Translate

Sunday, September 18, 2016

JANGAN BIARKAN KA’BAH MENANGIS


Muhassabah.
Mengapa banyak orang muslim yang pergi ke Mekkah dan mengelilingi Ka’bah tetapi masih tetap tidak ada perubahan sikap dan akhlak dikesehariannya?. Diantaranya dikarenakan banyak orang muslim hanya sekedar memegang atau mencium Ka’bah tanpa menggali rahasia Ka’bah.

Bahkan mungkin Ka’bah terus menerus menangis laksana gadis pengantin dipelaminan tetapi kemudian hanya disentuh saja. Padahal sebelum ada manusia di bumi, Ka’bah tersebut sudah diberi tanda batu oleh malaikat Jibril. Apa rahasianya?. Kalau manusia memiliki ‘Latifah’, maka begitu juga bumi mempunyai ‘Latifah’. Adapun latifah bumi adalah bagian bawah Ka’bah.

Seorang manusia tidak akan bisa hidup tanpa mempunyai kepala dan dada. Karena di bagian tersebut ada ‘titik-titik latifah’. Begitu juga bumi dengan berbagai tumbuhan yang tumbuh, bukan tumbuh begitu saja (tetapi melalui proses alami). Akan tetapi itu semuanya melalui saluran Qudrat dan Iradat Allah yang mengalir melalui ‘latifah bumi’.

Apa sebenarnya ‘Latifah’?. Dalam kamus bahasa Arab, ‘Latifah’ berarti sesuatu yang lembut, halus bisa juga indah, sesuatu sangat elegen. Latifah dalam Thareqat berarti Makam atau Wilayah. Makam atau wilayah untuk siapa, yaitu untuk Ruh kita. Menurut pendapat Thareqat, Ruh terbagi atas dua, yaitu Ruhul ‘Azim dan Ruhul Quddus.

Ruhul ‘Azim adalah Ruh yang pergi saat manusia wafat. Sedangkan Ruh yang tetap dinamakan Ruhul Quddus. Ruhul Quddus itulah yang turun naik, menyambut pencerahan rahmat, taufik dan hidayah dari Allah Swt. Karena adanya Ruhul Quddus itu, dalam tubuh manusia ada tujuh makam/wilayah dinamakan ‘Tujuh Latifah’.

Ketujuh Latifah itu masing-masing dinamakan “Latifah Qolbi”, “Latifah Ruhi”, “Latifah Sirri”, “Latifah Khofi”, “Latifah Akhfa”, “Latifah Nafsi” dan “Latifah Jasad (Latifatul Qolab)”. Dan ketujuh Latifah itu harus dibersihkan, dirawat, dipupuk dan diisi agar tetap hidup. Sebab Latifah yang terawat akan menjadi ‘kamar’ dari Nur Illahi. Bagaimana merawat, membersihkan dan mengisi ke ‘tujuh Latifah’ itu.

Untuk merawat Latifah dan Qolbu kita, menurut kitab ‘Miftahus Shudur’ (Kunci Pembuka Dada) susunan K.H.A Shohibulwafa Tajul ‘Arifin; yaitu dengan dzikir ‘LAA ILAAHA ILLALLAH”. Sesungguhnya dzikir itu adalah menjadi sebab wushulnya manusia kepada Allah Swt., dan pula manusia dapat mahabbah (cinta) kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat menghindar apa yang menjadi kesalahan dan apa yang menjadi kekerasan hati dan begitu pula apa yang menimbulkan segala amarah, melainkan manusia yang mengharapkan Rahmat Allah Swt., dengan mengamalkan dzikir, dan apabila telah berhasil, mereka akan kembali menjadi manusia yang baik, sebagaimana Allah berfirman dalam hadist Qudsi:

“Aku dekat sekali kepada orang yang hatinya dapat menyingkirkan kesalahan”

Mungkin ada anggapan bahwa orang yang dekat ke Baitullah dianggap dekat kepada Allah Swt. Sebenarnya kenyataannya, tidak dijamin dapat wushul kepada Allah tanpa ber-Thareqat Mu’thabaroh. Untuk mendapatkan ‘inti jiwa ibadah’ Haji, sepertihalnya utntuk mendapatkan ‘Inti Jiwa Ibadah’ dari sholat, puasa atau sedekah ada cara dari para penganut thareqat. Sehingga didapat Ridhlo-Nya. Cara itu adalah setiap murid pengamal tharekat harus “Robhitoh” (Kontak hati/batin) kepada Syaikh Mursyidnya. Karena beliaulah yang dapat mengantarkan kita untuk wushul (Ibadah sampai dan diterima) kepada Allah Swt.

Hendaknya jangan lalai dan bodoh setelah tiba disisi Ka’bah, kita tidak ‘kontak’ dengan Guru untuk mengantarkan ibadah haji kita. Jadi tidak mungkin dilakukan ‘kontak’ dengan Guru yang terpisah antar negara, benua dan lautan, jika tidak dengan ‘Robhitoh’ kepada Guru Mursyidnya. Mengapa diperlukan ‘Robhitoh’ kepada Guru yang sudah ‘wushul’ kepada Allah?. Karena orang yang sudah ‘wushul’ kepada Allah, jasadnya di bumi tetapi arwahnya dibawah Arsy di Maq’adi Shidqin ‘Inda Malikim Muqtadin, bersama para Nabi, para Rosul, para Suhada serta para Sholihin. Mereka sudah berada di alam samar (‘Lahut’).
Kalau kita ingin ‘wushul’ sendiri kepada Allah, maka harus melalui proses tranformasi ‘fana’ dahulu. Padahal walaupun seorang hamba beribadah setahun, tidaklah cukup untuk membayar nikmat berkedip mata saja. Maka untuk mendapatkan kondisi ‘fana’, semua nikmat-nikmat Allah harus ‘dibayar’ dahulu. Nikmat hidup, nikmat bernafas, nikmat jantung dan seluruh pembuluh darah lancar, nikmat melihat, mendengar, mencium, meraba, kesehatan seluruh anggota badan, nikmat air, udara dan seterusnya. Mampukah kita?.

Disinilah pentingnya dzikir. Selain mencapai kondisi ke-fanaan, juga sebagai upaya menyambungkan ‘Tujuh Latifah’ yang ada dalam diri kita dengan ‘Latifah Bumi’. Karena jika sudah sampai pembahasan tentang Allah, akal kita hanya mampu sampai pembahasan asma dan af’al saja. Padahal Allah adalah yang dhohir dan yang bathin, dan hanya melalui dzikir saja kita mampu bicara rasa.

Ketika berziarah ke Baitullah dan Rasullah, secara fisik tidak semua orang mampu. Murid yang ber-thareqat memiliki fasilitas lainnya, mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan finansial, tidak diputus dari Rahmat Allah. Dengan ber-‘Tawassul’ (menyampaikan salam), para murid dapat juga berziarah. Oleh karena itu ketika ‘Tawassul’, harus sampai dirasakan getaran-getarannya, agar tergabung dengan yang dituju. Kalau sudah terbiasa bergabung, maka kemudian waktu juga kita akan bergabung dengan mereka.


Nah, sudahkah haji kita washul dan ziarah kita sampai?. Jadi Haji yang mabrur sekarang sudah dapat kita ukur. Seperti mengukur puasa, apakah termasuk puasa yang hanya lapar dan dahaga saja, tidak sampai puasa khoasul khowas. Dan sholatmu adalah sholat khusu.  Pantaslah kalau Ka’bah akan menangis.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.