Translate

Wednesday, October 12, 2016

FENOMENA FIQH SUFISTIK


Muhassabah.
Dalam tatanan pembangunan fiqh, hukum yang tujuan asalnya untuk ketenteraman manusia bisa berubah tergantung tempat dan kurun waktu. Dengan catatan, selama perubahan itu tidak bertentangan dengan syari’at. Sebab bukannya hukum yang mengikuti zaman, tapi zamanlah yang harus tunduk pada hukum. Namun kaidah ini tidaklah mutlak sebagai harga mati, karena dalam keadaan tertentu fiqh masih bisa mentolelir kondisi seseorang untuk menjalankan hukum seutuhnya. Artinya disitu memang ada fleksibilitas terhadap subyek.

Ketika seseorang dihadapkan pada situasi tertentu yang tidak memungkinkan untuk fiqh madzhab tertentu, maka diperlukan usaha cerdas untuk tetap menjalankan syari’at dengan tidak meninggalkan kerangka bermadzhab - ini untuk takaran umum orang sekarang - hal ini bisa disiasati dengan cara menyeberang untuk sementara ke madzhab lain sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Seperti ketika orang menunaikan ibadah haji, - maaf – disitu kurang memungkinkan untuk menjalankan madzhab Syafi’i. Karena sebagaimana diketahui, bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan dewasa bukan muhrim dapat membatalkan wudlu. Sedangkan kondisi di Masjidil Haram, sangat memungkinkan bersentuhan laki-laki dan perempuan. Maka disaat itulah orang dipersilahkan menerapkan madzhab yang memungkinkan atau maslahat pada kondisi seperti itu, dengan mempertimbangkan keabsahan madzhab Maliki.

Secara legal formalitas, perpindahan madzhab untuk sementara dalam kondisi seperti tersebut mendapat legitimasi hukum dari syara’ bahwa memang seperti itulah tuntutan yang dikehendaki sebagaimana Qoidah Ushuliyah (pedoman untuk menggali dalil syara’, yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode dalam penggalian hukum), menyatakan: “Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan.”
Juga Firman Allah:
“Allah SWT. menghendaki kemudahan bagimu sekalian dan tidak menhendaki kesulitan bagi kalian”.

Karena diantara empat madzhab Mu’tabaroh – Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali – madzhab Hambalilah yang secara tekstual menyatakan bahwa tidak membatalkan apabila bersentuhan antara laki-laki dan perempuan. Yang menjadi catatan dengan adanya ‘rukhshoh tabdil’ (izin pengurangan atau keringanan sebagai pergantian) tersebut, orang harus konsekuen ketika menjalankan suatu madzhab. Terlepas dari faham fanatik, setiap orang tidak diperkenankan untuk bersikap mendua dalam bermadzhab. Artinya ketika seseorang sudah yakin untuk menerapkan suatu madzhab tertentu, maka seluruh tatanan ibadahnya, mulai dari niat ashgar (kecil) sampai amal akbar harus menurut madzhab yang dianutnya.

Sikap pengalihan madzhab dalam kondisi seperti itu dibenarkan dalam syara’ selama tidak menginjak pada wilayah talfiq, yaitu penggabungan beberapa madzhab ketika menjalankan rangkaian ibadah. Seperti ketentuan niat mengikuti caranya Imam Hanafi, wudlunya mengikuti cara Imam Maliki, batalnya wudlu mengikuti cara Imam Syafi’i sedangkan shalat menurut Imam Hambali. Sebab setiap madzhab, (termasuk madzhab diluar mu’tabaroh, walaupun sebagian besar mengadopsi dari yang mu’tabaroh), mempunyai tatanan dan kaifiyat (tabiat) tersendiri dalam menjalankan ibadah.
Itulah salah satu sebab, mengapa madzhab dalam aspek fiqh begitu banyak, disamping sebagai rahmat juga untuk mempersilahkan kepada khalayak guna mengambil madzhab yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.  

Tasawuf yang Lembut.
Seandainya orang fanatik terhadap suatu madzhab, bisa jadi akan mempengaruhi kualitas hati seseorang karena merasa ujub dan superior dengan bermadzhab pada imam yang dipilihnya. Bahkan ada kemungkinan terjebak pada sikap menyalahkan orang lain yang berbeda madzhabnya.

Padahal diantara pernyataan Syaikh Ibnu Rusydi, seorang faqih yang diantara karya tulisnya merumuskan etika bermadzhab; Bidayah Al-Mujtahid, ada keteladanan sekaligus nasehat yang bisa dicontoh, yaitu;
“Pendapat saya ini Insya Allah benar tapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat selain saya Insya Allah salah tapi bisa jadi benar.”
Mafhum Muwafaqoh dari pernyataan tersebut: “Seteliti-telitinya Qoul (pendapat)  Imam Syafi’i bisa saja salah dan sejanggal-janggalnya Qoul Imam Daud Adz-Dzohiri ra. bisa jadi itulah yang dikehendaki khitob syara’.”

Mengenai pendapat Imam Syafi’i ra. jumhur ulama sepakat mengakui keunggulan dan keakuratan beliau dalam segala hal. Sebaliknya bagi mayoritas umat pendapat Imam Daud Adz-Dzahiri terasa janggal untuk tidak mengatakan terlalu berani dan ‘nyeleneh’ (asal-asalan, yang bertujuan untuk lucu-lucuan.). Seperti pendapat beliau yang menyatakan: “Apabila seorang wanita mengatakan dengan ketulusan ‘Saya istrinya ini’ kepada laki-laki yang berada disampingnya, maka dianggap syah sebagai suami-istri kalau laki-laki itu mau dianggap suami, tanpa ada persyaratan: wali, dua orang saksi adil dan mas kawin sebagaimana disyariatkan oleh Imam-imam mujtahid lainnya.”

Namun demi menjunjung tinggi toleransi dalam bermadzhab dan kelembutan nilai-nilai falsafah dalam tasawuf, alangkah baiknya jika kita bersikap tawaquf (no comment) pada hal-hal seperti itu untuk menghindari terjebaknya hati dalam sikap fanatisme dan menyalahkan pihak lain.

Cukup mengatakan ‘saya belum faham’ sebagaimana sikap tawadlu yang dicontohkan oleh Rasullullah ketika diminta oleh malaikat Jibril untuk membacakan wahyu, beliau menyatakan: “Saya tidak bisa membaca”.
Atau seandainya kita yakin tidak terjebak kedalam sikap fanatisme, akan lebih baiknya lagi seandainya hal-hal yang seperti itu ditelaah dan ditelusuri untuk perbandingan – Muqoranoti al-Madzahib – guna memperkaya khasanah wawasan dan keilmuan.

Ada satu hikayat yang menggambarkan toleransi tentang etika bermadzhab sebagaimana yang dicontohkan oleh dua Imam Mujtahid. Alkisah berkunjunglah Imam Syafi’i kepada gurunya dibidang ilmu fiqh, yaitu Imam Malik ra. Walaupun secara geneologi silsilah keilmuan beliau menerima fiqh dari Imam Malik ra., namun ilmu pertama yang beliau terima adalah hadits yang termaktub dalam kitab Al-Muwatho’. Ketika tiba waktu shalat Subuh, yang menjadi imam adalah Imam Malik ra. namun tanpa diduga, beliau membaca Qunut padahal beliau terkenal sebagai Imam Madzhab yang tidak mengharuskan qunut. Selesai shalat bertanyalah Imam Syafi’i kepada beliau: “Kenapa engkau membaca qunut wahai Imam?. Bukankah menurut ijtihad tuan, lebih baik tidak qunut dalam shalat subuh?”. “Tidak”, jawab beliau. “Saya menghormati engkau sebagai Imam Madzhab yang mengharuskan qunut”.

Dilain waktu Imam Malik berkunjung kepada Imam Syafi’i dan Imam Syafi’i pun mengimami shalat Subuh tanpa membaca qunut. Ketika ditanya, beliau menjawab: “Saya menghormati engkau wahai tuan Imam, sebagai Mujtahid yang tidak mengharuskan qunut.” Jawab Imam Syafi’i dengan sikap tawadlu.

Bisa kita tarik benang merah dari kisah tersebut, bahwa betapapun seseorang memiliki integritas keilmuan yang diakui, manakala berhadapan dengan pihak lain, keduanya lantas tidak menonjolkan diri, namun atas nama toleransi keduanya saling meleburkan identitas diri tanpa kehilangan pijakan. Justru dengan bersikap seperti itulah semakin nampak sinar kealiman dan kesolehan seseorang.

Dengan menghormati pendapat orang sama halnya membuat orang menaruh hormat dan simpati terhadap kita. Inilah mutiara hikmah yang harus dicari setiap muslim, karena salah satu mutiara yang hilang dari warisan Rasullullah saw. dan Salafus sholih (para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in), adalah rasa tawadlu. (M.Qodar Syahidi, SHI).

                                                      ***888***


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.