Muhassabah.
Dalam tatanan pembangunan
fiqh, hukum yang tujuan asalnya untuk ketenteraman manusia bisa berubah
tergantung tempat dan kurun waktu. Dengan catatan, selama perubahan itu tidak
bertentangan dengan syari’at. Sebab bukannya hukum yang mengikuti zaman, tapi
zamanlah yang harus tunduk pada hukum. Namun kaidah ini tidaklah mutlak sebagai
harga mati, karena dalam keadaan tertentu fiqh masih bisa mentolelir kondisi
seseorang untuk menjalankan hukum seutuhnya. Artinya disitu memang ada
fleksibilitas terhadap subyek.
Ketika seseorang dihadapkan
pada situasi tertentu yang tidak memungkinkan untuk fiqh madzhab tertentu, maka
diperlukan usaha cerdas untuk tetap menjalankan syari’at dengan tidak
meninggalkan kerangka bermadzhab - ini untuk takaran umum orang sekarang - hal
ini bisa disiasati dengan cara menyeberang untuk sementara ke madzhab lain
sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Seperti ketika orang menunaikan ibadah
haji, - maaf – disitu kurang memungkinkan untuk menjalankan madzhab Syafi’i.
Karena sebagaimana diketahui, bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan
dewasa bukan muhrim dapat membatalkan wudlu. Sedangkan kondisi di Masjidil
Haram, sangat memungkinkan bersentuhan laki-laki dan perempuan. Maka disaat
itulah orang dipersilahkan menerapkan madzhab yang memungkinkan atau maslahat
pada kondisi seperti itu, dengan mempertimbangkan keabsahan madzhab Maliki.
Secara legal formalitas,
perpindahan madzhab untuk sementara dalam kondisi seperti tersebut mendapat
legitimasi hukum dari syara’ bahwa memang seperti itulah tuntutan yang
dikehendaki sebagaimana Qoidah Ushuliyah
(pedoman untuk menggali dalil syara’,
yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode
dalam penggalian hukum), menyatakan: “Kesulitan
itu bisa mendatangkan kemudahan.”
Juga Firman Allah:
“Allah
SWT. menghendaki kemudahan bagimu sekalian dan tidak menhendaki kesulitan bagi
kalian”.
Karena diantara empat
madzhab Mu’tabaroh – Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali – madzhab Hambalilah yang
secara tekstual menyatakan bahwa tidak membatalkan apabila bersentuhan antara
laki-laki dan perempuan. Yang menjadi catatan dengan adanya ‘rukhshoh tabdil’ (izin pengurangan atau
keringanan sebagai pergantian) tersebut, orang harus konsekuen ketika
menjalankan suatu madzhab. Terlepas dari faham fanatik, setiap orang tidak
diperkenankan untuk bersikap mendua dalam bermadzhab. Artinya ketika seseorang
sudah yakin untuk menerapkan suatu madzhab tertentu, maka seluruh tatanan
ibadahnya, mulai dari niat ashgar (kecil) sampai amal akbar harus menurut
madzhab yang dianutnya.
Sikap pengalihan madzhab
dalam kondisi seperti itu dibenarkan dalam syara’ selama tidak menginjak pada
wilayah talfiq, yaitu penggabungan
beberapa madzhab ketika menjalankan rangkaian ibadah. Seperti ketentuan niat
mengikuti caranya Imam Hanafi, wudlunya mengikuti cara Imam Maliki, batalnya
wudlu mengikuti cara Imam Syafi’i sedangkan shalat menurut Imam Hambali. Sebab
setiap madzhab, (termasuk madzhab diluar mu’tabaroh, walaupun sebagian besar
mengadopsi dari yang mu’tabaroh), mempunyai tatanan dan kaifiyat (tabiat)
tersendiri dalam menjalankan ibadah.
Itulah salah satu sebab,
mengapa madzhab dalam aspek fiqh begitu banyak, disamping sebagai rahmat juga
untuk mempersilahkan kepada khalayak guna mengambil madzhab yang sesuai dengan
kondisi yang dihadapi.
Tasawuf yang Lembut.
Seandainya orang fanatik
terhadap suatu madzhab, bisa jadi akan mempengaruhi kualitas hati seseorang
karena merasa ujub dan superior dengan bermadzhab pada imam yang dipilihnya.
Bahkan ada kemungkinan terjebak pada sikap menyalahkan orang lain yang berbeda
madzhabnya.
Padahal diantara pernyataan
Syaikh Ibnu Rusydi, seorang faqih yang diantara karya tulisnya merumuskan etika
bermadzhab; Bidayah Al-Mujtahid, ada keteladanan
sekaligus nasehat yang bisa dicontoh, yaitu;
“Pendapat
saya ini Insya Allah benar tapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat selain saya
Insya Allah salah tapi bisa jadi benar.”
Mafhum Muwafaqoh dari
pernyataan tersebut: “Seteliti-telitinya Qoul (pendapat) Imam Syafi’i bisa saja salah dan
sejanggal-janggalnya Qoul Imam Daud Adz-Dzohiri ra. bisa jadi itulah yang
dikehendaki khitob syara’.”
Mengenai pendapat Imam Syafi’i
ra. jumhur ulama sepakat mengakui keunggulan dan keakuratan beliau dalam segala
hal. Sebaliknya bagi mayoritas umat pendapat Imam Daud Adz-Dzahiri terasa
janggal untuk tidak mengatakan terlalu berani dan ‘nyeleneh’ (asal-asalan, yang
bertujuan untuk lucu-lucuan.). Seperti pendapat beliau yang menyatakan: “Apabila seorang wanita mengatakan dengan
ketulusan ‘Saya istrinya ini’ kepada laki-laki yang berada disampingnya, maka
dianggap syah sebagai suami-istri kalau laki-laki itu mau dianggap suami, tanpa
ada persyaratan: wali, dua orang saksi adil dan mas kawin sebagaimana disyariatkan
oleh Imam-imam mujtahid lainnya.”
Namun demi menjunjung tinggi
toleransi dalam bermadzhab dan kelembutan nilai-nilai falsafah dalam tasawuf,
alangkah baiknya jika kita bersikap tawaquf (no comment) pada hal-hal seperti
itu untuk menghindari terjebaknya hati dalam sikap fanatisme dan menyalahkan
pihak lain.
Cukup mengatakan ‘saya belum
faham’ sebagaimana sikap tawadlu yang dicontohkan oleh Rasullullah ketika
diminta oleh malaikat Jibril untuk membacakan wahyu, beliau menyatakan: “Saya tidak bisa membaca”.
Atau seandainya kita yakin
tidak terjebak kedalam sikap fanatisme, akan lebih baiknya lagi seandainya
hal-hal yang seperti itu ditelaah dan ditelusuri untuk perbandingan –
Muqoranoti al-Madzahib – guna memperkaya khasanah wawasan dan keilmuan.
Ada satu hikayat yang
menggambarkan toleransi tentang etika bermadzhab sebagaimana yang dicontohkan
oleh dua Imam Mujtahid. Alkisah berkunjunglah Imam Syafi’i kepada gurunya
dibidang ilmu fiqh, yaitu Imam Malik ra. Walaupun secara geneologi silsilah
keilmuan beliau menerima fiqh dari Imam Malik ra., namun ilmu pertama yang
beliau terima adalah hadits yang termaktub dalam kitab Al-Muwatho’. Ketika tiba
waktu shalat Subuh, yang menjadi imam adalah Imam Malik ra. namun tanpa diduga,
beliau membaca Qunut padahal beliau terkenal sebagai Imam Madzhab yang tidak
mengharuskan qunut. Selesai shalat bertanyalah Imam Syafi’i kepada beliau: “Kenapa
engkau membaca qunut wahai Imam?. Bukankah menurut ijtihad tuan, lebih baik
tidak qunut dalam shalat subuh?”. “Tidak”, jawab beliau. “Saya menghormati
engkau sebagai Imam Madzhab yang mengharuskan qunut”.
Dilain waktu Imam Malik
berkunjung kepada Imam Syafi’i dan Imam Syafi’i pun mengimami shalat Subuh
tanpa membaca qunut. Ketika ditanya, beliau menjawab: “Saya menghormati engkau
wahai tuan Imam, sebagai Mujtahid yang tidak mengharuskan qunut.” Jawab Imam
Syafi’i dengan sikap tawadlu.
Bisa kita tarik benang merah
dari kisah tersebut, bahwa betapapun seseorang memiliki integritas keilmuan
yang diakui, manakala berhadapan dengan pihak lain, keduanya lantas tidak menonjolkan
diri, namun atas nama toleransi keduanya saling meleburkan identitas diri tanpa
kehilangan pijakan. Justru dengan bersikap seperti itulah semakin nampak sinar
kealiman dan kesolehan seseorang.
Dengan menghormati pendapat
orang sama halnya membuat orang menaruh hormat dan simpati terhadap kita.
Inilah mutiara hikmah yang harus dicari setiap muslim, karena salah satu
mutiara yang hilang dari warisan Rasullullah saw. dan Salafus sholih (para
Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in), adalah rasa tawadlu. (M.Qodar Syahidi, SHI).
***888***

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.