Bahaya selanjutnya yang
diakibatkan dengan lidah adalah ‘buruk sangka’.
Perlu diketahui, Islam datang ditengah-tengah kita adalah untuk
menegakkan masyarakat dengan penuh kejernihan hati, rasa percaya yang timbal balik,
bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka.
Oleh karena itu Islam
mengharamkan berburuk sangka, menaruh ketidak percayaan terhadap saudaranya
tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas.
Sebab pada dasarnya secara umum manusia itu adalah bersih, fitrah. Oleh karena
itu perasangka-perasangka itu tidak layak untuk diketengahkan dalam forum
kebersihan moral bermasyarakat. Dalam ha ini Allah telah menegaskan dalam
Al-
Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jauhilah olehmu banyak menyangka karena sesungguhnya
sebagian itu berdosa.”
Sangkaan yang berdosa dan
diharamkan oleh agama itu adalah sangkaan yang buruk. Lebih jauh Rasullullah
saw. bersabda yang diriwatkan oleh Bukhary:
Artinya:
“Berhati-hatilah
kamu terhadap perasangka, karena sesungguhnya perasangka itu sedusta-dusta
omongan.”
Rasullullah saw. beserta
keluarganya telah mendapat fitnahan, suatu perasangka buruk dari orang-orang
munafik, dengan tujuan untuk memecah hubungan umat Islam, agar orang-orang
tidak beriman kepada Nabi saw. dan keluarga beliau menjadi berantakan.
Sebagaimana kita ketahui,
bahwa setiap Rasullullah saw. bepergian jauh, beliau mengadakan undian siapa
diantara istri-istri beliau yang akan diajak pergi. Ketika beliau keluar untuk
menemui Bani Mustaliq. ‘Aisyah-lah yang memegang undian itu, dan ia berangkat
menyertai Rasullullah saw. Dala, saat-saat seperti itu para istri Nabi biasanya
banyak makan sayur-sayuran. Mereka sedikit makan daging agar tidak menambah
berat badan. Bila ‘Aisyah hendak pergi, menunggang unta, ia duduk didalam haudaj
(yakni semacam rumah kecil yang terpasang diatas punggung unta), kemudian
beberapa orang mengangkat haudaj keatas, dipasang diatas punggung unta, dan
setelah dikait kuat-kuat barulah mereka pergi.
Setelah Rasullullah saw.
selesai melaksanakan tugas perjalanan itu, beliau bersiap pulang. Setiba dekat
Madinah, beliau singgah disebuah rumah dan beristirahat ditempat itu beberapa
saat lamanya hingga malam. Kemudian beliau memberi aba-aba untuk berangkat
lagi. Disaat semua orang berkemas-kemas hendak berangkat, ‘Aisyah keluar untuk
buang hajat. Ketika ia hendak bergabung dengan rombongan, pada sat itu ia
meraba-raba kalung dilehernya, ternyata hilang. Dilihatnya rombongan sudah bersiap
beranjak pergi, tapi ‘Aisyah malah kembali ketempat dia buang hajat untuk
mencari kalungnya.
Disaat ‘Aisyah sedang
mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta
tunggangan. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka mengira ‘Aisyah sudah
berada di haudaj, maka tali kekang unta ditarik untuk bersiap berangkat. Ketika
‘Aisyah kembali ketempat rombongan, didapati tak seorangpun dari rombongan yang
tinggal. Maka dengan berselimutan jilbab ‘Aisyah berbaring ditempat itu dengan
fikiran mereka tentu akan kembali ketempat itu, jika tahu haudaj tempatnya
menunggang kosong. Taqdir Tuhan menentukan lain, saat ‘Aisyah berbaring,
tiba-tiba Shafwan bin Mu’aththal As-Silmi lewat. Agaknya ia juga terlambat
berangkat bersama rombongan karena adanya keperluan, karena itu tidak ada orang
lain yang menemaninya. Ia mendekati ‘Aisyah, ia sudah mengenal ‘Aisyah sebelum
para wanita diwajibkan berjilbab. Ketika melihat ‘Aisyah ia berucap: Innaalillaahi wa Innaa ilaihi Rooji’uun,
istri Rasullullah? Ketika itu ‘Aisyah masih dalam keadaan menutup dirinya
dengan jilbab.
Shafwan bertanya: “Kenapa
anda ketinggalan?.” Tapi ‘Aisyah tidak menyahut. Shafwan lalu mendekatkan
untanya kepada ‘Aisyah seraya berkata: “Silahkan anda naik!”. Shafwan mundur
agak jauh dari ‘Aisyah. Setelah ‘Aisyah naik, ia menarik kekang unta, dan
berjalan ia mencari-cari orang lain disekitar tempat yang dilewatinya. Taqdir
Tuhan menentukan bahwa tak seorang pun melihat mereka berjalan dan lagi tak
seorangpun yang mencari ‘Aisyah, seakan “Aisyah masih berada di haudaj hingga
pagi. Perjalanan dilanjutkan hingga sampai Madinah. Saat itulah beberapa orang
melihat seorang lelaki menuntun unta yang dinaiki ‘Aisyah. Mulailah orang
membuat khabar bohong dan cepat ditelan orang banyak. Tapi ‘Aisyah sendiri
tidak mengetahui sudah didesas-desuskan orang-orang.
Setibanya di Madinah,
kesehatan ‘Aisyah terganggu. Dia belum juga mendengar gosip tentang dirinya,
tetapi Rasullullah saw. dan ayah ibunya sudah tahu lebih dahulu. ‘Aisyah tentu
heran melihat sikap Rasullullah saw. yang tidak seperti biasa terhadap dirinya.
‘Aisyah merasa tidak enak, karena setiap beliau datang kepadanya dan ibunya
yang merawatnya, beliau hanya bertanya: “Bagaimana keadaanmu?”. Tidak lebih
dari itu. Setelah ‘Aisyah melihat sikap beliau yang dingin terhadap dirinya, ia
mulai marah dan bertanya: Ya rasullullah, apakah engkau mengijinkan aku pindah
ke rumah ibuku?. Beliau menjawab: “Boleh saja!”. ‘Aisyah lalu pindah ke rumah
ibunya. Hingga saat itu ia belum juga mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi.
Setelah menderita sakit selama dua puluh hari lebih, kesehatan ‘Aisyah mulai
pulih kembali.
Seperti halnya keadaan
masyarakat Arab, yang tidak mempunyai WC (kamar kecil dirumah), apabila buang
air besar ia harus keluar dari rumahnya agak jauh, dan biasanya itu dilakukan
pada malam hari. Pada suatu malam ‘Aisyah keluar untuk buang hajat bersama Ummu
Misthah. Disaat itu ia sedang berjalan, tiba-tiba kakinya terantuk hingga
kesakitan dan terlontar ucapan dari mulut Ummu Misthah: “Celaka si Misthah!”.
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ummu Misthah, ‘Aisyah menegur:
“Alangkah buruknya ucapan itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut
serta dalam perang Badar”. (yakni Misthah). Ummu Misthah menjawab: “Hai putri
Abu Bakar, apakah engkau tidak mendengar berita yang menghangatkan?”. ‘Aisyah
bertanya: “Khabar apa?”. Ummu Misthah lalu menceritakan khabar bohong yang
didesas-desuskan oleh orang banyak. ‘Aisyah bertanya lagi: “Apakah itu
benar-benar terjadi?”. Ummu Misthah menjawab: “Ya benar. Demi Allah itu
benar-benar terjadi.”
Setelah ‘Aisyah mendengar
khabar yang mengejutkan tentang dirinya itu, ia tidak jadi membuang hajat, ia
segera pulang. Sejak itu ‘Aisyah terus-menerus menangis, merasa hancur hatinya.
Dikatakan kepada ibunya: “Semoga Allah mengampuni ibu, orang ramai membicarakan
khabar bohong mengenai diriku, tetapi ibu sama sekali tidak memberitahu
padaku.” Ibu ‘Aisyah menyahut: “wahai anakku ‘Aisyah, tabahkan hatimu! Tidak
jarang wanita baik-baik dan dicintai suaminya, jika dimadu ia tentu menjadi
pembicaraan orang banyak.”
Sementara Rasullullah saw. dalam
khutbahnya beliau setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah berkata
kepada kaum Muslimin: “Hai kaum muslimin, mengapa banyak orang mengganggu
ketentraman rumah tanggaku dan mengatakan hal-hal tidak benar mengenai mereka?.
Demi Allah, yang kuketahui mereka adalah orang-orang baik. Mengapa soal itu banyak orang menyebut-nyebut nama
seorang laki-laki. Demi Allah, aku mengetahui benar ia adalah orang baik.
Setiap bertemu dengan keluargaku, ia selalu bersama aku.”
Persoalan ini memang dibesar-besarkan
oleh Abdullah bin Ubay dikalangan orang-orang Khazraj. Misthah dan Hamnah binti
Jahsy turut membesar-besarkannya juga. Hamnah adalah adik perempuan Zainab
binti Jahsy, salah seorang istri Rasullullah saw. Diantara para wanita anggauta
keluarga Nabi saw. tidak ada iri hati terhadap disisi beliau kecuali Hamnah.
Zainab binti Jahsy sendiri sangat tekun beribadah dan tidak berkata selain yang
serba baik. Hamnah itulah yang menyampaikan berita bohong kepada kakak
perempuannya, sehingga ‘Aisyah merasa sangat terganggu karenanya.
Setelah Rasullullah saw.
mengakhiri khutbahnya Usaid bin Hudlair menyahut: “Ya Rasullullah, kalau yang
menyebarkan berita fitnah itu orang-orang Aus, kamilah yang akan bertindak
terhadap mereka. Kalau yang menyebarkan khabar bohong itu saudara-saudara kami
sendiri dari Khazraj, perintahkanlah kami memancung lehernya.”
Mendengar ucapan Usaid itu,
Sa’ad bin Ubaidah menyanggah: “Demi Allah, engkau bohong! Engkau tidak akan
dapat memancung leher mereka. Engkau berkata seperti karena engkau sudah tahu
bahwa mereka itu dari Khazraj. Kalau mereka itu dari kaum mu sendiri (Aus)
tentu engkau tidak akan mengucapkan kata-kata seperti itu.” Usaid menjawab:
“Demi Allah, engkau yang bohong! Engkau munafik karena engkau hendak membela orang-orang
munafik.”
Terjadilah pertengkaran
sengit hampir terjadi pertengkaran adu senjata antara dua kabilah itu. Aus dan
khazraj, tetapi akhirnya berhasil dilerai oleh Rasullullah saw. Saat itu
datanglah Ali bin Abi Thalib, Rasullullah saw. kemudian memanggil Ali dan
Usamah bin Zaid untuk dimintai pendapat. Ketika itu Usamah berkata: “Ya
Rasullullah, mereka (para istri Nabi) adalah keluarga anda. Yang kuketahui
mereka itu semuanya baik-baik. Adapun desas-desus itu sepenuhnya bohong dan
tidak benar sama sekali. Sedang Ali bin Abi Thalib berkata: “Ya Rasullullah,
masih banyak wanita dan anda bisa mendapatkan gantinya! Tanyakanlah hal itu
kepada pelayan perempuan. Ia pasti akan memberikan keterangan yang benar kepada
anda.”
Rasullulah saw. lalu
memanggil pelayan perempuan bernama Buhairah untuk ditanya. Ketika pelayan itu
menghadap Ali bin Abi Thalib, ia bertanya sambil membentak: “Katakanlah yang
sebenarnya kepada Rasullullah!” Mendengar pertanyaan yang diajukan kepadanya, pelayan
itu menjawab: “Demi Allah, apa yang aku ketahui adalah baik-baik saja. Aku
tidak pernah melihat ‘Aisyah berbuat yang tidak senonoh, kecuali pada waktu aku
selesai mengadon terigu aku minta supaya ia menungguinya, tetapi ia ketiduran
hingga datanglah seekor kambing lalu adonan terigu dimakannya.”
Pada suatu hari Rasullullah
saw. datang ke rumah ‘Aisyah. Pada saat itu ayah-ibu ‘Aisyah berada dirumah.
‘Aisyah sedang menangis dan seorang wanita Anshor yang menemani ‘Aisyah ketika
itu turut menangis. Beliau lalu duduk, setelah memanjatkan puji kehadirat Allah, beliau berkata: “Hai
‘Aisyah, tentu kau bertaqwa kepada Allah. Jika engkau berbuat buruk seperti
yang dikatakan orang-orang banyak, hendaknya segera bertaubat kepada Allah,
karena Allah berkenan menerima taubat para hamba-hamba-Nya.”
Ketika ucapan iru didengar
‘Aisyah tanpa dirasakan air mata ‘Aisyah tambah bercucuran. ‘Aisyah menunggu
sampai ayah-ibunya menjawab dan memberikan keterangan mengenai dirinya, tetapi
kedua-duanya tidak berbicara sepatah katapun. ‘Aisyah sadar bahwa ia terlampau
rendah dan terlampau kerdil untuk mengharapkan turunnya wahyu Illahi mengenai
persoalan dirinya. Kendati begitu ia sangat mengharapkan mudah-mudahan Nabi
saw. mimpi dalam tidurnya, melihat sesuatu yang menunjukkan kebohongan omongan
orang banyak tentang dirinya agar beliau mengetahui bahwa ia benar-benar tidak
bersalah dan tidak berbuat yang senonoh.
Ketika ‘Aisyah melihat ayah-ibunya
tetap diam, beliau bertanya kepada mereka berdua: “Kenapa ayah-ibu tidak mau menjawab
apa yang ditanyakan oleh Rasullullah itu?” Keduanya menyahut: “ Demi Allah,
kami tidak tahu bagaimana harus menjawab.” ‘Aisyah belum pernah melihat suatu
keluarga mengalami musibah seperti dialami keluarga Abu Bakar pada waktu.
Karena ayah-ibunya tetap diam, akhirnya ‘Aisyahlah yang menerangkan sendiri,
seraya katanya: “Demi Allah, aku tidak mau bertaubat mengenai persoalan yang
anda sebutkan tadi. Aku benar-benar tidak tahu-menahu persoalan yang
didesas-desuskan itu. Kalau aku mengakui apa yang dikatakan oleh orang-orang
itu dan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, berarti aku mengatakan
sesuatu yang tidak pernah terjadi, tetapi kalau aku menolak apa yang dikatakan
mereka, kalian tidak mempercayai diriku.”
Ketika itu terlintas dalam
ingatan ‘Aisyah kisah Nabi Ya’qub as. karena itu ‘Aisyah lalu mengutib ucapan
ayah Nabi Yusuf itu: “Sebaiknya aku bersabar, kepada Allah sajalah aku mohon
pertolongan atas apa yang kalian lukisman.” (Surat Yusuf ayat 18). Rasullullah
saw. masih belum beranjak dari tempat duduknya. Beliau tampak lemah lunglai
seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Illahi. Beliau menyelimuti diri
dengan kain dan menaruh bantal dibawah kepala. Ketika melihat beliau dalam
keadaan seperti itu, ‘Aisyah tidak takut dan tidak peduli, karena ‘Aisyah yakin
benar bahwa dirinya tidak bersalah dan Allah pasti tidak berlaku zalim terhadap
dirinya. Sementara itu ayah-ibunya ‘Aisyah ketika melihat Rasullullah saw.
berada dalam keadaan seperti itu, keduanya sangat ketakutan kalau-kalau beliau
menerima wahyu Illahi yang membuktikan benarnya apa yang dikatakan oleh
orang-orang banyak.
Beberapa saat kemudian
Rasullullah saw. bangun lalu duduk. Dari wajah beliau menetes butiran-butiran
keringat laksana mutiara berkilauan. Sambil duduk menyeka keringat beliau
berkata: “Hai ‘Aisyah, gembiralah engkau. Allah Azza Wajalla telah menurunkan
wahyu-Nya membuktikan engkau tidak bersalah, ‘Aisyah: “Alhamdulillah.” Beliau
kemudian keluar untuk menyampaikan firman Allah yang baru saja diterimanya
untuk disampaikan kepada orang banyak:
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyebar luaskan berita bohong itu adalah dari golongan kalian
juga. Janganlah kalian juga mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian.
Setiap orang dari mereka menerima balasan atas dosa-dosa yang telah
diperbuatnya. Dan siapa diatara mereka yang diambil bagian terbesar dalam
penyebarluaskan berita bohong itu (disediakan) baginya adzab yang amat besar.”
(Surat an-Nur ayat :11).
Dengan berdasarkan wahyu
Illahi yang diterimanya itu, beliau lalu memutuskan menjatuhkan hukuman cambuk
terhadap orang-orang yang terbukti turut menyebar luaskan tuduhan palsu
tersebut. Hasan bin Harits, Misthah dan Hamnah. Suatu hal yang mengherankan
justru Abdullah bin Ubay sendiri sebagai biang keladi dan penyebar fitnah,
lolos dari hukuman, karena dia sudah mengetahui terlebih apa yang akan terjadi
pada dirinya. Setelah berhasil menimpakan musibah pada orang lain, baru ia
meloloskan diri.
Buruk sangka dalam
Peperangan.
Buruk dalam suatu peperangan
adalah berbentuk perang urat saraf. Didalam suatu peperangan memang tidak ada
nilai-nilai dan norma-norma kemanusian. Ada pameo yang mengatakan: AL-HARBU KHUD’ATUN (perang itu adalah tipu
daya).
Kaum Muslimin dizaman
Rasullah saw. sudah pernah juga mengalami perang urat saraf itu sewaktu terjadi
peperangan Uhud. Pada saat-saat yang kritis, diwaktu Rasullullah saw. mendapat
luka yang sangat parah karena lemparan batu-batu yang tajam, maka seorang prajurit
fihak Quraisy yang bernama Ibnu Qam’ah menyerbu pertahanan Rasullullah saw.,
yang saat itu dibentengi oleh empat-belas orang-orang sahabat pilihan yang
bertekad bulat untuk melindungi jiwa Rasullullah saw.. Mereka para sahabat itu
tidak rela kalau Rasullullah saw. jatuh ketangan musuh, sebelum melangkahi
mayat-mayat para sahabat yang membentengi Rasullullah saw. tersebut. Dalam
pergumulan satu lawan satu, Ibnu Qam’ah dapat menikam Mus’ab bin Umair, yang
menjadi ajudan Rasullullah saw. dimana dia mempunyai wajah mirip Rasullullah
saw. Sehingga Ibnu Qa’ah menyangka, bahwa yang mati dibunuhnya itu ialah
Rasullullah saw. sendiri sehingga dengan bangga dia berteriak mengatakan: “Muhammad
telah terbunuh!.”
Berita itu menjadi rumor
panas menegangkan yang menyebar dikalangan pertempuran, sehingga melemahkan
semangat pasukan kaum Muslimin, bahkan ada diantaranya yang sudah lari,
menyingkir menyelamatkan diri. Pada detik-detik yang menegangkan itu, seorang
sahabat bernama Ka’ab bin Malik dengan memapah Rasullullah saw. yang terluka
parah, berteriak pula dengan sekuat-kuatnya: “Wahai kaum Muslimin,
bergembiralah! Rasullullah masih hidup dan masih memegang pimpinan kita!”.
Dengan pernyataan Ka’ab yang lantang itu membuktikan bahwa berita buruk dari
fihak musuh itu adalah merupakan tipu daya belaka, sehingga semangat tempur
pasukan Islam yang hampir punah itu bangkit kembali, dan akhirnya kaum Muslimin
dapat menggondol kemenangan.
Kiranya dari kisah yang
terurai diatas, dapatlah kita petik pelajaran bahwa berburuk sangka terhadap
siapapun baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, akan mendapatkan
konsekuensi berat berupa adzab atau hukuman baik didunia maupun diakherat. Islam
menganjurkan kepada kaum muslimin muslimat untuk selalu dapat berbaik sangka,
menjauhi sejauh-jauhnya tabiat perangsaka buruk. Sebab dari titik tolak
sangkaan kita itu akan menghasilkan keadaan yang sesuai dengan sangkaan kita.
Jika kita menyangka Allah itu baik, maka Allah-pun akan memperlakukan kita
sesuai perasangkaan kita. Begitupun sebaliknya. Dasar dari keterangan ini dapat
kita lihat pada bunyi hadits qudsi yang diriwatkan oleh Thabrani dan Abu Na’im,
yang artinya: “Aku (Allah) mengikuti
sangkaan hamba-Ku. Jika mereka menyangka baik, mereka akan Ku-perlakukan baik.
Jika mereka menyangka buruk terhadap-Ku, mereka pun akan Ku-perlakukan secara
buruk pula.”
AYAT-AYAT AL-QUR’AN
berkaitan dengan BURUK SANGKA.
1). Surat An-Nisa’ ayat 83:
WA IDZAA JAA-AHUM AMRUN
MINAL AMNI AWIL KHOUFLADZAA-‘UU BIHI, WALAU RUDDUUHU ILAH ROSUULI WA-ILAA ULUL
AMRI MINHUM LA’ALAIMAHUL LADZIINA YASTANBITHUUNAHU MINHUM, WALAULAA FA
DL-LULLAAHI ‘ALAIKUM WAROHMATUHU LATTABA’TUMSY SYAITHOONA ILLA QOLIILAAN.
“Dan
apabila datang kepada mereka satu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
para pejabat (penguasa/pimpinan) diantara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan
ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikuti syaitan kecuali sebagaian kecil saja (diantaranya).”
2). Surat Al-Hujurat ayat
12:
YAA AYYUHAL LADZIINA
AAMANUJTANIBUUKATSIIRON MINADHDHONNI INNA BA’DHDHONNI ITSMUN.
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari buruk sangka, sesungguhnya
sebagian dari buruk sangka itu adalah dosa..”
3). Surat Al-Ahzab ayat 58:
WAL LADZIINA YUKDZUUNAL
MUKMINIINA WAL MUKMINAATI BIGHOIRI MAKTASABUU FAQODIHTAMALUU BUHTAANAN WA
ITSMAN MUBIINAA.
“Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa
yang nyata.”
4). Surat An-Nur ayat 23:
INNAL LADZIINA YARMUUNAL
MUHSHO-NAATIL GHOOFILAATIL MUKMINAATI LU’INNU FIDDUNYAA WAL AAKHIROTI WALAHUM ‘ADZAABUN
‘ADHIIMUN.
“Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena laknat didunia dan diakherat, dan bagi mereka adzab
yang besar).”
HADITS–HADDITS NABI SAW, berkaitan
dengan BURUK SANGKA.
a). Rasullullah saw.
bersabda yang diriwatkan oleh Imam Bukhory dan Muslim:
“Jauhilah
buruk sangka, karena sesungguhnya buruk sangka itu pembicaraan yang paling
dusta.”
b). Rasullullah saw.
bersabda yang diriwatkan oleh Imam Thabrani:
“Berhati-hatilah
kamu dengan buruk sangka kepada sesama manusia.”
c). Rasullullah saw.
bersabda yang diriwatkan oleh Imam Bukhory dan Muslim:
“Dilarang
kamu sekalian berbicara begini dan begitu, mempercayai sesuatu yang disampaikan
orang lain, tanpa dipertimbangkan dan diteliti.”
d). Rasullullah saw.
bersabda:
“Dua
perkara, tidak sesuatupun lebih utama dari padanya, yaitu: Berbaik sangka
terhadap Allah, dan berbaik sangka terhadap hamba-hamba-Nya. Dan dua perkara
lagi, tidak sesuatupun lebih buruk daripadanya, yaitu berburuk sangka terhadap
Allah dan berburuk terhadap hamba-hamba-Nya.”
***
No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.