Translate

Sunday, October 2, 2016

BICARA YANG BERLEBIH – LEBIHAN

Bicara yang berlebih-lebihan adalah termasuk buah dari lidah yang tidak dikontrol oleh agama dan dikendalikan oleh iman dan termasuk perbuatan yang tercela dalam agama Islam.

Memang pada hakekatnya ucapannya yang singkat dan padat lagi terarah dan mengenai sasaran adalah sangat dibutuhkan dalam dunia komunikasi. Tapi kalau memang suatu hal itu tidak bisa dilakukan dengan jalan begitu (artinya ucapan yang singkat, padat dan berisi), maka haruslah ucapan itu diulang-ulang sampai mengerti. Tindakan yang kedua ini tidaklah berdosa dan berbahaya.

 Selanjutnya untuk diketahui, bahwa berlebih-lebihan dalam berkata atau bicara sangat sukar dibatasi dan dikendalikan. Tetapi sebagai standar atau ukuran dapatlah direnungkan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur;an surat an-Nisa’ ayat 114:
Artinya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat kebajikan atau mengadakan perdamaian diantara manusia.”

Dengan menilik ayat tersebut diatas dapatlah dijadikan standar atau ukuran bahwa berlebih-lebihan dalam berkata-kata itu dibolehkan kalau dalam hal beramar ma’ruf, menyuruh sedekah dan mengadakan perdamaian. Dan dalam hadits Rasullullah saw. juga memberikan fatwanya:
Artinya:
“Berbahagialah seseorang yang menahan kelebihan dari lisannya dan membelanjakan apa-apa kelebihan dari hartanya.”

Alangkah bahagia dan beruntungnya seseorang yang dianugerahkan lidah dan bisa menggunakan kejalan yang benar dan diridloi oleh Allah, tidak diobral-obral kesana kemari, buat mengadu kemana-mana, cekik mencekik, jegal menjegal. Juga berbahagialah bagi orang yang dinugerahi harta oleh Allah tapi hartanya itu tidak ditahan, tapi diinfakkan buat kepentingan agama. Sebenarnya begitulah sikap seorang muslim yang sejati, apabila dikaruniai harta ia tidak menahannya (artinya diinfakkan buat kepentingan agama), dan sebaliknya dianugrahi lidah hendaknya bisa menahannya, tidak digunakan kalau tidak ada kepentingannya, atau sekiranya ada manfaatnya.

Imam ‘Atho berkata: “Orang-orang salaf sebelummu itu benci sekali berbicara secara berlebih-lebihan. Yang mereka anggap sebagai kelebihan dalam berkata-kata itu ialah segala pembicaraan yang selain mengenai Kitabullah (Al-Qur’an), selain Sunnah Rasullullah saw. juga perkataan yang tidak bertujuan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar, juga selain perkataan yang diperlukan untuk mencari penghidupan di dunia yang mau tidak mau harus dilakukan. Adakah kalian mengingkari adanya malaikat penjaga, yang mulia-mulia sebagai para pencatat amalan seluruh manusia, yang senantiasa mengikuti setiap gerak dan langkah mereka itu dari kiri dan kanan, dan setiap aliran darah. Tidak seorangpun yang mengeluarkan kata-kata yang bagaimanapun coraknya melainkan disisinya pasti ada malaikat yang meneliti, memeriksa (yaitu malaikat Roqib dan ‘Atid). Tidakkan malu kalian nanti disaat catatan-catatan amalan itu dibeberkan dihadapan kalian, yang penuh dengan amalan-amalan yang tidak ada gunanya (sia-sia), yang tidak mengikuti aturan agama.”

Selanjutnya Ibnu Umar berkata: “Yang lebih penting untuk dibersihkan oleh seseorag itu ialah lidahnya atau lisannya.”

HIKAYAT:
Dalam tulisan ini sengaja kami suguhkan sebuah hikayat yang berkenaan dengan bahaya berbicara yang berlebih-lebihan. Agar nantinya kita dapat mengetahui kedudukan dan fungsinya lidah yang sebenarnya.

Diceritakan dari Hasan Al-Basri bahwa ia sedang duduk dipintu rumahnya ketika lewat jenazah seorang laki-laki dan dibelakangnya banyak orang yang mengantar jenazah itu. Dalam rombongan pengantar jenazah itu terdapat seorang anak perempuan yang masih kecil dengan rambut terurai sambil menangis.

Al-Hasan berjalan mengikuti jenazah itu dan anak perempuan itu berkata: Hai bapakku, mengapa tiba hari yang semacam ini dalam hidupku?. Mendengar keluhan anak perempuan itu, Al-Hasan berkata kepadanya: “Tidak akan datang lagi hari yang seperti ini kepada bapakmu.”

Keesokan harinya Al-Hasan pergi ke masjid untuk mengerjakan sholat Subuh, setelah itu duduk dipintu rumahnya. Tiba-tiba ia melihat anak perempuan itu berjalan sambil menangis menuju ke kuburan bapaknya untuk berziarah. Al-Hasan berkata: “Sesungguhnya anak perempuan itu cerdas, maka sebaiknya kuikuti dia barangkali ia akan mengucapkan perkataan yang bermanfaat bagiku.”

 Al-Hasan lalu mengikuti anak itu. Ketika tiba dikuburan bapaknya, Al-Hasan bersembunyi, anak perempuan itu memeluk kuburan bapaknya dan meletakkan pipinya diatas tanah seraya berkata:
Wahai bapakku, bagaimana engkau tinggal didalam kegelapan kubur seorang diri tanpa lampu dan penghibur?
Wahai bapakku, kemarin dulu malam kunyalakan lampu untukmu, maka siapakah yang menyalakan lampu bagimu tadi malam?.
Wahai bapakku, kemarin malam kuhamparkan alas tidur bagimu, maka siapakah yang menghamparkan alas tidur bagimu tadi malam?.
Wahai bapakku, kemarin malam kupijat kedua tangan dan kakimu, maka siapakah yang memijat kakimu tadi malam?.
Wahai bapakku, kututupi anggauta-anggauta badanmu yang terbuka kemarin dulu malam, maka siapakah yang menutupimu tadi malam.
Wahai bapakku, kuberi engkau minum kemarin malam, maka siapakah yang memberi minum tadi malam?.
Dan masih banyak lagi keluhan-keluhan yang diutarakan oleh anaknya diatas kuburan bapaknya.

Mendengar semua keluhan dari si anak itu, Al-Hasanpun menangis dan menampakkan dirinya kepada anak perempuan itu seraya berkata: Wahai anakku, janganlah engkau mengucapkan kata-kata ini (maksudnya kata-kata yang berlebih-lebihan), akan tetapi katakanlah:
‘Wahai bapakku, aku telah menghadap kiblat, maka apakah engkau masih tetap demikian, ataukah telah dihadapkan ketempat lain?.
Wahai bapakku, aku telah mengkafanimu dengan kain kafan yang paling baik, maka apakah tetap begitu, ataukah telah ditanggalkan darimu?.
Wahai bapakku, aku telah meletakkanmu didalam kubur, sedangkan badanmu dalam keadaan utuh, maka apakah engkau tetap begitu ataukah engkau dimakan cacing-cacing tanah?.
Wahai bapakku, kata para Ulama’ bahwa kubur itu dilapangkan bagi sementara manusia, dan disempitkan bagi sebagian yang lain, maka apakah kubur itu sempit bagimu, ataukah terasa lapang?. Sesungguhnya para Ulama’ berkata, bahwa sebagian mereka diganti kafan dari syurga dan sebagian lagi diganti kafan dari neraka, maka apakah kafanmu diganti dengan kafan neraka atau kafan syurga?.
Wahai bapakku, sesungguhnya para Ulama’ berkata bahwa kubur itu bisa merupakan salah satu kebun syurga atau salah satu parit neraka.
Wahai bapakku, sesungguhnya para Ulama’ berkata bahwa kubur itu memeluk sebagian penghuninya seperti ibu yang penuh kasih sayang dan bisa membenci serta menghimpit sebagian manusia hingga tertindih tulang-tulang rusuk mereka, maka apakah kubur ini memeluk atau membencimu?.
Wahai bapakku, para Ulama’ berkata bahwa siapa yang diletakkan dalam kubur, maka bila ia seorang yang bertaqwa iapun menyesal karena kurang banyak berbuat kebaikan, dan bila ia seorang berdosa ia menyesal mengapa telah banyak melakukan ma’siat; apakah engkau menyesal atas dosa-dosamu atau karena sedikitnya ketaqwaanmu?.
Wahai bapakku, jika aku memanggilmu tentu engkau menjawab akan panggilanku, dan selama aku memanggilmu dikepala kuburmu mengapa aku tidak mendengar suaramu?.
Wahai bapakku, engkau telah pergi dan aku tidak bisa berjumpa denganmu hingga hari kiamat datang. Ya Allah janganlah Engkau haramkan aku dari pertemuan dengannya pada hari kiamat.

Kemudian anak perempuan itu berkata: Wahai Al-Hasan, alangkah baiknya perkataanmu yang engkau ucapkan untuk bapakku, dan alangkah baiknya nasehatmu untukku dan peringatanmu terhadap orang-orang yang lalai.

Setelah itu pulanglah anak perempuan bersama Al-Hasan Basri sambil menangis. Demikian keagungan lidah yang dikendalikan oleh agama, iman dan taqwa. Semoga kita terhindar dari bicara yang berlebih-lebihan yang tidak ada gunanya.

                                     
                                                      ***

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.