Muhasabah.
Siapapun selain Nabi tentunya bisa potensial
berbuat dosa. Karena itulah Allah Yang Maha Pengampun menyuruh kita untuk
selalu bertaubat. Karena itu pula kaum sufi menetapkan taubat sebagai salah
satu maqam atau tahapan yang harus ditempuh para salik. Taubat itulah maqam
yang pertama sekali harus dilalui.
Mengenai
hakikat taubat, taubat bukan sekedar melafalkan kalimah istighfar, melainkan
harus disertai dengan dzikir yang di talqinkan.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa taubat bagi kaum sufi berarti lupa pada segala
sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Karena lalai mengingat Allah itu
tergolong dosa besar, maka bagi para
penempuh jalan sufi harus selalu berusaha mengingat Allah kapanpun dan
dimanapun. Bahkan ketika kita berada di wc sekalipun.
Pada
saat mengingat Allah, selain dosa-dosa kita akan diampuni Allah, pada saat yang
bersamaan tidak mungkin pula kita terjebak pada perbuatan dosa. Lalu bagaimana
kaum sufi menempuh maqam taubat tersebut? Apa pula tipsnya agar kita dapat
mencapai kualitas taubat yang sebenarnya? Serta apa pula kaitannya antara
taubat dengan dzikir?.
Taubat
atau permohonan ampun kepada Allah itu tidak cukup sekedar membaca istighfar
saja, tetapi juga harus disertai dengan dzikir. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad
saw. bersabda: “al-dzikru maghfurun,”
orang yang berdzikir itu akan diampuni dosanya oleh Allah. Pendek kata kita
haruslah berdzikir. Agar kita mencapai kualitas dzikir yang berbuah pengampunan
dosa itu maka dzikirnya itu harus melalui talqin
terlebih dahulu. Sebagaimana sabda Nabi: “laqqinuu
mautakum,” talqinkan atau ajarkan olehmu kepada orang yang akan mati. Jadi
siapapun harus diajarkan bagaimana melakukan dzikrullah itu.
Seberapa
pentingnya talqin dilakukan. Pada
hakikatnya talqin adalah dalam rangka
menancapkan makna dan hakikat dzikir ke dalam hati sanubari. Jadi bukan sebatas
melafalkan nama Allah dibibir saja, melainkan meresap jauh ke dalam lubuk hati.
Dengan begitu kedudukan orang yang men-talqinkan
itu tiada lain adalah sebagai pembimbing. Sebab bagi pemula yang umumnya masih
awam, ketika mereka berdzikir tanpa di talqin
terlebih dahulu itu perlu dikhawatirkan, sebab memang mereka itu belum
sepenuhnya mampu mengontrol lintasan-lintasan apa saja yang tiba-tiba
menyelinap ke dalam hatinya. Di situlah perlunya pembimbing yang mentalqinkan itu.
Sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 152: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat pula
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
ni’mat-Ku.” Dari firman Allah itu, Aku
akan ingat pula kepadamu, artinya Allah akan melimpahkan rahmat dan
ampunan-Nya kepada kita. Ini akan sesuai dengan hadits Nabi saw. di atas, bahwa
orang yang berdzikir itu akan diampuni dosa-dosanya. Jadi dzikir akan berbuah
pengampunan dosa.
Kalau
menelusuri kitab-kitab klasik, pandangan kaum sufi mengenai maqam taubat itu, dalam
dunia tasawuf adalah sebagai maqam awal dari serangkaian maqamat. Sebagai
salahsatu maqam, berarti taubat itu merupakan satu tahapan yang harus dilalui
oleh salik, oleh para penempuh jalan sufi. Terhadap kedudukan maqam taubat itu
hampir semua ulama sufi sepakat. Misalnya kalau kita merujuk pada kitab al-Ta’arruf li Mazhab Ahl al-Tasawwuf
yang dikarang oleh Abu Bakr Muhammad al- Kalabadzi, kita akan mendapati
tingkatan maqamat itu adalah taubat,
zuhud, sabar, al-faqr, tawaddu’, taqwa, tawakkal, ridla, mahabbah dan ma’rifat. Kemudian Abu Nasr al-Sarraj
al-Tusi dalam kitabnya al-Luma’ menetapkan maqamat itu antara lain taubat, wara’, zuhud, al-faqr, tawakkal
dan ridla. Abu Hamid al-Ghazali dalam
kitabnya yang termashur, yaitu Ihya’
‘Ulumuddin menguraikan maqamat itu kedalam taubat, sabar, al-faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah dan ridla.
Ada
lagi misalnya Abu al-Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi, maqamat itu adalah taubat, wara’, zuhud, tawakkal, sabar
dan ridla. Kesimpulannya, meski
mereka sedikit berbeda pendapat dalam menetapkan serangkaian tahapan awal dari
maqamat, tetapi mereka sepakat bahwa taubat itu merupakan maqam pertama yang
harus dilalui oleh setiap penempuh jalan tasawuf.
Taubat
bagi kaum sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya, taubatan nasuuha, yaitu taubat yang memungkinkan seseorang tidak
terjebak lagi pada perbuatan dosa sebagaimana yang pernah dilakukannya itu.
Pengertian taubat yang sebenarnya ini dalam pengertian tasawuf ialah lupa pada
segala sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Karena itulah al-Hujwiri pernah
mengatakan bahwa orang yang benar-benar telah taubat itu adalah orang yang
sudah benar-benar cinta kepada Allah. Sebab orang yang benar-benar cinta kepada
Allah tentunya akan senantiasa mengingat Allah, kapanpun dan di manapun. Nah,
apabila Allah tidak pernah luput dalam ingatannya, berarti orang tersebut sudah
melewati maqam taubat. Tapi kalau sewaktu-waktu masih lalai dari mengingat
Allah, maka berarti ia masih berkutat dalam maqam taubat.
Untuk
mencapai taubat yang sebenarnya itu
memang sulit. Jadi kita tidak satu-dua kali saja. Bahkan konon ada sorang sufi
yang pada masa-masa awalnya pernah melakukan taubat hingga tujuh puluh kali.
Tapi ini harus dipahami bahwa dosa yang lagi-lagi diperbuat oleh si calon sufi
tadi tiada lain adalah lalai kepada Allah untuk sementara waktu. Sebab bagi
seorang penempuh jalan sufi, kelalaian seperti itu merupakan dosa yang sangat
luar biasa. Nah, ketika sewaktu-waktu
kita lupa kepada Allah maka secepatnya kita bertaubat, dalam arti segera
mengingat Allah kembali. Jadi tipsnya, kita harus sesering mungkin melakukan
dzikir dalam pengertian khusus. Yaitu dzikir yang harus melalui talqin diatas,
yang harus dibaca dalam waktu-waktu tertentu, umpamanya setiap shalat dan pada waktu
malam. Selain itu, kita juga harus berusaha agar selalu berdzikir dalam
pengertian umum, yaitu selalu mengingat Allah kapanpun dan dimanapun, tidak
terkecuali di wc sekalipun.
Walau
ada pengertian umum, ditempat seperti di wc itu dilarang menyebut nama Allah.
Memang secara syari’at kita dilarang menyebut-menyebut nama Allah di
tempat-tempat tertentu seperti di wc tadi. Tetapi yang dilarang adalah
melafalkan nama Allah! Adapun kalau di sana hati kita mengingat Allah, itu
tidak menjadi masalah dan diperbolehkan, bahkan diharuskan, bahkan jika sedang
berhubungan suami istripun, nama Allah harus selalu kita ingat. Coba saja
pikirkan, kalau kita sedang buang hajat atau sedang berhubungan suami istri,
lalu tiba-tiba kita mati terkena serangan jantung misalnya, padahal ketika itu
kita sedang alpa mengingat Allah, jadi bisa ditetapkan status kematian kita.
Kita harus mati dalam keadaan mengingat Allah, dan pula kita tidak tahu kapan
dan dimana kita akan mati, maka kita harus selalu berusaha untuk mengingat
Allah kapanpun dan dimanapun.
Selain
itu, dengan selalu berusaha mengingat Allah, dalam arti luas berarti pula
bertaubat, Insya Allah dosa-dosa kitapun akan diampuni Allah. Bahkan menurut
sebuah ayat, ketika kita bertaubat, para malaikatpun akan turut memintakan
ampunan atas dosa kita, misalnya Surat al-Mu’min ayat 7: “Malaikat-malaikat yang memikul ‘Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya
bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun
bagi orang-orang yang beriman, ‘ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi
segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan
mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksa api neraka’.”
Selanjutnya
bagaimana mengaitkan makna taubat dalam pengertian syari’at. Taubat itu berasal
dari bahasa Arab, taaba yatuubu tauban wa
taubatan, yang artinya adalah penyesalan atas perbuatan dosa, serta menuju
kembali kepada Allah. Taubat dalam pengertian syari’at adalah taubat dari
perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Pengertian dosa disini
adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah, yaitu meninggalkan apa yang diperintahkan
Allah atau malah mengerjakan apa yang dilarang Allah. Secara syari’at,
syaratnya melakukan taubat itu adalah adanya perasaan menyesal atas dosa yang
telah diperbuat. Kemudian membaca istighfar, yaitu memohon ampunan kepada Allah
atas dosanya tersebut. Selain itu harus
disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa serupa.
Adapun apabila dosanya berkaitan dengan sesama manusia, maka terlebih dahulu ia
harus islah (meminta maaf) dulu
kepada orang yang bersangkutan. Sederhananya kita harus bersalaman saling
memaafkan dahulu. Tapi bukan bersalaman secara fisik saja, tetapi harus
disertai dengan pembersihan hati dari segala ganjalan-ganjalan noda kotoran
hati.
Sekarang
kalau kita selami lebih dalam lagi ketentuan taubat menurut syari’at tersebut,
orang yang melakukan dosa umumnya karena mereka lalai alias tidak ingat kepada
Allah. Misalnya koruptor yang nekat korupsi serta tega memberi nafkah
keluarganya dengan harta yang haram, karena memang ketika itu ia tidak
ingat kepada Allah. Jadi dosa lalai
mengingat Allah akan melahirkan dosa-dosa lain secara beruntun. Karena itu
dengan mengingat Allah, dzikir kepada Allah, bukan hanya merupakan bentuk
taubat dari dosa karena lalai mengingat Allah, tetapi juga secara prefentif
bisa mencegah kita untuk tidak berbuat dosa-dosa lainnya. Sebab jika kita
selalu ingat kepada Allah, tidak mungkin kita akan melakukan perbuatan dosa. (KH. Muhaiminul Azis).
** ^ **

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.