Translate

Thursday, October 6, 2016

BURUK SANGKA (SUU – UDH DHAN)

Bahaya selanjutnya yang diakibatkan dengan lidah adalah ‘buruk sangka’.  Perlu diketahui, Islam datang ditengah-tengah kita adalah untuk menegakkan masyarakat dengan penuh kejernihan hati, rasa percaya yang timbal balik, bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka.

Oleh karena itu Islam mengharamkan berburuk sangka, menaruh ketidak percayaan terhadap saudaranya tanpa suatu  alasan dan bukti yang jelas. Sebab pada dasarnya secara umum manusia itu adalah bersih, fitrah. Oleh karena itu perasangka-perasangka itu tidak layak untuk diketengahkan dalam forum kebersihan moral bermasyarakat. Dalam ha ini Allah telah menegaskan dalam Al-
Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah olehmu banyak menyangka karena sesungguhnya sebagian itu berdosa.”

Sangkaan yang berdosa dan diharamkan oleh agama itu adalah sangkaan yang buruk. Lebih jauh Rasullullah saw. bersabda yang diriwatkan oleh Bukhary:
Artinya:
“Berhati-hatilah kamu terhadap perasangka, karena sesungguhnya perasangka itu sedusta-dusta omongan.”

Rasullullah saw. beserta keluarganya telah mendapat fitnahan, suatu perasangka buruk dari orang-orang munafik, dengan tujuan untuk memecah hubungan umat Islam, agar orang-orang tidak beriman kepada Nabi saw. dan keluarga beliau menjadi berantakan.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa setiap Rasullullah saw. bepergian jauh, beliau mengadakan undian siapa diantara istri-istri beliau yang akan diajak pergi. Ketika beliau keluar untuk menemui Bani Mustaliq. ‘Aisyah-lah yang memegang undian itu, dan ia berangkat menyertai Rasullullah saw. Dala, saat-saat seperti itu para istri Nabi biasanya banyak makan sayur-sayuran. Mereka sedikit makan daging agar tidak menambah berat badan. Bila ‘Aisyah hendak pergi, menunggang unta, ia duduk didalam haudaj (yakni semacam rumah kecil yang terpasang diatas punggung unta), kemudian beberapa orang mengangkat haudaj keatas, dipasang diatas punggung unta, dan setelah dikait kuat-kuat barulah mereka pergi.

Setelah Rasullullah saw. selesai melaksanakan tugas perjalanan itu, beliau bersiap pulang. Setiba dekat Madinah, beliau singgah disebuah rumah dan beristirahat ditempat itu beberapa saat lamanya hingga malam. Kemudian beliau memberi aba-aba untuk berangkat lagi. Disaat semua orang berkemas-kemas hendak berangkat, ‘Aisyah keluar untuk buang hajat. Ketika ia hendak bergabung dengan rombongan, pada sat itu ia meraba-raba kalung dilehernya, ternyata hilang. Dilihatnya rombongan sudah bersiap beranjak pergi, tapi ‘Aisyah malah kembali ketempat dia buang hajat untuk mencari kalungnya.

Disaat ‘Aisyah sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tunggangan. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka mengira ‘Aisyah sudah berada di haudaj, maka tali kekang unta ditarik untuk bersiap berangkat. Ketika ‘Aisyah kembali ketempat rombongan, didapati tak seorangpun dari rombongan yang tinggal. Maka dengan berselimutan jilbab ‘Aisyah berbaring ditempat itu dengan fikiran mereka tentu akan kembali ketempat itu, jika tahu haudaj tempatnya menunggang kosong. Taqdir Tuhan menentukan lain, saat ‘Aisyah berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu’aththal As-Silmi lewat. Agaknya ia juga terlambat berangkat bersama rombongan karena adanya keperluan, karena itu tidak ada orang lain yang menemaninya. Ia mendekati ‘Aisyah, ia sudah mengenal ‘Aisyah sebelum para wanita diwajibkan berjilbab. Ketika melihat ‘Aisyah ia berucap: Innaalillaahi wa Innaa ilaihi Rooji’uun, istri Rasullullah? Ketika itu ‘Aisyah masih dalam keadaan menutup dirinya dengan jilbab.

Shafwan bertanya: “Kenapa anda ketinggalan?.” Tapi ‘Aisyah tidak menyahut. Shafwan lalu mendekatkan untanya kepada ‘Aisyah seraya berkata: “Silahkan anda naik!”. Shafwan mundur agak jauh dari ‘Aisyah. Setelah ‘Aisyah naik, ia menarik kekang unta, dan berjalan ia mencari-cari orang lain disekitar tempat yang dilewatinya. Taqdir Tuhan menentukan bahwa tak seorang pun melihat mereka berjalan dan lagi tak seorangpun yang mencari ‘Aisyah, seakan “Aisyah masih berada di haudaj hingga pagi. Perjalanan dilanjutkan hingga sampai Madinah. Saat itulah beberapa orang melihat seorang lelaki menuntun unta yang dinaiki ‘Aisyah. Mulailah orang membuat khabar bohong dan cepat ditelan orang banyak. Tapi ‘Aisyah sendiri tidak mengetahui sudah didesas-desuskan orang-orang.

Setibanya di Madinah, kesehatan ‘Aisyah terganggu. Dia belum juga mendengar gosip tentang dirinya, tetapi Rasullullah saw. dan ayah ibunya sudah tahu lebih dahulu. ‘Aisyah tentu heran melihat sikap Rasullullah saw. yang tidak seperti biasa terhadap dirinya. ‘Aisyah merasa tidak enak, karena setiap beliau datang kepadanya dan ibunya yang merawatnya, beliau hanya bertanya: “Bagaimana keadaanmu?”. Tidak lebih dari itu. Setelah ‘Aisyah melihat sikap beliau yang dingin terhadap dirinya, ia mulai marah dan bertanya: Ya rasullullah, apakah engkau mengijinkan aku pindah ke rumah ibuku?. Beliau menjawab: “Boleh saja!”. ‘Aisyah lalu pindah ke rumah ibunya. Hingga saat itu ia belum juga mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Setelah menderita sakit selama dua puluh hari lebih, kesehatan ‘Aisyah mulai pulih kembali.

Seperti halnya keadaan masyarakat Arab, yang tidak mempunyai WC (kamar kecil dirumah), apabila buang air besar ia harus keluar dari rumahnya agak jauh, dan biasanya itu dilakukan pada malam hari. Pada suatu malam ‘Aisyah keluar untuk buang hajat bersama Ummu Misthah. Disaat itu ia sedang berjalan, tiba-tiba kakinya terantuk hingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulut Ummu Misthah: “Celaka si Misthah!”. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ummu Misthah, ‘Aisyah menegur: “Alangkah buruknya ucapan itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badar”. (yakni Misthah). Ummu Misthah menjawab: “Hai putri Abu Bakar, apakah engkau tidak mendengar berita yang menghangatkan?”. ‘Aisyah bertanya: “Khabar apa?”. Ummu Misthah lalu menceritakan khabar bohong yang didesas-desuskan oleh orang banyak. ‘Aisyah bertanya lagi: “Apakah itu benar-benar terjadi?”. Ummu Misthah menjawab: “Ya benar. Demi Allah itu benar-benar terjadi.”

Setelah ‘Aisyah mendengar khabar yang mengejutkan tentang dirinya itu, ia tidak jadi membuang hajat, ia segera pulang. Sejak itu ‘Aisyah terus-menerus menangis, merasa hancur hatinya. Dikatakan kepada ibunya: “Semoga Allah mengampuni ibu, orang ramai membicarakan khabar bohong mengenai diriku, tetapi ibu sama sekali tidak memberitahu padaku.” Ibu ‘Aisyah menyahut: “wahai anakku ‘Aisyah, tabahkan hatimu! Tidak jarang wanita baik-baik dan dicintai suaminya, jika dimadu ia tentu menjadi pembicaraan orang banyak.”

Sementara Rasullullah saw. dalam khutbahnya beliau setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah berkata kepada kaum Muslimin: “Hai kaum muslimin, mengapa banyak orang mengganggu ketentraman rumah tanggaku dan mengatakan hal-hal tidak benar mengenai mereka?. Demi Allah, yang kuketahui mereka adalah orang-orang baik.  Mengapa soal itu banyak orang menyebut-nyebut nama seorang laki-laki. Demi Allah, aku mengetahui benar ia adalah orang baik. Setiap bertemu dengan keluargaku, ia selalu bersama aku.”

Persoalan ini memang dibesar-besarkan oleh Abdullah bin Ubay dikalangan orang-orang Khazraj. Misthah dan Hamnah binti Jahsy turut membesar-besarkannya juga. Hamnah adalah adik perempuan Zainab binti Jahsy, salah seorang istri Rasullullah saw. Diantara para wanita anggauta keluarga Nabi saw. tidak ada iri hati terhadap disisi beliau kecuali Hamnah. Zainab binti Jahsy sendiri sangat tekun beribadah dan tidak berkata selain yang serba baik. Hamnah itulah yang menyampaikan berita bohong kepada kakak perempuannya, sehingga ‘Aisyah merasa sangat terganggu karenanya.

Setelah Rasullullah saw. mengakhiri khutbahnya Usaid bin Hudlair menyahut: “Ya Rasullullah, kalau yang menyebarkan berita fitnah itu orang-orang Aus, kamilah yang akan bertindak terhadap mereka. Kalau yang menyebarkan khabar bohong itu saudara-saudara kami sendiri dari Khazraj, perintahkanlah kami memancung lehernya.”

Mendengar ucapan Usaid itu, Sa’ad bin Ubaidah menyanggah: “Demi Allah, engkau bohong! Engkau tidak akan dapat memancung leher mereka. Engkau berkata seperti karena engkau sudah tahu bahwa mereka itu dari Khazraj. Kalau mereka itu dari kaum mu sendiri (Aus) tentu engkau tidak akan mengucapkan kata-kata seperti itu.” Usaid menjawab: “Demi Allah, engkau yang bohong! Engkau munafik karena engkau hendak membela orang-orang munafik.”

Terjadilah pertengkaran sengit hampir terjadi pertengkaran adu senjata antara dua kabilah itu. Aus dan khazraj, tetapi akhirnya berhasil dilerai oleh Rasullullah saw. Saat itu datanglah Ali bin Abi Thalib, Rasullullah saw. kemudian memanggil Ali dan Usamah bin Zaid untuk dimintai pendapat. Ketika itu Usamah berkata: “Ya Rasullullah, mereka (para istri Nabi) adalah keluarga anda. Yang kuketahui mereka itu semuanya baik-baik. Adapun desas-desus itu sepenuhnya bohong dan tidak benar sama sekali. Sedang Ali bin Abi Thalib berkata: “Ya Rasullullah, masih banyak wanita dan anda bisa mendapatkan gantinya! Tanyakanlah hal itu kepada pelayan perempuan. Ia pasti akan memberikan keterangan yang benar kepada anda.”

Rasullulah saw. lalu memanggil pelayan perempuan bernama Buhairah untuk ditanya. Ketika pelayan itu menghadap Ali bin Abi Thalib, ia bertanya sambil membentak: “Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasullullah!” Mendengar pertanyaan yang diajukan kepadanya, pelayan itu menjawab: “Demi Allah, apa yang aku ketahui adalah baik-baik saja. Aku tidak pernah melihat ‘Aisyah berbuat yang tidak senonoh, kecuali pada waktu aku selesai mengadon terigu aku minta supaya ia menungguinya, tetapi ia ketiduran hingga datanglah seekor kambing lalu adonan terigu dimakannya.”

Pada suatu hari Rasullullah saw. datang ke rumah ‘Aisyah. Pada saat itu ayah-ibu ‘Aisyah berada dirumah. ‘Aisyah sedang menangis dan seorang wanita Anshor yang menemani ‘Aisyah ketika itu turut menangis. Beliau lalu duduk, setelah memanjatkan puji  kehadirat Allah, beliau berkata: “Hai ‘Aisyah, tentu kau bertaqwa kepada Allah. Jika engkau berbuat buruk seperti yang dikatakan orang-orang banyak, hendaknya segera bertaubat kepada Allah, karena Allah berkenan menerima taubat para hamba-hamba-Nya.”

Ketika ucapan iru didengar ‘Aisyah tanpa dirasakan air mata ‘Aisyah tambah bercucuran. ‘Aisyah menunggu sampai ayah-ibunya menjawab dan memberikan keterangan mengenai dirinya, tetapi kedua-duanya tidak berbicara sepatah katapun. ‘Aisyah sadar bahwa ia terlampau rendah dan terlampau kerdil untuk mengharapkan turunnya wahyu Illahi mengenai persoalan dirinya. Kendati begitu ia sangat mengharapkan mudah-mudahan Nabi saw. mimpi dalam tidurnya, melihat sesuatu yang menunjukkan kebohongan omongan orang banyak tentang dirinya agar beliau mengetahui bahwa ia benar-benar tidak bersalah dan tidak berbuat yang senonoh.

Ketika ‘Aisyah melihat ayah-ibunya tetap diam, beliau bertanya kepada mereka berdua: “Kenapa ayah-ibu tidak mau menjawab apa yang ditanyakan oleh Rasullullah itu?” Keduanya menyahut: “ Demi Allah, kami tidak tahu bagaimana harus menjawab.” ‘Aisyah belum pernah melihat suatu keluarga mengalami musibah seperti dialami keluarga Abu Bakar pada waktu. Karena ayah-ibunya tetap diam, akhirnya ‘Aisyahlah yang menerangkan sendiri, seraya katanya: “Demi Allah, aku tidak mau bertaubat mengenai persoalan yang anda sebutkan tadi. Aku benar-benar tidak tahu-menahu persoalan yang didesas-desuskan itu. Kalau aku mengakui apa yang dikatakan oleh orang-orang itu dan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, berarti aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah terjadi, tetapi kalau aku menolak apa yang dikatakan mereka, kalian tidak mempercayai diriku.”

Ketika itu terlintas dalam ingatan ‘Aisyah kisah Nabi Ya’qub as. karena itu ‘Aisyah lalu mengutib ucapan ayah Nabi Yusuf itu: “Sebaiknya aku bersabar, kepada Allah sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukisman.” (Surat Yusuf ayat 18). Rasullullah saw. masih belum beranjak dari tempat duduknya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Illahi. Beliau menyelimuti diri dengan kain dan menaruh bantal dibawah kepala. Ketika melihat beliau dalam keadaan seperti itu, ‘Aisyah tidak takut dan tidak peduli, karena ‘Aisyah yakin benar bahwa dirinya tidak bersalah dan Allah pasti tidak berlaku zalim terhadap dirinya. Sementara itu ayah-ibunya ‘Aisyah ketika melihat Rasullullah saw. berada dalam keadaan seperti itu, keduanya sangat ketakutan kalau-kalau beliau menerima wahyu Illahi yang membuktikan benarnya apa yang dikatakan oleh orang-orang banyak.

Beberapa saat kemudian Rasullullah saw. bangun lalu duduk. Dari wajah beliau menetes butiran-butiran keringat laksana mutiara berkilauan. Sambil duduk menyeka keringat beliau berkata: “Hai ‘Aisyah, gembiralah engkau. Allah Azza Wajalla telah menurunkan wahyu-Nya membuktikan engkau tidak bersalah, ‘Aisyah: “Alhamdulillah.” Beliau kemudian keluar untuk menyampaikan firman Allah yang baru saja diterimanya untuk disampaikan kepada orang banyak:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyebar luaskan berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian juga mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian. Setiap orang dari mereka menerima balasan atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan siapa diatara mereka yang diambil bagian terbesar dalam penyebarluaskan berita bohong itu (disediakan) baginya adzab yang amat besar.”
(Surat an-Nur ayat :11).

Dengan berdasarkan wahyu Illahi yang diterimanya itu, beliau lalu memutuskan menjatuhkan hukuman cambuk terhadap orang-orang yang terbukti turut menyebar luaskan tuduhan palsu tersebut. Hasan bin Harits, Misthah dan Hamnah. Suatu hal yang mengherankan justru Abdullah bin Ubay sendiri sebagai biang keladi dan penyebar fitnah, lolos dari hukuman, karena dia sudah mengetahui terlebih apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah berhasil menimpakan musibah pada orang lain, baru ia meloloskan diri.

Buruk sangka dalam Peperangan.
Buruk dalam suatu peperangan adalah berbentuk perang urat saraf. Didalam suatu peperangan memang tidak ada nilai-nilai dan norma-norma kemanusian. Ada pameo yang mengatakan: AL-HARBU KHUD’ATUN (perang itu adalah tipu daya).

Kaum Muslimin dizaman Rasullah saw. sudah pernah juga mengalami perang urat saraf itu sewaktu terjadi peperangan Uhud. Pada saat-saat yang kritis, diwaktu Rasullullah saw. mendapat luka yang sangat parah karena lemparan batu-batu yang tajam, maka seorang prajurit fihak Quraisy yang bernama Ibnu Qam’ah menyerbu pertahanan Rasullullah saw., yang saat itu dibentengi oleh empat-belas orang-orang sahabat pilihan yang bertekad bulat untuk melindungi jiwa Rasullullah saw.. Mereka para sahabat itu tidak rela kalau Rasullullah saw. jatuh ketangan musuh, sebelum melangkahi mayat-mayat para sahabat yang membentengi Rasullullah saw. tersebut. Dalam pergumulan satu lawan satu, Ibnu Qam’ah dapat menikam Mus’ab bin Umair, yang menjadi ajudan Rasullullah saw. dimana dia mempunyai wajah mirip Rasullullah saw. Sehingga Ibnu Qa’ah menyangka, bahwa yang mati dibunuhnya itu ialah Rasullullah saw. sendiri sehingga dengan bangga dia berteriak mengatakan: “Muhammad telah terbunuh!.”

Berita itu menjadi rumor panas menegangkan yang menyebar dikalangan pertempuran, sehingga melemahkan semangat pasukan kaum Muslimin, bahkan ada diantaranya yang sudah lari, menyingkir menyelamatkan diri. Pada detik-detik yang menegangkan itu, seorang sahabat bernama Ka’ab bin Malik dengan memapah Rasullullah saw. yang terluka parah, berteriak pula dengan sekuat-kuatnya: “Wahai kaum Muslimin, bergembiralah! Rasullullah masih hidup dan masih memegang pimpinan kita!”. Dengan pernyataan Ka’ab yang lantang itu membuktikan bahwa berita buruk dari fihak musuh itu adalah merupakan tipu daya belaka, sehingga semangat tempur pasukan Islam yang hampir punah itu bangkit kembali, dan akhirnya kaum Muslimin dapat menggondol kemenangan.

Kiranya dari kisah yang terurai diatas, dapatlah kita petik pelajaran bahwa berburuk sangka terhadap siapapun baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, akan mendapatkan konsekuensi berat berupa adzab atau hukuman baik didunia maupun diakherat. Islam menganjurkan kepada kaum muslimin muslimat untuk selalu dapat berbaik sangka, menjauhi sejauh-jauhnya tabiat perangsaka buruk. Sebab dari titik tolak sangkaan kita itu akan menghasilkan keadaan yang sesuai dengan sangkaan kita. Jika kita menyangka Allah itu baik, maka Allah-pun akan memperlakukan kita sesuai perasangkaan kita. Begitupun sebaliknya. Dasar dari keterangan ini dapat kita lihat pada bunyi hadits qudsi yang diriwatkan oleh Thabrani dan Abu Na’im, yang artinya: “Aku (Allah) mengikuti sangkaan hamba-Ku. Jika mereka menyangka baik, mereka akan Ku-perlakukan baik. Jika mereka menyangka buruk terhadap-Ku, mereka pun akan Ku-perlakukan secara buruk pula.”  

AYAT-AYAT AL-QUR’AN berkaitan dengan BURUK SANGKA.
1). Surat An-Nisa’ ayat 83:
WA IDZAA JAA-AHUM AMRUN MINAL AMNI AWIL KHOUFLADZAA-‘UU BIHI, WALAU RUDDUUHU ILAH ROSUULI WA-ILAA ULUL AMRI MINHUM LA’ALAIMAHUL LADZIINA YASTANBITHUUNAHU MINHUM, WALAULAA FA DL-LULLAAHI ‘ALAIKUM WAROHMATUHU LATTABA’TUMSY SYAITHOONA ILLA QOLIILAAN.
“Dan apabila datang kepada mereka satu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan para pejabat (penguasa/pimpinan) diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan kecuali sebagaian kecil saja (diantaranya).”

2). Surat Al-Hujurat ayat 12:
YAA AYYUHAL LADZIINA AAMANUJTANIBUUKATSIIRON MINADHDHONNI INNA BA’DHDHONNI ITSMUN.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari buruk sangka, sesungguhnya sebagian dari buruk sangka itu adalah dosa..”

3). Surat Al-Ahzab ayat 58:
WAL LADZIINA YUKDZUUNAL MUKMINIINA WAL MUKMINAATI BIGHOIRI MAKTASABUU FAQODIHTAMALUU BUHTAANAN WA ITSMAN MUBIINAA.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

4). Surat An-Nur ayat 23:
INNAL LADZIINA YARMUUNAL MUHSHO-NAATIL GHOOFILAATIL MUKMINAATI LU’INNU FIDDUNYAA WAL AAKHIROTI WALAHUM ‘ADZAABUN ‘ADHIIMUN.
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat didunia dan diakherat, dan bagi mereka adzab yang besar).”

HADITS–HADDITS NABI SAW, berkaitan dengan BURUK SANGKA.
a). Rasullullah saw. bersabda yang diriwatkan oleh Imam Bukhory dan Muslim:
“Jauhilah buruk sangka, karena sesungguhnya buruk sangka itu pembicaraan yang paling dusta.”

b). Rasullullah saw. bersabda yang diriwatkan oleh Imam Thabrani:
“Berhati-hatilah kamu dengan buruk sangka kepada sesama manusia.”

c). Rasullullah saw. bersabda yang diriwatkan oleh Imam Bukhory dan Muslim:
“Dilarang kamu sekalian berbicara begini dan begitu, mempercayai sesuatu yang disampaikan orang lain, tanpa dipertimbangkan dan diteliti.”

d). Rasullullah saw. bersabda:
“Dua perkara, tidak sesuatupun lebih utama dari padanya, yaitu: Berbaik sangka terhadap Allah, dan berbaik sangka terhadap hamba-hamba-Nya. Dan dua perkara lagi, tidak sesuatupun lebih buruk daripadanya, yaitu berburuk sangka terhadap Allah dan berburuk terhadap hamba-hamba-Nya.”

                                                             ***


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.