Hendaknya mendapatkan limpahan kekayaan
(jiwa), orang-orang yang sudah sampai (wushul) kepada Allah. Sedang orang yang
dibatasi rizki spiritualnya berarti mereka masih sebagai penempuh jalan menuju
kepada Allah (as-Saairun).
Orang yang sudah sampai kepada Allah, disebut
sebagai orang yang kayaraya, keleluasaan tiada hingga, karena ia telah bebas
dari tekanan kehidupan semesta raya. Dan karena itu ia mendapatkan limpahan
kekayaan jiwa yang luar biasa. Sementara mereka yang masih berkutat pada jalan
menuju kepada Allah seringkali malah terhimpit oleh kesempitan-kesempitan
duniawi sehingga mereka terbatasi limpahan rizkinya. Sebaliknya mereka yang
sampai kepadaNya malah dilimpahi keleluasaan, jauh dari kesempitan duniawi, dan
malah menuju kekayaan musyahadah dan kenyataan hakiki.
Ketika seseorang naik arwahnya dari alam
Asybah (duniawi) menuju alam Arwah atau dari alam Malak menuju Alam Malakut,
maka rizki spiritualnya melimpah begitu luas, lalu terbukalah perbendaharaan-perbendaharaan
pengetahuan, lalu mereka mendapatkan limpahan mutiara ilmu yang terpendam itu,
dan dari sanalah meraih permata-permata rahasia Ilahi.
Di sini Ibnu Athaillah mengingatkan kita agar
kita berada dalam kehambaan dan kefakiran kita serta kemiskinan kita di hadapan
Allah, sehingga kita benar-benar papa di hadapanNya, maka kita pun mesti
mendapatkan limpahan karuniaNya.
Ibnu Ajibah Al-Hasany menegaskan, jika
seorang hamba ingin meraih pengetahuan-pengetahuan rasa. Maka jauhilah
pengetahuan-pengetahuan formal, karena sepanjang anda berpijak pada
perbendaharaan yang ada di luar diri anda, maka anda tidak bisa menggali
perbendaharaan kekayaan ruhani anda selamanya. Maka jauhilah hasrat-hasrat
materi, dan berharaplab semua itu kepada Allah laksana seorang fakir, hingga
Allah melimpahi anugerah-anugerah ruhaniyah. Sebagaimana firmanNya, "Sesungguhnya sedekah itu hanya bagi
orang-orang yang fakir dan miskin.....".
Maka dari itu fakir dan miskinlah secara
benar, agar meraih kekayaan ruhaniyah yang melimpah.
Wacana hikmah di atas diteruskan oleh Ibnu
Athaillah as-Sakandari:
"Orang-orang yang masih berjalan
kepadaNya, mencari petunjuk dari Cahaya Tawajjuh (Cahaya yang menanjakkan jalan
kepadaNva). Sedangkan orang-orang yang sampai kepadaNya, meraih Cahaya
Muwajahah (Cahaya Ilahiyah ita sendiri melimpah kepadaNya, dibalik pernyataan
dirinya dengan DiriNya). Kelompok pertama ingin meraih cahaya, sementara yang
kedua, justra cahaya ita melimpah kepadanya. Karena yang kedua hanyalah bagi
Allah, bakan bagi selain Dirinya. Katakanlah, Allah. Lalu tinggalkanlah mereka,
dimana mereka berada dalam permainan selain Allah."
Cahaya Tawajjuh adalah Cahaya Mujahadah
(yaitu cahaya yang ditempuh dengan segala perjuangan jiwa), sedangkan Cahaya
Muwajahah adalah Cahaya Musyahadah dan Mukamalah.
Cahaya Tawajjuh adalah Cahaya Syari'ah dan
Thariqah, atau Cahaya Lahir dan Cahaya Batin, sementara Cahaya Muwajahah adalah
Cahaya Hakikat.
Karakter Cahaya ini sesungghuhnya bisa kita
rasakan, dimana sebenarnya posisi pencahayaan itu pada kita.
Sesungguhnya Ibnu Athaillah memperingatkan
agar kita tidak berhenti pada cahaya demi cahaya itu. Tetapi tetap menuju Yang
Maha Empunya Cahaya, hingga Cahaya bukannya kita cari, malah Cahaya itu
"mencari" kita.
Cahaya Tawajjuh misalnya, mendorong seseorang
untuk meraih kepuasan cahaya Islam dan Iman saja, pertama-tama ia meraih cahaya
manisnya amaliyah Dzahir, yaitu Maqom Islam. Lalu ia meraih petunjuk dari
ibadah lahiriyah itu sampai ia fana, hingga meraih kenikmatan amaliyah
dzahiriyah. Kemudian ia meningkat lagi pada Cahaya Iman, yaitu cahaya
Batin,atau Cahaya Thariqah. Ia meraih petunjuk cahaya manisnya amaliyah batin,
seperti Ikhlas, Kejujuran hati dan Ketentraman, lalu ia meraih petunjuk dan
konsistensi amaliyah batinnya sampai ia fana' di dalamnya dan merasakan
kenikmatannya, hingga ia terus dalam fokus kepada Allah.
Cahaya batiniyah itu tentu lebih agung
ketimbang cahaya lahiriyah di atas. Lalu ia menempuh cahaya Musyahadah dengan
kenikmatan fana dalam Musyahadah itu, yaitu Amaliyah Ruhiyah. Cahaya Musyahadah
inilah awal munculnya Cahaya Muwajahah, hingga seseorang memetik kemabukan
ruhani, kedahsyatan dan pesona cinta yang agung. Ketika ia sadar dari kemabukan
spiritual itu, dan tetap dalam Tamakkun (tahap tidak berubah), maka hamba
berada dalam Ma'rifatullah. Ia kembali pada Kebaqoan Allah. Ia senantiasa hanya
bagi Allah (Lillah) dan Bersama Allah (Billah ). Ia telah benar-benar menjadi
hamba Allah yang merdeka. (m luqman hakiem)

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.