Muhasabah.
Hari-hari kita
mestinya adalah hari-hari taubat. Karena setiap saat, setiap detik, antara
cahaya dan kegelapan, antara dosa dan pahala, antara harapan dan penyesalan
saling berebut di hati anda. Bahkan jika hari ini pun anda menyesali apa yang
anda lakukan, besok pun terulang kembali dosa yang sama dalam waktu dan tempat
berbeda, atau dalam bentuk yang berbeda pula.
Allah
Maha tahu, betapa sombongnya, betapa lemahnya, betapa fananya manusia dan
banyaknya manusia yang mengeluh, betapa banyaknya manusia yang tidak bersyukur,
betapa banyaknya manusia yang tidak menalarkan akal sehatnya, betapa banyaknya
yang tidak mampu mengekang hawa nafsunya.
Dan,
dengan Kemaha Besaran serta Kemaha Lembutan Kasih Sayangnya, Allah memanggil
kita semua, dengan panggilan kemahalembutan dan kasihNya: “Wahai orang-orang yang beriman, kembalilah kepada Allah (bertaubatlah)
kalian semua, wahai (hamba-hambaKu) yang (mengaku) beriman, agar kalian semua
bahagia.” (QS. an-Nuur : 31).
Lalu
gelombang demi gelombang cahaya memancarkan pembersihan atas
kegelapan-kegelapan kita. Gelombang air qudus
memandikan kotoran-kotoran bumi kita, penyesalan menjadi pintu gerbang bagi
haribaanNya, Istghfar menjadi luapan
paling indah dari PelukanNya. Sebab disanalah peleburan, penyirnahan, ke-fanaan dan kehambaan maujud. “Akulah hamba dan Engkaulah
Rabb.”
Lalu
Rasulullah saw. menegaskan betapa lebih gembiranya Allah ketimbang seorang yang
kehilangan kendaraan unta beserta seluruh hartanya, dalam drama yang
mengenaskan, sampai lelah, ia terlunglaikan dalam lelah tidurnya. Ketika ia
bangun dari lelap tidurnya, unta dan seluruh hartanya ada di depan matanya.
Allah lebih erat memeluknya ketimbang eratnya pelukan si fulan yang kehilangan
harta benda, kemudian ada di depannya.
Lihatlah,
seperti air gunung yang melimpah, bening bercahaya. Lihatlah seperti
gulungan-gulungan ombak KinasihNya yang mengejar seluruh apapun yang membuat
bergolak KecemburuanNya. Lihatlah kebut-kabut dan mega-mega tersingkap oleh
Tangan-Tangan KekuasaanNya, dan Senyuman Keabadian Yang Agung menerima kita
semua. Hamba-hambaNya yang bertaubat.
Karena
itu janganlah takut dengan taubat, karena taubat itu indah dan penuh cinta.
Janganlah khawatir dengan taubat, karena kekhawatiran itu adalah nafsu yang
dikelola oleh kandang-kandang syetan. Janganlah pesimis atas ampunanNya, karena
jika langit dan bumi ini dipenuhi noda-noda kita, dosa-dosa, kezhaliman dan
kesalahan kita, niscaya ampunan, maghfirah,
kemaafan dan cintaNya lebih besar dari semuanya.
Bahkan
kata Ibnu Athailah as-Sakandary: “Terkadang Allah mentakdirkan hamba-hambaNya
berbuat dosa, agar si hamba lebih dekat kepadaNya.” Amboi betapa indah dan
luhurnya Dia, kita harus berbaik sangka kepadaNya, bahwa dosa-dosa pun bagian
dari cara Dia mendidik kita. Ketika kita cerdas dan pandai, seluruh kesadaran
kita sudah kembali kepadaNya. Tetapi janganlah kita begitu gegabah memaknai,
dengan merasa berbesar diri, menyepelekan dosa-dosa kita, hanya karena
dosa-dosa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan ampunanNya. Jangan pula kita
berbangga diri dengan dosa-dosa kita, hanya karena berbangga dengan dosa itu
melemparkan kita pada kegelapan yang paling mengerikan: Jauh dari Cinta dan
pelukan Ilahi.
Karena
itu mari kita bertobat. Taubatan Nasuha.
Taubat yang sesugguhnya. Pertama-tama kita taubati dosa-dosa kita, karena hari
demi hari, ada saja dosa-dosa yang menempel bagai debu di tubuh kita. Semua
hanyalah debu-debu yang hampir tiada artinya, tetapi lama kelamaan akan berubah
menjadi kumpulan debu dan gundukan kotoran di tubuh kita, lalu menjadi dosa
besar namanya. Apalagi jika kumpulan kotoran itu adalah noda-noda besar kita.
Oh Tuhan, ternyata engkau tidak tega menyiksa mereka, ketika mereka sedang
bergelora dalam istighfar. (al-Qur’an).
Lalu
kita masuki taubat berikutnya: Taubat atas kealpaan kita, kelalaian kita, dalam
mengingat Allah dalam hari-hari dan waktu kita. Perselingkuhan kita dengan
syetan dan dunia, telah menjauhkan diri kita dari Allah, dan terasa hilang dari
hati kita. Detik-detik jantung kita, gerak-gerik syaraf ruhani kita, ternyata
begitu terabaikan dari campur tangan Allah disana. Makanya, sudah niscaya jika
istighfar menjadi buah bibir hati kita. Inilah taubatnya para Kekasih Allah.
Taubat dari kealpaan bermesraan dengan Allah. Taubat dari kealpaan Dzikrullah. Inabah namanya.
Kemudian
tahap selanjutnya, kita bertaubat dari segala apa saja selain Allah. Sebab
selain Allah senantiasa sirna, dan hanya WajahNya yang Abadi. Keabadian Allah
janganlah dibiarkan terlantar di kuburan dunia, karena itu segala hal selain Allah
sesungguhnya dusta belaka. Dan karenaNya, kita taubati semuanya. Itulah jika
ingin meneladani Nabi dan RasulNya. Mereka para pilihan itu, tak ingin
sekejappun hatinya kehilangan Dia. Itulah yang disebut dengan Aubah.
Junaid
al-baghdady pernah mengisahkan: Suatu hari aku masuk ke tempat Sarry
as-Saqathy. Aku lihat dia sedang bingung. “Ada apa dengan anda?” tanyaku
kepadanya. “Ada seorang pemuda datang kepadaku bertanya tentang taubat,
lalu kukatakan padanya, “Hendaknya
engkau tidak melupakan dosa-dosamu.” Tapi pemuda itu menentangku, malah balik
berkata: “ Sebaliknya malah lupakan saja dosa-dosamu.” Lalu Juanid berkata: “Menurut
benakku, apa yang dikatakan pemuda itu benar.” “Kenapa anda bicara begitu?” “Karena
ketika aku dalam musim panas, kemudian Allah memindahkan diriku di musim
dingin, maka sesungguhnya menyebut-menyebut musim panas di musim dingin adalah
panas pula artinya.” Maka as-Saqathy pun terdiam. Kalimat anak muda ini
senantiasa diturutkan sama oleh Junaid, “Bahwa taubat adalah melupakan
dosa-dosa anda.” Tentu berbeda dengan pernyataan Sahl bin Abdullah, taubat hendaknya anda
jangan melupakan dosa anda.
Para
sufi memiliki pengamalan tentang taubat. Dzun Nuun al-Mishry menyatakan, taubat
kalangan publik itu, dari dosa. Taubat kalangan khawash itu dari alpa. Sedang An-Nury menegaskan puncak taubat, “hendaknya
kalian bertobat dari segala hal selain Allah.” Al-Wasithy menyebutkan, Taubatan Nasuha, adalah jika tidak
tersisa sedikit pun kemaksiatan, baik maksiat lahir maupun maksiat batin.
Lebih
dari itu semua, pengalaman taubat adalah refleksi dari kondisi ruhani
masing-masing hambaNya. Yang lebih penting adalah mutiara-mutiara yang
tersimpan dibalik pertaubatan itu. Mutiara Cinta Ilahi yang tak ternilai.
Karena itu Allah ta’ala sampai berfirman, “Katakanlah
(Muhammad), Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah bakal
mencintaimu.” Ya, mengikuti jejak Rasulullah saw., melalui pintu taubat adalah
beristighfar, minimal 70 kali sehari, atau seratus kali sebagaimana teladan
yang diberikan kepada kita. “Dan kepada Kamilah mereka kembali...”
(al-Ghasyiyah : 26).
Pertaubatan
memanglah sehari-hari tak bisa kita lepaskan. Kata Tawwaabin (orang-orang yang bertaubat), dikaitkan dengan Mutathohhirin (orang-orang mensucikan
hati). Maknanya, taubat sebagai awal pembuka, maka disanalah ada pensucian
jiwa. Proses taubat sampai akhirnya, hingga jiwa-jiwa menjadi suci, adalah
proses yang dicintai oleh Allah.
(M. Luqman Hakim MA.)
*** ^ ***

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.