Bahaya lidah yang tidak dikontrol
oleh agama dan dikendalikan iman dan taqwa adalah memuji, atau menjadi tukang
puji. Orang yang selalu memuji-muji orang lain adalah tindakan yang tercela dan
dilarang dalam agama. Maka pantas Nabi saw. memberi isyarat bahwa orang yang
selalu memuji-muji (tukang puji) adalah diberi pasir mulutnya.
Selanjutnya perlu diketahui
bahwa pujian itu mengandung enam bahaya. Empat macam bahaya itu mengenai yang
memujinya sendiri, sedang yang dua macam adalah mengenai orang yang dipuji.
Adapun bahaya-bahaya yang
diterima oleh yang memuji adalah sebagai berikut;
Pertama: Adakalanya
dia melampaui batas dalam memberikan pujiannya, sehingga akhirnya dia berdusta,
membalikkan fakta, sebab yang dipujinya bukan yang sebenarnya, mungkin untuk
menyenangkan yang dipuji, untuk mendapat pendekatan, perhatian atau mungkin
karena dia segan atau takut.
Kedua:
Adakalanya dalam hatinya dimasuki oleh sifat memamerkan, sebab dengan
mengemukakan pujian itu seolah-olah ia menunjukkan kecintaan pada yang
dipujinya, padahalnya hakikatnya ia sendiri mempunyai rasa tidak senang (benci)
padanya. Dengan demikian ia termasuk golongan orang-orang ahli pamer (riya’)
lagi munafik.
Ketiga:
Adakalanya ia mengucapkan sesuatu yang ia sendiri belum mengetahui kebenarannya,
bahkan ia tidak mendapatkan jalan untuk memeriksanya itu dengan teliti dan
kesungguhan.
Keempat:
Mungkin sekali yang dipuji itu menjadi gembira dengan pujian yang disampaikan
kepadanya, padahal sebenarnya ia adalah seorang yang dzalim dan fasiq. Oleh
sebab terus memperolah pujian, maka ia tidak mengerti kekurangan dan
kesalahannya akhirnya diteruskanlah perbuatannya itu berlarut-larut karena
merasa ia sudah benar. Perbuatan memuji yang mengakibatkan semacam ini amat tercela
sekali.
Selanjutnya bahaya yang
diterima dari orang yang dipuji adalah sebagai berikut:
Pertama:
Orang yang dipuji itu akan timbul kesombongan dan kecongkakan serta merasa
berbangga diri terhadap dirinya sendiri.
Kedua:
Seorang yang dipuji itu biasanya menjadi senang dan gembira. Hal ini dapat
mengakibatkan ia teledor dan rela atau merasa dirinya sendiri yang benar, dan
akan menurunkan usahanya untuk melenyapkan keburukan-keburukan yang ada dalam
dirinya. Atau mungkin menghilangkan usaha itu sama sekali.
Maka dari itu sekiranya
memuji atau pujian itu tidak akan mengakibatkan bahaya, baik pada yang memuji
atau yang dipuji, maka memuji atau pujian yang demikian itu dibolehkan (jawaz),
bahkan kadang-kadang dimasukkan dalam hukum sunat. Selanjutnya bagaimana sikap
orang yang dipuji atau menerima pujian menurut pandangan agama?, agar dia tidak
tergelincir dalam jurang kenistaan. Orang yang menerima pujian, janganlah
menjadi lupa daratan. Sebaliknya ia terus menjaga diri, menata diri, terutama
dari bahaya kecongkakan, merasa megah dan bangga pada diri sendiri, juga jangan
menjadi teledor untuk meneliti keburukannya (koreksi terhadap diri sendiri).
Hendaknya ia selalu ingat bahwa ia lebih mengetahui tentang hakikat dirinya
yang mungkin tidak diketahui oleh orang yang memujinya itu. Andaikata orang
yang memujinya itu mengetahui akan segala rahasia orang yang dipujinya,
pastilah ia tidak akan memujinya lagi.
Sementara itu orang yang
memujinya hendaknya jangan tergesa-gesa untuk menetapkan atau memberikan
predikat baik terhadap orang lain, sebelum diteliti baik-baik secara bathiniah.
Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhah, apabila mendengar orang yang memuji
kepadanya, lalu ia berkata (berdo’a): “Ya Allah, berilah saya pengampunan
mengenai apa-apa yang tidak diketahui oleh orang-orang itu. Janganlah saya
diambil tindakan atau siksa mengenai apa-apa yang mereka ucapkan, jadikanlah
saya lebih mengenai apa-apa yang mereka ucapkan, jadikanlah saya lebih baik
dari apa yang mereka sangkakan (ucapkan).”
Pada suatu ketika Umar ra. mendengar
seorang yang memuji orang lain, lalu Umar ra. bertanya: “Apakah saudara sudah
pernah pergi bersama orang itu?” Ia menjawab: “Belum”. Ia bertanya pula: “Apakah
saudara bargaul dengannya dalam pembaiatan atau mu’amalat.” Jawabnya: “Tidak.”
Tanyanya lagi: “Apakah saudara ini tetangganya yang setiap pagi dan sore melihat keadaannya.” Jawabnya: “Tidak”.
Akhirnya Umar ra. berkata: “Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, saya
berfikir bahwa saudara ini tidak mengenal orang itu baik-baik.”
Sebagai penutup uraian ini,
marilah kita perhatikan sabda Rasullullah dibawah ini:
Artinya:
“Jikalau
seseorang dari kamu semua terpaksa harus memuji saudaranya, hendaklah ia
mengucapkan: Saya anggap si fulan itu demikian dan saya tidak mensucikan
seseorangpun di atas Allah.”
(Hadits riwayat Ibnu Abid
Dunya).
***
No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.