitkan tindakan dari lubuk jiwa, mengharuskan adanya
keselarasan dengan tindakan lahir, yakni perbuatan lahir harus sesuai dengan
yang ada didalam jiwa. Jika tidak demikian, maka akan dikategorikan sebagai
nifaq, riya’ atau hanya sebagai tindakan biasa yang tidak tergolong ke dalam
ibadah.
Seyogyanya bagi seorang
pendidik menjadikan tujuan, tindakan dan pikirannya ikhlas karena Allah SWT,
yaitu menjadikan seluruh perbuatannya dan aktivitas mendidiknya semata mencari
keridhaan Allah. Megharapkan pendidikan pada upaya memperkuat keikhlasan searah
dengan pentingnya niat yang benar.
D.)
Syukur Kepada Allah.
Bersyukur dan memuji kepada
Allah termasuk wajib bagi manusia, terlepas dari apakah yang diperoleh itu
kebaikan ataupun keburukan. Karena pujian merupakan buah dari sikap ridha akan
qadha dan qadr Allah. Karenanya sebagian mufassir menafsirkan pujian dengan ridha.
Rasul adalah pemilik pujian, begitu pula umatnya yang layak untuk dipuji, yaitu
orang-orang yang selalu memuji Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam
kesulitan.
Hadits diatas menunjukkan
bahwa setiap ketetapan Allah terhadap seorang mukmin itu baik baginya dalam
semua aspek. Jika ia memperoleh kelapangan (kebahagiaan) dia bersyukur, maka
dia memperoleh pahala dari Allah dengan jalan menambah kebahagiaannya, yang
membuat dia tenang. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, juga
memperoleh pahala dengan jalan Allah memberikan rasa tenteram, ia pun jadi
tenang.
Ibnu Taimiyah membagi pujian
terhadap kebahagiaan dan pujian terhadap kesulitan, masing-masing kepada dua
bagian. Pujian terhadap kebahagiaan adalah pujian kepada Allah karena telah
menjadi keharusan dirinya, karena Allah telah menjadikan segala sesuatunya,
lalu membaguskan ciptaan-Nya; dan pujian atas kebaikan Allah terhadap hamba-Nya
yang mukmin, meskipun tampak tidak menyenangkan, karena pilihan Allah untuk
orang mukmin itu lebih baik ketimbang pilihan sendiri.
Nikmat-nikmat Allah yang
harus disyukuri itu sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya, karena itu wajib bagi
manusia memuji Allah dan bersyukur atas nikmatnya, baik ketika dia berdiri
maupun ketika duduk. Tatkala manusia ridha akan ketentuan Allah, itu berarti ia
memuji Allah, karena dia tahu bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari Allah.
Seorang pendidik hendaknya
menanamkan rasa syukur ini pada diri murid dalam setiap keadaan. Menjelaskan
kepada mereka tentang cara bersyukur, seperti mensyukuri nikmat Allah dengan
cara bersedekah kepada fakir dan miskin, karena sedekah merupakan ibadah yang
mengantarkan kepada keridhaan Allah. Atau dengan jalan menyebarkan ilmu yang
bermanfaat, dan memberi nasehat dan bantuan kepada seluruh mukmin. Demikian
juga bersyukur dengan jiwa dan harta dalam berjihad dijalan Allah, sebab harta
dan jiwa juga termasuk nikmat Allah.
E).
Sabar.
Sabar merupakan pengendali
jiwa terhadap sesuatu yang akan menghalanginya memperoleh keridhaan Allah. Kata
sabar telah disebutkan Allah dalam Al-Qur’an lebih dari 90 tempat, yang
dikaitkan dengan sholat. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Allah memadukan antara
iman dan sabar, karena seorang mukmin itu tahu akan kebenaran, lalu
mengikutinya serta bersabar atasnya.
Sabar dibagi kepada tiga
macam:
1). Bersabar dalam
menunaikan kewajiban, yaitu sabar dalam ketaatan dan terus menerus
menunaikannya.
2). Bersabar atas kebenaran.
3). Bersabar dari
kemaksiatan, yakni bersabar untuk tidak mengikuti hawa nafsu terhadap sesuatu
yang dilarang Allah.
Bersabar dari berbuat
maksiat sementara dia dapat melakukannya, Ibnu Taimiyah menganggapnya sebagai
jihad. Karena jiwa tidak diiringi kemampuan, maka tidak akan membuat dia
tertarik, seperti kecenderungan jiwa akan kedudukan, harta dan sesuatu yang
menjijikkan. Namun bila diiringi kemampuan untuk melakukan sesuatu perbuatan
yang diharamkan, tetapi dia bersabar, maka disebut sebagai jihad, bahkan
seutama-utamanya jihad.
Ibnu Taimiyah mengaitkan sabar dengan taqwa, rahmat dan shalat, karena didalam Al-Qur’an Allah telah mengaitkan sabar
dengan tiga unsur itu. Dia membagi manusia sesuai dengan lapangan sabar dan
taqwa kepada empat bagian:
1*
Ahli taqwa dan sabar, dan mereka ini termasuk orang yang
beruntung didunia dan akhirat.
2*
Orang yang termasuk taqwa tetapi tidak sabar, seperti
orang yang menunaikan ketaatan lahiriah dan meninggalkan yang dilarang, tetapi
berkeluh kesah ketika di uji.
3*
Orang yang sabar tetapi tidak taqwa, seperti pencuri yang dapat
bersabar terhadap kesulitan ketika mereka menempuh perjalanan pada saat mencari
barang curian dan mengambil harta yang haram.
4*
Orang yang tidak taqwa dan sabar ketika di uji.
Mereka inilah yang jika seseorang memaksa mereka, mereka merendah kepadanya dan
berbuat bohong. Tapi jika mereka yang memaksa orang lain, mereka menjadi orang
yang paling sadis, keras hati dan paling tipis rasa kebaikan dan rasa maafnya.
Seorang pendidik dituntut
menghiasi diri dengan kesabaran pada saat bergaul dengan para pelajar.
Hendaklah dia menjadi orang penyabar disaat melaksanakan tugas mengajar.
Demikian juga wajib bagi pendidik memelihara perbedaan antar individu para
pelajar, juga hendaknya mengulangi informasi dan memvariasikan metode
pengajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa yang dihadapinya. Semua
membutuhkan kejelian dan kesabaran. Sikap sabar ini pula menjadi penting dalam
pergaulan antar para pendidik, belajar memaafkan dan bersalam-salaman.
Kurikulum pendidikan yang kokoh akan berjalan secara mantap ditangan para pelajar
yang sabar, dan memberikan penjelasan pada mereka akan manfaat yang besar yang
akan mereka petik, jika nilai kebaikan ini memantul dalam perilaku mereka.
F).
Takut dan Berharap
Takut adalah peristiwa
alamiah dan fitri pada manusia. Lebih jauh, ia berfungsi untuk menjaga manusia
dari bahaya dan kebinasaan. Ibnu Taimiyah mendefinisikannya sebagai pencegah dan penghalang dari salah jalan
(kesesatan).
Adapun berharap adalah daya
jiwa yang fitri sebagai hamparan cita-cita yang ada dihadapan manusia.
Sementara Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai ketergantungan hati manusia kepada Allah karena memperoleh cinta-Nya.
Setiap perasaan takut dan
harapan terkait dengan kecintaan kepada Allah SWT. karena manusia mengharapkan
sesuatu yang dicintainya dan menginginkan terwujudnya sesuatu itu, dan orang
yang takut akan menghindar dari sesuatu yang ia takuti menuju kepada sesuatu
yang disenangi. Dari situ Ibnu Taimiyah menjelaskan gerakan hati terhadap Allah
itu ada tiga; cinta, takut dan berharap. Dan dari ketiga hal itu,
cintalah yang paling kuat. Cinta akan menarik manusia untuk mengikuti yang
dicintainya dan berjalan diatas ketentuan dan programnya. Kekuatan cinta seperti ini hendaknya menjadi daya
tarik untuk kepada Allah. Takut kepada siksaan Allah akan mencegah manusia
terjatuh kedalam sesuatu yang dilarang. Sementara berharap pada karunia,
kemulian, pengampunan Allah akan mendorong keberanian manusia mentaati
perintah-Nya dalam mencari keridhaan-Nya.
Khauf
(takut) hendakna hanya untuk Allah semata. Kesempurnaan takutnya
seorang hamba kepada Tuhannya membuat dia tidak takut kepada selain-Nya. (Surat
Al-Ahzab ayat 39).
Demikian juga halnya Raja’ (berharap), siapa orang yang
menggantungkan hatinya kepada makhluk dan berharap kepadanya dalam suatu hal
yang ia sendiri tidak mampu, maka dia dianggap syirik khafi. Orang yang mengutamakan Allah, akan mencegah dirinya
dari memenuhi panggilan dan berharap pada selain Allah. Hanya Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa berharap kepada makhluk atau takut kepadanya dalam urusan
duniawi yang ia mampu atas itu, tidak dianggap syirik.
Ayat-ayat tentang ‘takut’
dan ‘berharap’ cukup banyak didalam Al-Qur’an, Allah mengaitkan ajaran-Nya,
perintah dan larangan, adakalanya dalam bentuk berita gembira tentang
kenikmatan dunia dan akhirat, dan adakalanya berita yang menakutkan, dan
adakalanya dengan kedua-duanya sekaligus. Itu dilakukan agar memberi pengaruh
pada perasaan dan perilaku manusia. Ternyata Al-Qur’an menggunakan metode tarhib wa al-targhib dalam mendidik para
mukmin.
Metode tarhib
ialah; metode pendidikan dengan menyampaikan berita buruk/ancaman kepada
pelajar melalui lisan maupun tulisan, agar pelajar menjadi manusia yang
bertakwa.
Metode
targhib ialah; metode pendidikan dengan menyampaikan berita
gembira/harapan kepada pelajar melalui lisan maupun tulisan, agar pelajar
menjadi manusia yang bertakwa.
G).
Beriman kepada Qadr.
Orang mukmin adalah orang
beriman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, hari akhir dan Qadr baik dan
jahat. Qadha dan Qadr merupakan hukum Allah dalam bentuk mendatangkan sesuatu
dengan cara tertentu dan pada waktu tertentu. Iman kepada Qadr adalah pokok
bagi Iman kepada Allah dan pengetahuan yang benar terhadap nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi. Diantara sifat-Nya adalah karenanya sesuatu tidak
akan terjadi kecuali atas perintah, ilmu dan takdir Allah.
(Al-Qur’an surat Al-Hadid
ayat 22).
Ibnu Taimiyah mengatakan
ridha akan Qadha dan Qadr itu ada dua macam, pertama adalah ridha akan qadha tentang sesuatu yang diperintahkan
oleh Allah, dan ini pada dasarnya adalah wajib. Dan termasuk kedalam iman.
(Al-Qur’an surat At-Tauah
ayat 59).
Hal itu lebih dari sekedar
peristiwa yang sesuai dengan kehendak dan kekuasaan Allah, dan terjadi pada
manusia atas dasar paksaan, seperti perbedaan kehendak mereka. Maka manusia
tidak mempunyai peluang untuk memilih kedua orang tuanya, namanya, bentuknya,
kecerdasannya atau umurnya. Semua itu menjadi keharusan manusia untuk
menerimanya.
Jenis
yang kedua adalah ridha terhadap qadr, yaitu ridha terhadap
larangan dari kekufuran, fasiq, berbuat maksiat. Dalam hal ini tidak di
syari’atkan untuk ridha, meskipun telah ditetapkan Allah terhadap hamba-Nya.
(Al-Qur’an surat Az-Zumar
ayat 7).
Kita jumpai bahwa qadha dan
qadr melekat dalam pikiran kebanyakan kaum muslimin dalam bentuk menyerah
terhadap peristiwa dan tunduk kepada-Nya seraya berdiam diri, dengan anggapan bahwa
hal itu termasuk kehendak Allah. Seandainya berdiam diri terhadap peristiwa
yang buruk termasuk keharusan keyakinan terhadap qadr, tentu Rasul orang yang
pertama kali melakukan itu.
Karenanya apabila seseorang
ditimpa musibah, hendaklah dia ridha dan menerima apa yang telah ditakdirkan
oleh Allah padanya, pasrah terhadap hukum dan kekuasaan-Nya.
DISKUSI.
Tujuan pendidikan perilaku (sulukiyah) yang dikemukakan Ibnu
Taimiyah diatas, terlihat adanya nuansa baru mengenai sasaran yang hendak
dicapai dalam proses kependidikan Islam. Beliau sangat fokus terhadap pembinaan
aspek mental dan jiwa, yang berpusat qalbu. Pembinaan aspek mental tersebut
lebih diarahkan pada apa yang disebut beliau dengan a’mal al-qulub, aktivitas qalbu atau amalan qalbu, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal,
ikhlas, syukur, sabar, takut dan berharap
serta iman akan qadha dan qadr.
Bila mengacu pada wilayah
pada sasaran pendidikan dalam taksonomi bloom (ranah kognitif, afektif dan
psikomotor), maka tampaknya Ibnu Taimiyah lebih menekankan pada ranah afeksi.
Karena afeksi inilah menurutnya yang menjadi penggerak sekaligus pengarah bagi
ranah-ranah yang lain. Sebab cara berfikir seseorang merupakan refleksi dari
batinnya. Bahkan Nabi menyebutkan, bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh
motif. Sementara motif itu adanya diqalbu. Karenanya dapat dikatakan konsep
pendidikan Ibnu taimiyah sebagai konsep
pendidikan qalbu.
Pendidikan yang digunakan
oleh Ibnu Taimiyah dalam menghampiri dunia pendidikan, khususnya dalam
perumusan tujuan pendidikan Islam, adalah pendekatan tasawuf. Dunia tasawuf
lebih menitik-beratkan pada pembinaan aspek rasa, sebagian dari fungsi qalbu. Ajaran
tasawuf mengorientasikan seluruh perilaku keagamaan seseorang, yang bertitik
pangkal pada keimanan yang kokoh dan bermuara pada upaya taqarrub ilallah. Aktivitas (amalan-amalan) yang mesti dilakukan
sebagai media untuk sampai pada kondisi ‘taqarrub’, diantaranya cinta, ikhlas, tawakkal,
sabar dan takut. Ternyata hal itu pulalah yang ditekankan Ibnu Taimiyah untuk
dicapai dalam proses pendidikan.
Alasan lain untuk mengatakan bahwa pendekatan
tasawuf yang digunakan beliau adalah penggunaan istilah ‘sulukiyah’, sementara istilah itu banyak digunakan dalam disiplin
ilmu tarekat didunia tasawuf. Bila rumusan tujuan ini kita bandingkan dengan
rumusan lain, akan banyak ditemukan perbedan, disamping terdapat persamaan pada
sisi-sisi tertentu, misalnya, al-Ghazali merumuskan tujuan pendidikan sebagai
berikut;
1* Membentuk insan purna
yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2* Membentuk insan purna
yang bertujuan, mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Athiyah al-Abrosyi,
mengemukakan lima tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu:
a). Membantu pembentukan
akhlak yang mulia,
b). Persiapan untuk mencari
rizki dan pemeliharaan akhirat,
c). Persiapan untuk
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,
d). Menumbuhkan semangat
ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri,
e). Menyiapkan pelajar dari
segi profesional, teknis dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi
tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu agar didapatinya,
f). Mencari rizki dalam
hidup disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.
Abd. Rahman Nahlawy
merumuskan empat tujuan, yaitu:
1). Pendidikan akal dan
persiapan pikiran: Pendidikan Islam memandang dengan penuh pemikiran, renungan
dan meditasi.
2). Menumbuhkan potensi-potensi
dan bakat-bakat asal pada peserta didik.
3). Menaruh perhatian pada
kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik
lelaki maupun perempuan.
4). Berusaha untuk
menyeimbangi segala potensi dan bakat manusia.
Sementara Moh. Said Ramadhan
El-Buthi, menyebutkan tujuh macam tujuan yang hendak dicapai, yaitu;
A* Mencapai keridhaan Allah,
menjauhi murka dan siksa-Nya dan melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas
kepada-Nya.
B* Memupuk munculnya jiwa
kebangsaan pada diri manusia berdasarkan pada agama dan ajaran-ajaran yang
dibawanya, serta mengajak manusia pada nilai-nilai dan akhlak yang mulia.
C* Mengangkat taraf akhlak
dalam masyarakat berdasar pada agama yang diturunkan untuk membimbing
masyarakat kearah yang di ridhai-Nya.
D* Mewujudkan ketenteraman
dalam jiwa dan aqidah yang dalam, penyerahan dan kepatuhan yang ikhlas kepada
Allah SWT.
E* Memelihara bahasa dan
kesusastraan Arab sebagai bahasa Al-Qur’an.
F* Menghapuskan
khurafat-khurafat yang bercampur-baur dengan hakekat agama, menyebarkan
kesadaran Islam yang sebenarnya dan mewujudkan hakekat agama atas kebersihan
dan kecermelangan.
G* Meneguhkan perpaduan
tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan perselisihan,
bergabung dan kerjasama dalam rangka prinsip-prinsip dan
kepercayaan-kepercayaan Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dari berbagai rumusan tujuan
pendidikan Islam diatas, terlihat perbedaannya dengan rumusan yang dikemukakan
oleh Ibnu Taimiyah. Namun demikian pada bagian-bagian tertentu ada
persamaannya. Pada rumusan Imam Al-Ghazali, misalnya, terlihat ada
persamaannya, yaitu membentuk insan purna yang bertujuan mendekatkan diri
kepada Allah. Pada El-Buthi, juga terlihat persamaannya pada tujuan utama,
yaitu mencapai keridhaan Allah dan pengabdian yang tulus ikhlas
kepada-Nya. (H.Suhrowardi, M.Ag.)
*** ## ***

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.