Translate

Thursday, March 30, 2017

TAUBAT ITU HARUS DISERTAI DZIKIR.


Muhasabah.
Siapapun selain Nabi tentunya bisa potensial berbuat dosa. Karena itulah Allah Yang Maha Pengampun menyuruh kita untuk selalu bertaubat. Karena itu pula kaum sufi menetapkan taubat sebagai salah satu maqam atau tahapan yang harus ditempuh para salik. Taubat itulah maqam yang pertama sekali harus dilalui.

Mengenai hakikat taubat, taubat bukan sekedar melafalkan kalimah istighfar, melainkan harus disertai dengan dzikir yang di talqinkan. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa taubat bagi kaum sufi berarti lupa pada segala sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Karena lalai mengingat Allah itu tergolong dosa besar, maka bagi  para penempuh jalan sufi harus selalu berusaha mengingat Allah kapanpun dan dimanapun. Bahkan ketika kita berada di wc sekalipun.

Pada saat mengingat Allah, selain dosa-dosa kita akan diampuni Allah, pada saat yang bersamaan tidak mungkin pula kita terjebak pada perbuatan dosa. Lalu bagaimana kaum sufi menempuh maqam taubat tersebut? Apa pula tipsnya agar kita dapat mencapai kualitas taubat yang sebenarnya? Serta apa pula kaitannya antara taubat dengan dzikir?.

Taubat atau permohonan ampun kepada Allah itu tidak cukup sekedar membaca istighfar saja, tetapi juga harus disertai dengan dzikir. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw. bersabda: “al-dzikru maghfurun,” orang yang berdzikir itu akan diampuni dosanya oleh Allah. Pendek kata kita haruslah berdzikir. Agar kita mencapai kualitas dzikir yang berbuah pengampunan dosa itu maka dzikirnya itu harus melalui talqin terlebih dahulu. Sebagaimana sabda Nabi: “laqqinuu mautakum,” talqinkan atau ajarkan olehmu kepada orang yang akan mati. Jadi siapapun harus diajarkan bagaimana melakukan dzikrullah itu.

Seberapa pentingnya talqin dilakukan. Pada hakikatnya talqin adalah dalam rangka menancapkan makna dan hakikat dzikir ke dalam hati sanubari. Jadi bukan sebatas melafalkan nama Allah dibibir saja, melainkan meresap jauh ke dalam lubuk hati. Dengan begitu kedudukan orang yang men-talqinkan itu tiada lain adalah sebagai pembimbing. Sebab bagi pemula yang umumnya masih awam, ketika mereka berdzikir tanpa di talqin terlebih dahulu itu perlu dikhawatirkan, sebab memang mereka itu belum sepenuhnya mampu mengontrol lintasan-lintasan apa saja yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya. Di situlah perlunya pembimbing yang mentalqinkan itu.

Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 152: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari ni’mat-Ku.” Dari firman Allah itu, Aku akan ingat pula kepadamu, artinya Allah akan melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita. Ini akan sesuai dengan hadits Nabi saw. di atas, bahwa orang yang berdzikir itu akan diampuni dosa-dosanya. Jadi dzikir akan berbuah pengampunan dosa.

Kalau menelusuri kitab-kitab klasik, pandangan kaum sufi mengenai maqam taubat itu, dalam dunia tasawuf adalah sebagai maqam awal dari serangkaian maqamat. Sebagai salahsatu maqam, berarti taubat itu merupakan satu tahapan yang harus dilalui oleh salik, oleh para penempuh jalan sufi. Terhadap kedudukan maqam taubat itu hampir semua ulama sufi sepakat. Misalnya kalau kita merujuk pada kitab al-Ta’arruf li Mazhab Ahl al-Tasawwuf yang dikarang oleh Abu Bakr Muhammad al- Kalabadzi, kita akan mendapati tingkatan maqamat itu adalah taubat, zuhud, sabar, al-faqr, tawaddu’, taqwa, tawakkal, ridla, mahabbah dan ma’rifat. Kemudian Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-Luma’ menetapkan maqamat itu antara lain taubat, wara’, zuhud, al-faqr, tawakkal dan ridla. Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya yang termashur, yaitu Ihya’ ‘Ulumuddin menguraikan maqamat itu kedalam taubat, sabar, al-faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah dan ridla.
Ada lagi misalnya Abu al-Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi, maqamat itu adalah taubat, wara’, zuhud, tawakkal, sabar dan ridla. Kesimpulannya, meski mereka sedikit berbeda pendapat dalam menetapkan serangkaian tahapan awal dari maqamat, tetapi mereka sepakat bahwa taubat itu merupakan maqam pertama yang harus dilalui oleh setiap penempuh jalan tasawuf.

Taubat bagi kaum sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya, taubatan nasuuha, yaitu taubat yang memungkinkan seseorang tidak terjebak lagi pada perbuatan dosa sebagaimana yang pernah dilakukannya itu. Pengertian taubat yang sebenarnya ini dalam pengertian tasawuf ialah lupa pada segala sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Karena itulah al-Hujwiri pernah mengatakan bahwa orang yang benar-benar telah taubat itu adalah orang yang sudah benar-benar cinta kepada Allah. Sebab orang yang benar-benar cinta kepada Allah tentunya akan senantiasa mengingat Allah, kapanpun dan di manapun. Nah, apabila Allah tidak pernah luput dalam ingatannya, berarti orang tersebut sudah melewati maqam taubat. Tapi kalau sewaktu-waktu masih lalai dari mengingat Allah, maka berarti ia masih berkutat dalam maqam taubat.

Untuk  mencapai taubat yang sebenarnya itu memang sulit. Jadi kita tidak satu-dua kali saja. Bahkan konon ada sorang sufi yang pada masa-masa awalnya pernah melakukan taubat hingga tujuh puluh kali. Tapi ini harus dipahami bahwa dosa yang lagi-lagi diperbuat oleh si calon sufi tadi tiada lain adalah lalai kepada Allah untuk sementara waktu. Sebab bagi seorang penempuh jalan sufi, kelalaian seperti itu merupakan dosa yang sangat luar biasa.  Nah, ketika sewaktu-waktu kita lupa kepada Allah maka secepatnya kita bertaubat, dalam arti segera mengingat Allah kembali. Jadi tipsnya, kita harus sesering mungkin melakukan dzikir dalam pengertian khusus. Yaitu dzikir yang harus melalui talqin diatas, yang harus dibaca dalam waktu-waktu tertentu, umpamanya setiap shalat dan pada waktu malam. Selain itu, kita juga harus berusaha agar selalu berdzikir dalam pengertian umum, yaitu selalu mengingat Allah kapanpun dan dimanapun, tidak terkecuali di wc sekalipun.

Walau ada pengertian umum, ditempat seperti di wc itu dilarang menyebut nama Allah. Memang secara syari’at kita dilarang menyebut-menyebut nama Allah di tempat-tempat tertentu seperti di wc tadi. Tetapi yang dilarang adalah melafalkan nama Allah! Adapun kalau di sana hati kita mengingat Allah, itu tidak menjadi masalah dan diperbolehkan, bahkan diharuskan, bahkan jika sedang berhubungan suami istripun, nama Allah harus selalu kita ingat. Coba saja pikirkan, kalau kita sedang buang hajat atau sedang berhubungan suami istri, lalu tiba-tiba kita mati terkena serangan jantung misalnya, padahal ketika itu kita sedang alpa mengingat Allah, jadi bisa ditetapkan status kematian kita. Kita harus mati dalam keadaan mengingat Allah, dan pula kita tidak tahu kapan dan dimana kita akan mati, maka kita harus selalu berusaha untuk mengingat Allah kapanpun dan dimanapun.

Selain itu, dengan selalu berusaha mengingat Allah, dalam arti luas berarti pula bertaubat, Insya Allah dosa-dosa kitapun akan diampuni Allah. Bahkan menurut sebuah ayat, ketika kita bertaubat, para malaikatpun akan turut memintakan ampunan atas dosa kita, misalnya Surat al-Mu’min ayat 7: “Malaikat-malaikat yang memikul ‘Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, ‘ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksa api neraka’.”

Selanjutnya bagaimana mengaitkan makna taubat dalam pengertian syari’at. Taubat itu berasal dari bahasa Arab, taaba yatuubu tauban wa taubatan, yang artinya adalah penyesalan atas perbuatan dosa, serta menuju kembali kepada Allah. Taubat dalam pengertian syari’at adalah taubat dari perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Pengertian dosa disini adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah, yaitu meninggalkan apa yang diperintahkan Allah atau malah mengerjakan apa yang dilarang Allah. Secara syari’at, syaratnya melakukan taubat itu adalah adanya perasaan menyesal atas dosa yang telah diperbuat. Kemudian membaca istighfar, yaitu memohon ampunan kepada Allah atas dosanya tersebut.  Selain itu harus disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa serupa. Adapun apabila dosanya berkaitan dengan sesama manusia, maka terlebih dahulu ia harus islah (meminta maaf) dulu kepada orang yang bersangkutan. Sederhananya kita harus bersalaman saling memaafkan dahulu. Tapi bukan bersalaman secara fisik saja, tetapi harus disertai dengan pembersihan hati dari segala ganjalan-ganjalan noda kotoran hati.

Sekarang kalau kita selami lebih dalam lagi ketentuan taubat menurut syari’at tersebut, orang yang melakukan dosa umumnya karena mereka lalai alias tidak ingat kepada Allah. Misalnya koruptor yang nekat korupsi serta tega memberi nafkah keluarganya dengan harta yang haram, karena memang ketika itu ia tidak ingat  kepada Allah. Jadi dosa lalai mengingat Allah akan melahirkan dosa-dosa lain secara beruntun. Karena itu dengan mengingat Allah, dzikir kepada Allah, bukan hanya merupakan bentuk taubat dari dosa karena lalai mengingat Allah, tetapi juga secara prefentif bisa mencegah kita untuk tidak berbuat dosa-dosa lainnya. Sebab jika kita selalu ingat kepada Allah, tidak mungkin kita akan melakukan perbuatan dosa. (KH. Muhaiminul Azis).

                                                                 ** ^ **

  

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.