Bicara yang berlebih-lebihan
adalah termasuk buah dari lidah yang tidak dikontrol oleh agama dan
dikendalikan oleh iman dan termasuk perbuatan yang tercela dalam agama Islam.
Memang pada hakekatnya
ucapannya yang singkat dan padat lagi terarah dan mengenai sasaran adalah
sangat dibutuhkan dalam dunia komunikasi. Tapi kalau memang suatu hal itu tidak
bisa dilakukan dengan jalan begitu (artinya ucapan yang singkat, padat dan
berisi), maka haruslah ucapan itu diulang-ulang sampai mengerti. Tindakan yang
kedua ini tidaklah berdosa dan berbahaya.
Artinya:
“Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat kebajikan atau
mengadakan perdamaian diantara manusia.”
Dengan menilik ayat tersebut
diatas dapatlah dijadikan standar atau ukuran bahwa berlebih-lebihan dalam
berkata-kata itu dibolehkan kalau dalam hal beramar ma’ruf, menyuruh sedekah
dan mengadakan perdamaian. Dan dalam hadits Rasullullah saw. juga memberikan
fatwanya:
Artinya:
“Berbahagialah
seseorang yang menahan kelebihan dari lisannya dan membelanjakan apa-apa
kelebihan dari hartanya.”
Alangkah bahagia dan
beruntungnya seseorang yang dianugerahkan lidah dan bisa menggunakan kejalan
yang benar dan diridloi oleh Allah, tidak diobral-obral kesana kemari, buat
mengadu kemana-mana, cekik mencekik, jegal menjegal. Juga berbahagialah bagi
orang yang dinugerahi harta oleh Allah tapi hartanya itu tidak ditahan, tapi
diinfakkan buat kepentingan agama. Sebenarnya begitulah sikap seorang muslim
yang sejati, apabila dikaruniai harta ia tidak menahannya (artinya diinfakkan
buat kepentingan agama), dan sebaliknya dianugrahi lidah hendaknya bisa
menahannya, tidak digunakan kalau tidak ada kepentingannya, atau sekiranya ada
manfaatnya.
Imam ‘Atho berkata: “Orang-orang
salaf sebelummu itu benci sekali berbicara secara berlebih-lebihan. Yang mereka
anggap sebagai kelebihan dalam berkata-kata itu ialah segala pembicaraan yang selain mengenai Kitabullah (Al-Qur’an), selain
Sunnah Rasullullah saw. juga perkataan yang tidak bertujuan untuk beramar ma’ruf
nahi mungkar, juga selain perkataan yang diperlukan untuk mencari
penghidupan di dunia yang mau tidak mau harus dilakukan. Adakah kalian
mengingkari adanya malaikat penjaga, yang mulia-mulia sebagai para pencatat
amalan seluruh manusia, yang senantiasa mengikuti setiap gerak dan langkah
mereka itu dari kiri dan kanan, dan setiap aliran darah. Tidak seorangpun yang
mengeluarkan kata-kata yang bagaimanapun coraknya melainkan disisinya pasti ada
malaikat yang meneliti, memeriksa (yaitu malaikat Roqib dan ‘Atid). Tidakkan
malu kalian nanti disaat catatan-catatan amalan itu dibeberkan dihadapan
kalian, yang penuh dengan amalan-amalan yang tidak ada gunanya (sia-sia), yang
tidak mengikuti aturan agama.”
Selanjutnya Ibnu Umar
berkata: “Yang lebih penting untuk dibersihkan oleh seseorag itu ialah lidahnya
atau lisannya.”
HIKAYAT:
Dalam tulisan ini sengaja
kami suguhkan sebuah hikayat yang berkenaan dengan bahaya berbicara yang
berlebih-lebihan. Agar nantinya kita dapat mengetahui kedudukan dan fungsinya
lidah yang sebenarnya.
Diceritakan dari Hasan
Al-Basri bahwa ia sedang duduk dipintu rumahnya ketika lewat jenazah seorang
laki-laki dan dibelakangnya banyak orang yang mengantar jenazah itu. Dalam
rombongan pengantar jenazah itu terdapat seorang anak perempuan yang masih
kecil dengan rambut terurai sambil menangis.
Al-Hasan berjalan mengikuti
jenazah itu dan anak perempuan itu berkata: Hai bapakku, mengapa tiba hari yang
semacam ini dalam hidupku?. Mendengar keluhan anak perempuan itu, Al-Hasan berkata
kepadanya: “Tidak akan datang lagi hari yang seperti ini kepada bapakmu.”
Keesokan harinya Al-Hasan
pergi ke masjid untuk mengerjakan sholat Subuh, setelah itu duduk dipintu
rumahnya. Tiba-tiba ia melihat anak perempuan itu berjalan sambil menangis
menuju ke kuburan bapaknya untuk berziarah. Al-Hasan berkata: “Sesungguhnya
anak perempuan itu cerdas, maka sebaiknya kuikuti dia barangkali ia akan
mengucapkan perkataan yang bermanfaat bagiku.”
Al-Hasan lalu mengikuti anak itu. Ketika tiba
dikuburan bapaknya, Al-Hasan bersembunyi, anak perempuan itu memeluk kuburan
bapaknya dan meletakkan pipinya diatas tanah seraya berkata:
Wahai bapakku, bagaimana
engkau tinggal didalam kegelapan kubur seorang diri tanpa lampu dan penghibur?
Wahai bapakku, kemarin dulu
malam kunyalakan lampu untukmu, maka siapakah yang menyalakan lampu bagimu tadi
malam?.
Wahai bapakku, kemarin malam
kuhamparkan alas tidur bagimu, maka siapakah yang menghamparkan alas tidur bagimu
tadi malam?.
Wahai bapakku, kemarin malam
kupijat kedua tangan dan kakimu, maka siapakah yang memijat kakimu tadi malam?.
Wahai bapakku, kututupi anggauta-anggauta
badanmu yang terbuka kemarin dulu malam, maka siapakah yang menutupimu tadi
malam.
Wahai bapakku, kuberi engkau
minum kemarin malam, maka siapakah yang memberi minum tadi malam?.
Dan masih banyak lagi
keluhan-keluhan yang diutarakan oleh anaknya diatas kuburan bapaknya.
Mendengar semua keluhan dari
si anak itu, Al-Hasanpun menangis dan menampakkan dirinya kepada anak perempuan
itu seraya berkata: Wahai anakku, janganlah engkau mengucapkan kata-kata ini
(maksudnya kata-kata yang berlebih-lebihan), akan tetapi katakanlah:
‘Wahai bapakku, aku telah
menghadap kiblat, maka apakah engkau masih tetap demikian, ataukah telah
dihadapkan ketempat lain?.
Wahai bapakku, aku telah
mengkafanimu dengan kain kafan yang paling baik, maka apakah tetap begitu,
ataukah telah ditanggalkan darimu?.
Wahai bapakku, aku telah
meletakkanmu didalam kubur, sedangkan badanmu dalam keadaan utuh, maka apakah
engkau tetap begitu ataukah engkau dimakan cacing-cacing tanah?.
Wahai bapakku, kata para Ulama’
bahwa kubur itu dilapangkan bagi sementara manusia, dan disempitkan bagi
sebagian yang lain, maka apakah kubur itu sempit bagimu, ataukah terasa
lapang?. Sesungguhnya para Ulama’ berkata, bahwa sebagian mereka diganti kafan
dari syurga dan sebagian lagi diganti kafan dari neraka, maka apakah kafanmu
diganti dengan kafan neraka atau kafan syurga?.
Wahai bapakku, sesungguhnya
para Ulama’ berkata bahwa kubur itu bisa merupakan salah satu kebun syurga atau
salah satu parit neraka.
Wahai bapakku, sesungguhnya
para Ulama’ berkata bahwa kubur itu memeluk sebagian penghuninya seperti ibu
yang penuh kasih sayang dan bisa membenci serta menghimpit sebagian manusia
hingga tertindih tulang-tulang rusuk mereka, maka apakah kubur ini memeluk atau
membencimu?.
Wahai bapakku, para Ulama’
berkata bahwa siapa yang diletakkan dalam kubur, maka bila ia seorang yang
bertaqwa iapun menyesal karena kurang banyak berbuat kebaikan, dan bila ia
seorang berdosa ia menyesal mengapa telah banyak melakukan ma’siat; apakah
engkau menyesal atas dosa-dosamu atau karena sedikitnya ketaqwaanmu?.
Wahai bapakku, jika aku
memanggilmu tentu engkau menjawab akan panggilanku, dan selama aku memanggilmu
dikepala kuburmu mengapa aku tidak mendengar suaramu?.
Wahai bapakku, engkau telah
pergi dan aku tidak bisa berjumpa denganmu hingga hari kiamat datang. Ya Allah
janganlah Engkau haramkan aku dari pertemuan dengannya pada hari kiamat.
Kemudian anak perempuan itu
berkata: Wahai Al-Hasan, alangkah baiknya perkataanmu yang engkau ucapkan untuk
bapakku, dan alangkah baiknya nasehatmu untukku dan peringatanmu terhadap
orang-orang yang lalai.
Setelah itu pulanglah anak
perempuan bersama Al-Hasan Basri sambil menangis. Demikian keagungan lidah yang
dikendalikan oleh agama, iman dan taqwa. Semoga kita terhindar dari bicara yang
berlebih-lebihan yang tidak ada gunanya.
***
No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.