Translate

Thursday, October 6, 2016

MEMUJI

Bahaya lidah yang tidak dikontrol oleh agama dan dikendalikan iman dan taqwa adalah memuji, atau menjadi tukang puji. Orang yang selalu memuji-muji orang lain adalah tindakan yang tercela dan dilarang dalam agama. Maka pantas Nabi saw. memberi isyarat bahwa orang yang selalu memuji-muji (tukang puji) adalah diberi pasir mulutnya.

Selanjutnya perlu diketahui bahwa pujian itu mengandung enam bahaya. Empat macam bahaya itu mengenai yang memujinya sendiri, sedang yang dua macam adalah mengenai orang yang dipuji.


Adapun bahaya-bahaya yang diterima oleh yang memuji adalah sebagai berikut;
Pertama: Adakalanya dia melampaui batas dalam memberikan pujiannya, sehingga akhirnya dia berdusta, membalikkan fakta, sebab yang dipujinya bukan yang sebenarnya, mungkin untuk menyenangkan yang dipuji, untuk mendapat pendekatan, perhatian atau mungkin karena dia segan atau takut.
Kedua: Adakalanya dalam hatinya dimasuki oleh sifat memamerkan, sebab dengan mengemukakan pujian itu seolah-olah ia menunjukkan kecintaan pada yang dipujinya, padahalnya hakikatnya ia sendiri mempunyai rasa tidak senang (benci) padanya. Dengan demikian ia termasuk golongan orang-orang ahli pamer (riya’) lagi munafik.
Ketiga: Adakalanya ia mengucapkan sesuatu yang ia sendiri belum mengetahui kebenarannya, bahkan ia tidak mendapatkan jalan untuk memeriksanya itu dengan teliti dan kesungguhan.
Keempat: Mungkin sekali yang dipuji itu menjadi gembira dengan pujian yang disampaikan kepadanya, padahal sebenarnya ia adalah seorang yang dzalim dan fasiq. Oleh sebab terus memperolah pujian, maka ia tidak mengerti kekurangan dan kesalahannya akhirnya diteruskanlah perbuatannya itu berlarut-larut karena merasa ia sudah benar. Perbuatan memuji yang mengakibatkan semacam ini amat tercela sekali.

Selanjutnya bahaya yang diterima dari orang yang dipuji adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang yang dipuji itu akan timbul kesombongan dan kecongkakan serta merasa berbangga diri terhadap dirinya sendiri.
Kedua: Seorang yang dipuji itu biasanya menjadi senang dan gembira. Hal ini dapat mengakibatkan ia teledor dan rela atau merasa dirinya sendiri yang benar, dan akan menurunkan usahanya untuk melenyapkan keburukan-keburukan yang ada dalam dirinya. Atau mungkin menghilangkan usaha itu sama sekali.

Maka dari itu sekiranya memuji atau pujian itu tidak akan mengakibatkan bahaya, baik pada yang memuji atau yang dipuji, maka memuji atau pujian yang demikian itu dibolehkan (jawaz), bahkan kadang-kadang dimasukkan dalam hukum sunat. Selanjutnya bagaimana sikap orang yang dipuji atau menerima pujian menurut pandangan agama?, agar dia tidak tergelincir dalam jurang kenistaan. Orang yang menerima pujian, janganlah menjadi lupa daratan. Sebaliknya ia terus menjaga diri, menata diri, terutama dari bahaya kecongkakan, merasa megah dan bangga pada diri sendiri, juga jangan menjadi teledor untuk meneliti keburukannya (koreksi terhadap diri sendiri). Hendaknya ia selalu ingat bahwa ia lebih mengetahui tentang hakikat dirinya yang mungkin tidak diketahui oleh orang yang memujinya itu. Andaikata orang yang memujinya itu mengetahui akan segala rahasia orang yang dipujinya, pastilah ia tidak akan memujinya lagi.

Sementara itu orang yang memujinya hendaknya jangan tergesa-gesa untuk menetapkan atau memberikan predikat baik terhadap orang lain, sebelum diteliti baik-baik secara bathiniah. Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhah, apabila mendengar orang yang memuji kepadanya, lalu ia berkata (berdo’a): “Ya Allah, berilah saya pengampunan mengenai apa-apa yang tidak diketahui oleh orang-orang itu. Janganlah saya diambil tindakan atau siksa mengenai apa-apa yang mereka ucapkan, jadikanlah saya lebih mengenai apa-apa yang mereka ucapkan, jadikanlah saya lebih baik dari apa yang mereka sangkakan (ucapkan).”

Pada suatu ketika Umar ra. mendengar seorang yang memuji orang lain, lalu Umar ra. bertanya: “Apakah saudara sudah pernah pergi bersama orang itu?” Ia menjawab: “Belum”. Ia bertanya pula: “Apakah saudara bargaul dengannya dalam pembaiatan atau mu’amalat.” Jawabnya: “Tidak.” Tanyanya lagi: “Apakah saudara ini tetangganya yang setiap pagi dan sore  melihat keadaannya.” Jawabnya: “Tidak”. Akhirnya Umar ra. berkata: “Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, saya berfikir bahwa saudara ini tidak mengenal orang itu baik-baik.”

Sebagai penutup uraian ini, marilah kita perhatikan sabda Rasullullah dibawah ini:
Artinya:
“Jikalau seseorang dari kamu semua terpaksa harus memuji saudaranya, hendaklah ia mengucapkan: Saya anggap si fulan itu demikian dan saya tidak mensucikan seseorangpun di atas Allah.”
(Hadits riwayat Ibnu Abid Dunya).

                                                       ***





No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.