Muhassabah.
Wa’tashimu bi hablillah dan
a’thini mahabbatak dalam merupakan seruan yang diucapkan para ahli tarekat
dengan tujuan untuk mengembalikan agama pada khittah-nya yaitu pendalam cinta. Getaran cinta yang merupakan inti
agama inilah yang menjadi sumber energi, sehingga Nabi Suci saw., yang
merupakan sumber segala tarekat, contoh suci kita semua dalam beribadah, seakan
tidak pernah letih beribadah dan mengabdi kepada Tuhannya dan umat manusia.
Beliau selalu memperjuangkan tegaknya cinta dan kedamaian demi membangun hidup
yang beradab, sebagaimana ditegaskan dalam sabdanya: “Cintailah semua yang ada dibumi, niscaya kau akan dicintai yang ada
dilangit.” Atau , “Tidak beriman
seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri”.
Dalam bahasa Arab, cinta terangkum dalam kata hubb atau lebih populer dengan sebutan mahabbah. Mahabbah kata yang selalu dibisikkan diantara doa atau pembuka dzikir para pengamal tarekat Pesantren Suryalaya, yaitu; a’thini mahabbah wa ma’rifatakah (Ya Allah, anugerahilah aku cinta dan ma’rifat kepadaMu.). Hubb secara harfiah berarti ‘biji’. Dikatakan begitu karena cinta merupakan biji tarekat, merupakan inti kehidupan. Cinta adalah hakekat ibadah, sebagaimana digambarkan dengan sangat indah dalam bait-bait syair Jalaluddin Rumi seperti berikut;
Cinta adalah lautan tak bertepi
Langit hanyalah serpihan
buih belaka
Ketahuilah langit
berputar karena gelombang Cinta
Andai tak ada cinta
dunia akan membeku
Bila bukan karena cinta
bagaimana yang organik berubah menjadi tumbuhan?
Bagaimana tumbuhan
mengorbankan diri demi mendapatkan ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani)
mengorbankan diri demi napas (Ruh) yang menghamili
Maryam?
Semua itu akan menjadi
beku dan kaku bagai salju,
Tidak dapat terbang
serta mencari padang ilalang bagai belalang
Setiap atom jatuh cinta
pada Yang Maha Sempurna
Dan naik keatas laksana
tunas
Cita-cita mereka yang
tak terdengar
Sesungguh adalah lagu pujian keagungan pada Tuhan.
Bentuk
cinta makhluk terhadap Penciptanya sedemikian luasnya, sedemikian lembut,
misterius, sukar diraih oleh hati awam; bahkan kata-kata syair Pujangga
ternamapun mempunyai keterbatasan dimensi penggambaran bentuk cinta seorang
hamba terhadap kekasihNya. Mungkin bentuk penggambaran sederhana cinta adalah
seperti seorang pemuda yang mabuk cinta, sehingga ruang alam bawah sadarnya
hanya tersisa untuk kekasih pujaan hatinya, tidak untuk yang lain. Tak ayal lagi,
kerinduan (‘isyq) yang merupakan
ekspresi harapan (raja’) dan cemas (khauf) selalu meletup-letup ingin segera
difasilitasi dalam perjumpaan (liqa’)
walau hanya sesaat. Cinta membuatnya hilang kesadaran sehingga mabuk (fana) dan mulutnya hanya menggumamkan
nama kekasihnya (dzikir) dengan satu
kepastian, apapun kehendak kekasihnya, pasti dituruti. Gelapnya malam,
dinginnya pagi dini hari dan panasnya terik matahari tidak menjadi halangan
ketika kekasih memintanya datang. Sehingga dahsyatnya terpaan angin dan badai
dirasakan sebagai lambaian tangan bidadari.
Nabi Suci SAW. bersabda: “Gejolak cinta yang tertanam dalam diri Nabi Syuaib yang membuatnya menangis sehingga membutakan kedua matanya. Allah berfirman kepadanya; ‘Hai Syuaib, andai perangaimu itu timbul karena takut akan azab neraka, maka sungguh Aku telah melindungimu darinya. Jika hal itu muncul karena merindukan syurga, Kuijinkan kau memasukinya.’ Nabi Syuaib berkata: ‘Illahi! Duhai junjunganku, Kau sesungguhnya mengetahui, tangisku ini bukan karena takut akan neraka dan merindukan Syurga-Mu, karena cinta yang mengakar dalam hatiku. Kesabaranku tak tertahan lagi untuk berjumpa dan melihat-Mu.’ Allah berfirman kepadanya: ‘Jika memang seperti, Kujadikan kalimullah Musa ibn Imran berkhidmat kepadamu.”
Seorang muslim seharusnya bersifat Qurani, semua tindak laku dan ucapannya selaras dengan semua ayat-ayat Al-Qurani. Maka jati diri seorang muslim seharusnya selalu siap menumbuhkan cinta hanya kepada Tuhan. ‘Orang yang beriman sungguh kuat cinta mereka kepada Allah’, (QS. Al Baqorah 2:165). Getar cinta seperti itu kemudian dikumandangkan untuk siap mengikuti semua kehendak Sang Kekasih. Allah berfirman ;”Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutlah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni”, (QS.Ali Imran 3:31).
Lebih jauh diuraikan bahwa ketika seorang hamba mencintai Allah maka kecintaannya itu tergambar kepada sikap, laku dan tindakan seorang pencinta. Diantaranya dia akan;
-
setia berbuat baik seperti tertera pada (QS. Al-Baqarah 2:195), (QS. Ali Imran
3:134), (QS. Al-Maidah 5:13 dan 93),
-
setia bertakwa seperti tertera pada (QS. Ali Imran 3:76), (QS. At-Taubah 9:7),
-
setia bersabar seperti tertera pada (QS. Ali Imran 3:146),
-
setia bertawakal seperti tertera pada (QS. Ali Imran 3:159),
-
menyebarkan rasa keadilan yang merata seperti tertera (QS. Al-Maidah 5:42),
(QS. Al-Mumtahanah 60:8),
-
selalu berusaha untuk menyucikan diri seperti tertera pada (QS. Al-Baqarah 2:222),
(QS. At-Taubah 9:108),
-
lekas bertobat jika melakukan kesalahan seperti tertera pada (QS. Al-Baqarah
2:222),
-
dan berusaha keras dijalan-Nya seperti tertera pada (QS. Al-Shaf 61:4).
Nabi
Suci SAW. menegaskan; “Bila Allah
mencintai hamba-Nya, Dia sematkan dalam hatinya ketulusan dan akhlak mulia, Dia
jauhkan dari jiwanya watak rakus dan pongah, kemudian Dia hiasi dengan
ketenangan dan kesabaran”. Atau menurut Imam Al-Shadiq, “Bila Allah
mencintai hamba-Nya, Dia tanamkan rasa pengabdian kepada-Nya, Dia tanamkan rasa
kepuasan kepada-Nya, Dia pandaikan dalam urusan agamanya, Dia teguhkan
keyakinan hatinya, Dia cukupkan hajatnya, dan Dia anugerahkan kemulian
dirinya.”
Jika kita membuka ayat-ayat Al-Quran, akan kita temukan bahwa identitas seorang musllim adalah kesediaan menumbuhkan cinta kepada Tuhannya. Seperti dalam firman Allah: “Orang yang beriman itu sungguh kuat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah 2:165). Semua ucapannya selalu bermuara pada pengagungan Tuhan dan perbuatannya bertalian dengan upaya penataan hubungan kemanusiaan yang santun.
Jika kita mencintai dengan tulus, Sang Kekasih niscaya akan membalas berlipat-ganda. Sang Kekasih tidak membiarkan cinta kita bertepuk sebelah tangan. Dia akan menyambut dengan terbuka. Kita menghampiri dengan berjalan, Dia menyambut menghampiri dengan berlari. Kita datang dengan berlari dan Dia akan menghampiri dengan kecepatan kilat.
Cinta
kepadaNya tidak sekonyong-konyong harus menjauhi dunia. Namun seharusnya cinta
kepada dunia menjadi alat dan jembatan untuk mempererat cinta kepadaNya. Semua
atribut dunia dijadikan kendaraan untuk meraih cintaNya yang murni. Seperti
ditorehkan pada puisi oleh Rumi dengan judul “Sufi Sejati”.
Apa yang membuat orang jadi Sufi? Kesucian hati;
Bukan gamis kumal dan
berahi liar
Mereka yang terikat
dunia yang jahat mencuri namanya.
Di tengah tumpukan
sampah dia (Sufi sejati) dapat melihat intisarinya:
Tentram dalam derita,
girang dalam sengsara.
Hantu-hantu pengawal,
yang menjaga dengan pentungan
Dan tirai perlindungan
pintu gerbang isatan Keindahan,
Akan memberinya jalan,
dan tanpa takut ia melangkah,
Sambil memperlihatkan
panah Sang Raja, ia pun masuk ke dalam.
Cinta seperti ini hakikatnya merupakan inti ajaran setiap Nabi. Suatu substansi luhur beragama. Esensi keimanan. Cinta sejati dan murni berporos pada nilai-nilai Ilahi yang disebarkan diantara manusia pada gilirannya akan membuat hidup jauh dari anarkisme dan tindakan-tindakan bodoh yang mendangkalkan peradaban.
Sebaliknnya,
jika elemen cinta autentik ini dicampakkan dan atau cakupan maknanya direduksi
sebatas pengentalan rajutan cinta antar kelompok saja (ras, agama, suku, mazhab
dan seterusnya), dan pada saat bersamaan ditanamkan rasa kebencian kepada orang
luar seraya memupuk ideologi ‘monopoli kebenaran’ dan ‘yang lain’ dianggap
keliru, maka cepat atau lambat peradaban manusia akan hancur, dan kehancurannya
yang tinggal menunggu waktu. Jalan menuju hidup sejahterapun tinggal harapan.
Situasi inilah dahulu menimpa masyarakat Jahiliah Mekkah. Saat itu, kekerasan, pertumpahan darah, teror, menyingkirkan orang yang tidak sehaluan, premanisme, perang bahkan pembunuhan terhadap bayi perempuan telah menjadi pemandangan yang biasa. Ditengah situasi primitif inilah hadir Nabi Muhammad SAW. Nabi terkahir lahir untuk meluruskan kembali makna cinta, memperbarui hubungan antarmanusia yang kadung terkotak-kotak dalam sistem yang diskriminatif, feodalistik, eksploitasi dan jauh dari adab. “Aku diutus tidak lain memperbaiki akhlak manusia,” sabdanya. Dan seperti diungkapkan dalam Al-Quran, “Aku tidak mengutusmu, kecuali sebagai penebar cinta kasih kepada seluruh alam”.
Kehadiran ajaran Tarekat ketengah masyarakat dewasa ini bisa dikatakan suatu ‘interupsi’ dari pertanyaan penting; apakah pendulum sejarah mutakhir tengah mengarah pada peradaban yang didasarkan atas cinta sehingga semua orang sama-sama menyadari perannya sebagai khalifatul dan abdullah yang wajib memakmurkan bumi sesuai kehendakNya, bersama-sama memuliakan Tuhan dengan cara menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menempatkan alam tidak sebagai objek eksploitasi, tetapi mitra dalam bertasbih kepadaNya?. Atau justru kebalikannya, perahu kehidupan kita sedang berlayar menuju peradaban nircinta, tanpa orientasi spiritual, terlepas dari visi Ilahiah?.
Abah Anom, dari Pesantren Suryalaya, menjawabnya dengan spirit wa’tashimu bi hablillah dan mahabbah; suatu kesadaran total akan kewajiban secara jemaah tanpa melihat latar belakang budaya dan afiliasi agama. Abah Anom mengajarkan untuk tidak pernah letih menggolarakan api cinta yang hakiki demi cita-cita seluruh umat manusia, yaitu tegaknya hidup yang bermartabat demi menyambut fajar kajembaran rahmaniyah.
Jika tidak demikian, maka kita tengah menghadapi iklim peradaban yang beku, menyesap napas kehidupan yang sedang mengalami bencana ruhani. Dan setelah itu, yang tersisa adalah kematian sia-sia. Tarekat Suryalaya, yang beraliran Qaradiyah Naqsyabandiyah, lebih dikenal dengan singkatan TQN; ajaran TQN dalam sitem keilmuan tasawuf termasuk tasawuf amali, yakni tasawuf yang berorientasi pada amal. Amal artinya melaksanakan ajaran yang ada dalam tarekat supaya bisa menggapai tujuan hidup, bermakna dalam hidup dan membawa banyak manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Lebih menukik lagi, Pangersa Abah Anom itu tidak mendefinisikan cinta, tapi lebih merasakannya; tidak membuat pengertian, tetapi mengajarkan tindakan; tidak disibukkan teori, tetapi menyatu dengan amal. Tentu saja begitu karena definisi berkaitan nalar (logika), sementara cinta berurusan dengan sukma. Rasa qolbu akan menjawab keberadaan dan melukis bentuk esensi dari cinta itu sendiri. Seperti diutarakan Rumi, “Akal akan mati kutu seandainya dipaksa merumuskan sejatinya cinta”. Cinta hanya dapat dirasakan. Kata Imam Al-Ghazali, dengan cinta seseorang dapat menggapai keagungan makrifat yang menggetarkan. Dalam kata-kata Dzunnun, cinta selalu bermula dari harapan (raja’), kemudian mengental menjadi gumpalan cinta (mahabbah) selanjutnya mengeras menjadi rindu (syauq), dan pada gilirannya mewujudkan rasa aman, damai dan hening (uns).

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.