Translate

Friday, September 2, 2016

Sudah dan Belum WUSHUL kepada ALLAH.


Hendaknya mendapatkan limpahan kekayaan (jiwa), orang-orang yang sudah sampai (wushul) kepada Allah. Sedang orang yang dibatasi rizki spiritualnya berarti mereka masih sebagai penempuh jalan menuju kepada Allah (as-Saairun).


Orang yang sudah sampai kepada Allah, disebut sebagai orang yang kayaraya, keleluasaan tiada hingga, karena ia telah bebas dari tekanan kehidupan semesta raya. Dan karena itu ia mendapatkan limpahan kekayaan jiwa yang luar biasa. Sementara mereka yang masih berkutat pada jalan menuju kepada Allah seringkali malah terhimpit oleh kesempitan-kesempitan duniawi sehingga mereka terbatasi limpahan rizkinya. Sebaliknya mereka yang sampai kepadaNya malah dilimpahi keleluasaan, jauh dari kesempitan duniawi, dan malah menuju kekayaan musyahadah dan kenyataan hakiki.

Ketika seseorang naik arwahnya dari alam Asybah (duniawi) menuju alam Arwah atau dari alam Malak menuju Alam Malakut, maka rizki spiritualnya melimpah begitu luas, lalu terbukalah perbendaharaan-perbendaharaan pengetahuan, lalu mereka mendapatkan limpahan mutiara ilmu yang terpendam itu, dan dari sanalah meraih permata-permata rahasia Ilahi.

Di sini Ibnu Athaillah mengingatkan kita agar kita berada dalam kehambaan dan kefakiran kita serta kemiskinan kita di hadapan Allah, sehingga kita benar-benar papa di hadapanNya, maka kita pun mesti mendapatkan limpahan karuniaNya.

Ibnu Ajibah Al-Hasany menegaskan, jika seorang hamba ingin meraih pengetahuan-pengetahuan rasa. Maka jauhilah pengetahuan-pengetahuan formal, karena sepanjang anda berpijak pada perbendaharaan yang ada di luar diri anda, maka anda tidak bisa menggali perbendaharaan kekayaan ruhani anda selamanya. Maka jauhilah hasrat-hasrat materi, dan berharaplab semua itu kepada Allah laksana seorang fakir, hingga Allah melimpahi anugerah-anugerah ruhaniyah. Sebagaimana firmanNya, "Sesungguhnya sedekah itu hanya bagi orang-orang yang fakir dan miskin.....".

Maka dari itu fakir dan miskinlah secara benar, agar meraih kekayaan ruhaniyah yang melimpah.

Wacana hikmah di atas diteruskan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandari:
"Orang-orang yang masih berjalan kepadaNya, mencari petunjuk dari Cahaya Tawajjuh (Cahaya yang menanjakkan jalan kepadaNva). Sedangkan orang-orang yang sampai kepadaNya, meraih Cahaya Muwajahah (Cahaya Ilahiyah ita sendiri melimpah kepadaNya, dibalik pernyataan dirinya dengan DiriNya). Kelompok pertama ingin meraih cahaya, sementara yang kedua, justra cahaya ita melimpah kepadanya. Karena yang kedua hanyalah bagi Allah, bakan bagi selain Dirinya. Katakanlah, Allah. Lalu tinggalkanlah mereka, dimana mereka berada dalam permainan selain Allah."

Cahaya Tawajjuh adalah Cahaya Mujahadah (yaitu cahaya yang ditempuh dengan segala perjuangan jiwa), sedangkan Cahaya Muwajahah adalah Cahaya Musyahadah dan Mukamalah.

Cahaya Tawajjuh adalah Cahaya Syari'ah dan Thariqah, atau Cahaya Lahir dan Cahaya Batin, sementara Cahaya Muwajahah adalah Cahaya Hakikat.

Karakter Cahaya ini sesungghuhnya bisa kita rasakan, dimana sebenarnya posisi pencahayaan itu pada kita.
Sesungguhnya Ibnu Athaillah memperingatkan agar kita tidak berhenti pada cahaya demi cahaya itu. Tetapi tetap menuju Yang Maha Empunya Cahaya, hingga Cahaya bukannya kita cari, malah Cahaya itu "mencari" kita.

Cahaya Tawajjuh misalnya, mendorong seseorang untuk meraih kepuasan cahaya Islam dan Iman saja, pertama-tama ia meraih cahaya manisnya amaliyah Dzahir, yaitu Maqom Islam. Lalu ia meraih petunjuk dari ibadah lahiriyah itu sampai ia fana, hingga meraih kenikmatan amaliyah dzahiriyah. Kemudian ia meningkat lagi pada Cahaya Iman, yaitu cahaya Batin,atau Cahaya Thariqah. Ia meraih petunjuk cahaya manisnya amaliyah batin, seperti Ikhlas, Kejujuran hati dan Ketentraman, lalu ia meraih petunjuk dan konsistensi amaliyah batinnya sampai ia fana' di dalamnya dan merasakan kenikmatannya, hingga ia terus dalam fokus kepada Allah.


Cahaya batiniyah itu tentu lebih agung ketimbang cahaya lahiriyah di atas. Lalu ia menempuh cahaya Musyahadah dengan kenikmatan fana dalam Musyahadah itu, yaitu Amaliyah Ruhiyah. Cahaya Musyahadah inilah awal munculnya Cahaya Muwajahah, hingga seseorang memetik kemabukan ruhani, kedahsyatan dan pesona cinta yang agung. Ketika ia sadar dari kemabukan spiritual itu, dan tetap dalam Tamakkun (tahap tidak berubah), maka hamba berada dalam Ma'rifatullah. Ia kembali pada Kebaqoan Allah. Ia senantiasa hanya bagi Allah (Lillah) dan Bersama Allah (Billah ). Ia telah benar-benar menjadi hamba Allah yang merdeka. (m luqman hakiem)

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.