Muhassabah.
Mengapa banyak orang muslim
yang pergi ke Mekkah dan mengelilingi Ka’bah tetapi masih tetap tidak ada
perubahan sikap dan akhlak dikesehariannya?. Diantaranya dikarenakan banyak
orang muslim hanya sekedar memegang atau mencium Ka’bah tanpa menggali rahasia
Ka’bah.
Bahkan mungkin Ka’bah terus
menerus menangis laksana gadis pengantin dipelaminan tetapi kemudian hanya
disentuh saja. Padahal sebelum ada manusia di bumi, Ka’bah tersebut sudah
diberi tanda batu oleh malaikat Jibril. Apa rahasianya?. Kalau manusia memiliki
‘Latifah’, maka begitu juga bumi mempunyai ‘Latifah’. Adapun latifah bumi
adalah bagian bawah Ka’bah.
Seorang manusia tidak akan
bisa hidup tanpa mempunyai kepala dan dada. Karena di bagian tersebut ada
‘titik-titik latifah’. Begitu juga bumi dengan berbagai tumbuhan yang tumbuh,
bukan tumbuh begitu saja (tetapi melalui proses alami). Akan tetapi itu
semuanya melalui saluran Qudrat dan Iradat Allah yang mengalir melalui ‘latifah
bumi’.
Apa sebenarnya ‘Latifah’?.
Dalam kamus bahasa Arab, ‘Latifah’ berarti sesuatu yang lembut, halus bisa juga
indah, sesuatu sangat elegen. Latifah dalam Thareqat berarti Makam atau Wilayah.
Makam atau wilayah untuk siapa, yaitu untuk Ruh kita. Menurut pendapat Thareqat,
Ruh terbagi atas dua, yaitu Ruhul ‘Azim
dan Ruhul Quddus.
Ruhul
‘Azim adalah Ruh yang pergi saat manusia wafat. Sedangkan Ruh yang
tetap dinamakan Ruhul Quddus. Ruhul Quddus itulah yang turun naik, menyambut
pencerahan rahmat, taufik dan hidayah dari Allah Swt. Karena adanya Ruhul Quddus itu, dalam tubuh manusia ada
tujuh makam/wilayah dinamakan ‘Tujuh
Latifah’.
Ketujuh Latifah itu
masing-masing dinamakan “Latifah Qolbi”, “Latifah
Ruhi”, “Latifah Sirri”, “Latifah Khofi”, “Latifah Akhfa”, “Latifah Nafsi” dan “Latifah
Jasad (Latifatul Qolab)”. Dan ketujuh Latifah itu harus dibersihkan,
dirawat, dipupuk dan diisi agar tetap hidup. Sebab Latifah yang terawat akan menjadi
‘kamar’ dari Nur Illahi. Bagaimana merawat, membersihkan dan mengisi ke ‘tujuh
Latifah’ itu.
Untuk merawat Latifah dan
Qolbu kita, menurut kitab ‘Miftahus
Shudur’ (Kunci Pembuka Dada) susunan K.H.A Shohibulwafa Tajul ‘Arifin; yaitu
dengan dzikir ‘LAA ILAAHA ILLALLAH”. Sesungguhnya dzikir itu adalah menjadi
sebab wushulnya manusia kepada Allah
Swt., dan pula manusia dapat mahabbah (cinta) kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia
tidak dapat menghindar apa yang menjadi kesalahan dan apa yang menjadi
kekerasan hati dan begitu pula apa yang menimbulkan segala amarah, melainkan
manusia yang mengharapkan Rahmat Allah Swt., dengan mengamalkan dzikir, dan
apabila telah berhasil, mereka akan kembali menjadi manusia yang baik,
sebagaimana Allah berfirman dalam hadist Qudsi:
“Aku
dekat sekali kepada orang yang hatinya dapat menyingkirkan kesalahan”
Mungkin ada anggapan bahwa
orang yang dekat ke Baitullah dianggap dekat kepada Allah Swt. Sebenarnya
kenyataannya, tidak dijamin dapat wushul kepada Allah tanpa ber-Thareqat Mu’thabaroh.
Untuk mendapatkan ‘inti jiwa ibadah’ Haji, sepertihalnya utntuk mendapatkan ‘Inti
Jiwa Ibadah’ dari sholat, puasa atau sedekah ada cara dari para penganut
thareqat. Sehingga didapat Ridhlo-Nya. Cara itu adalah setiap murid pengamal
tharekat harus “Robhitoh” (Kontak
hati/batin) kepada Syaikh Mursyidnya. Karena beliaulah yang dapat mengantarkan
kita untuk wushul (Ibadah sampai dan
diterima) kepada Allah Swt.
Hendaknya jangan lalai dan
bodoh setelah tiba disisi Ka’bah, kita tidak ‘kontak’ dengan Guru untuk
mengantarkan ibadah haji kita. Jadi tidak mungkin dilakukan ‘kontak’ dengan
Guru yang terpisah antar negara, benua dan lautan, jika tidak dengan ‘Robhitoh’ kepada Guru Mursyidnya.
Mengapa diperlukan ‘Robhitoh’ kepada
Guru yang sudah ‘wushul’ kepada
Allah?. Karena orang yang sudah ‘wushul’
kepada Allah, jasadnya di bumi tetapi arwahnya dibawah Arsy di Maq’adi Shidqin ‘Inda
Malikim Muqtadin, bersama para Nabi, para Rosul, para Suhada serta para
Sholihin. Mereka sudah berada di alam samar (‘Lahut’).
Kalau kita ingin ‘wushul’ sendiri kepada Allah, maka
harus melalui proses tranformasi ‘fana’
dahulu. Padahal walaupun seorang hamba beribadah setahun, tidaklah cukup untuk
membayar nikmat berkedip mata saja. Maka untuk mendapatkan kondisi ‘fana’,
semua nikmat-nikmat Allah harus ‘dibayar’ dahulu. Nikmat hidup, nikmat
bernafas, nikmat jantung dan seluruh pembuluh darah lancar, nikmat melihat,
mendengar, mencium, meraba, kesehatan seluruh anggota badan, nikmat air, udara
dan seterusnya. Mampukah kita?.
Disinilah pentingnya dzikir.
Selain mencapai kondisi ke-fanaan, juga sebagai upaya menyambungkan ‘Tujuh Latifah’
yang ada dalam diri kita dengan ‘Latifah Bumi’. Karena jika sudah sampai
pembahasan tentang Allah, akal kita hanya mampu sampai pembahasan asma dan af’al saja. Padahal Allah adalah yang dhohir dan yang bathin, dan
hanya melalui dzikir saja kita mampu bicara rasa.
Ketika berziarah ke
Baitullah dan Rasullah, secara fisik tidak semua orang mampu. Murid yang ber-thareqat
memiliki fasilitas lainnya, mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan
finansial, tidak diputus dari Rahmat Allah. Dengan ber-‘Tawassul’ (menyampaikan salam), para murid dapat juga berziarah.
Oleh karena itu ketika ‘Tawassul’, harus sampai dirasakan getaran-getarannya,
agar tergabung dengan yang dituju. Kalau sudah terbiasa bergabung, maka
kemudian waktu juga kita akan bergabung dengan mereka.
Nah, sudahkah haji kita
washul dan ziarah kita sampai?. Jadi Haji yang mabrur sekarang sudah dapat kita
ukur. Seperti mengukur puasa, apakah termasuk puasa yang hanya lapar dan dahaga
saja, tidak sampai puasa khoasul khowas. Dan sholatmu adalah sholat khusu. Pantaslah kalau Ka’bah akan menangis.

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.