Translate

Thursday, July 27, 2017

TASAWUF dan KESADARAN EKOLOGI.


Muhasabah.
Aku gembira dengan kosmos, aku mencintai seluruh dunia, karena dunia milik-Nya (Sa’di).
Kalau kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan sangat tegas diteguhkan bahwa alam diciptakan bukanlah sebagai ekspresi Tuhan dari sebuah kesia-siaan, namun betul-betul di belakangnya terbentang suatu maksud agung: Sebagai sarana untuk mengabdi dan partner manusia dalam beribadah kepada-Nya. (QS. Maryam : 93). Karena alam diciptakan bukan sebagai kesia-siaan maka adalah suatu tindakan keliru apabila manusia memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi yang diperas dengan kebuasan tak terkendali, manakala binatang kita bantai sedemikian rupa demi memanjakan kesenangan-kesenangan jasmani.

Bagaimanapun juga Allah-lah yang menata alam sedemikian rupa. Yang telah menurunkan air hujan, sehingga dengan air hujan itu tumbuh pohon-pohon, tanam-tanaman, buah-buahan. (QS. Qaf : 9-11). Dihidupkan dengan hujan itu tanah yang mati (QS. Al-Jatsiyah : 5), bumi menjadi segar kembali (QS. Al-Hajj : 63), tanaman yang bermacam-macam tumbuh di mana-mana (QS. Al-An’am : 99), buah-buahan yang beraneka ragam dihasilkan (QS. Fathir : 27). Dan kita pun dengan penuh rasa menikmati buah-buahan itu (QS. Ibrahim : 32). Dengan hujan pula, “Kami timbulkan kebun-kebun yang indah permai, yang kamu tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya”. (QS. An-Naml :60), rahmat dari langit turun untuk kita (QS. Al-Mu’min : 13).
Maka menjadi tindakan dungu apabila tatanan yang sudah sangat seimbang itu oleh kita dirusak atas nama dan alasan apa pun.

Teologi Pohon.
Kalau boleh kita melompat kebelakang, ternyata kesadaran ekologi adalah risalah yang paling tua setelah teologi. Bukankah salah satu pemicu terusirnya Nabi Adam Siti Hawa dari surga Tuhan yang dilambangkan dengan lingkungan yang hijau dan makmur. Sebab musababnya adalah karena mereka berdua tidak mengindahkan larangan-Nya untuk tidak mendekati pohon tapi justru keduanya bukan hanya mendekati tapi memetik bahkan memakan buahnya. Pohon dalam ayat ini simbol dari kesadaran ekologis.

Ketika kesadaran ini punah maka dengan serta-merta Adam dan Hawa pun harus merasakan nasib pahit: terusir dari lingkungan teduh dan damai, terdampar di daerah tandus dan panas sebelum pada akhirnya keduanya dipertemukan di bukit Rahmah (Jabal Rahmah yang berada di padang Arafah), dan langsung menyesali perbuatannya, bertaubat kepada Allah SWT.

Kalau kita membuka literatur hadis-hadis Nabi akan dengan mudah kita temukan teladan nyata darinya tentang bagaimana keharusan memperlakukan alam dan binatang dengan penuh kasih sayang, dengan sentuhan yang penuh cinta.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasul bersabda: “Barang siapa menanam tanaman akan mendapatkan balasan pahala sesuai dengan banyak buah (manfaat) yang dihasilkan oleh tanaman itu”.

Ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah beliau telah menetapkan sebuah kebijakan yang sangat visioner, yakni ‘syari’at hima’. Hima dalam makna asalnya adalah suatu ikhtiar melindungi hak-hak sumber daya alam asli, mencagarkan wilayah sekitar Madinah untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan kehidupan liar (wildlife).

Setelah Nabi saw. wafat syari’at hima ini, sebagaimana dicatat Ulumul Qur’an (1998), terus dilestarikan para penggantinya (Khulafa ar-rasyidin). Khalifah ibn Khatab misalnya menetapkan hima asy-syaraf dan hima ar-raddah yang cukup luas di dekat Dariyah. Khalifah Utsman ibn Affan memperluas hima kedua, yang menurut riwayat mampu menampung 1000 binatang setiap tahun.

Sejumlah hima yang ditetapkan di Arabia Barat ditanami rumput sejak awal Islam dan dianggap oleh organinasi Pangan dan Pertanian PBB  (FAO) sebagai contoh yang paling lama bertahan dalam pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia.

Kalau kita berziarah ke Mekah, di sana juga akan kita temukan sebuah kawasan yang lagi-lagi mencerminkan tentang kesadaran ekologi, kesadaran untuk mencintai alam dan binatang sepenuh hati. Kawasan itu adalah Tanah Haram.

Di tanah ini Nabi saw. melarang kita menyakiti binatang dan merusak tetumbuhan hatta memetik sehelai rumput. Tanah Haram menjadi isyarat bahwa kemabruran (puncak-puncak kebaikan) itu tidak hanya mengacu kepada kecermatan dalam menangkap pesan moral dari situs-situs peninggalan Ibrahim (haji), namun juga dari sejauh mana kita dapat memperlakukan alam dengan santun dan penuh tanggung-jawab.

Seandainya segenap ritual haji dapat mengantarkan seseorang dalam kesadaran Ilahi, maka sudah seharusnya Tanah Haram dengan pesan kesadaran ekologi dibelakangnya pun menjadi jembatan bagi kita untuk mengalami kesadaran yang sama.

Tanah Haram ternyata tidak hanya merujuk kepada tempat di seputar Mekah Mukarramah dengan segala pemuliaan terhadap-Nya, tapi lebih dari itu ia adalah simbol dari alam semesta secara keseluhuran yang juga merindukan perlakuan yang sama. Dari Tanah Haram kita diingatkan untuk melakukan reorientasi meminjam Tafsir Nasr dari manusia antroposentris dan homosentris ke teosentris.

Manusia yang menciptakan pertautan berkelindan (erat menjadi satu) antara fungsi khalifah Allah dan tugas sebagai ‘abd Allah. Dan bukanlah kedamaian alam akan tercipta ketika dikelola kaum beriman yang melakukan amal salih (QS. An-Nur : 55) yang paham betul bahwa semua itu amanah yang wajib dijaga dan dipelihara dengan seksama (QS. An-Ahzab : 72). Pengelolaan alam tidak layak diserahkan kepada kaum perusak yang tidak memiliki kesadaran ‘Tanah Haram’ yang hanya akan mewariskan malapetaka, alih-alih mendatangkan kemaslahatan justru mengundang kemaksiatan. (QS. Al-Rum : 41).

Realitas Metafisis.
Kalau kita cermati lebih seksama ayat-ayat Al-Qur’an, ternyata keniscayaan kita untuk mencintai alam dan binatang, karena dalam tilikan metafisis Al-Qur’an, alam dan binatang bukanlah objek untuk dieksploitasi dengan semena-mena dijarah dengan kebuasan tak terkendali, tapi semua sama sebagai makhluk-Nya yang memiliki hak untuk kita perlakukan secara bijaksana. Kalau manusia (yang sholeh) bertasbih kepada-Nya, maka alam dan binatang pun melakukan ibadah yang tidak berbeda, tentu dengan caranya masing-masing. (QS. An-Nur : 41).

Ini tidak mengandung arti bahwa kita tidak boleh memanfaatkan alam sekitar, tapi cara pemanfaatannya inilah yang harus dilakukan penuh etika dengan cara tetap menjaga keseimbangan dan keselarasan, memenuhi hak-haknya.

“Apa saja yang kamu potong dari pohon kurma atau kamu biarkan berdiri di atas batang-batangnya, maka adalah dengan izin Allah, dan karena Ia akan merendahkan orang-orang fasik (yang melampaui batas)”.
(QS. Al-Hasyr : 5. Lihat juga Al-Mulk : 15, Al-Nahl : 10-11, Qaf : 9-11, Al-Araf : 31, Al-An’am : 14, Al-Isra : 26-27).

Ternyata dalam tilikan metafisis, bukan hanya manusia yang bisa bertasbih dan mengagungkan Tuhan namun juga pekerjaan yang sama dilakukan alam. Dari sini manusia diharapkan menjadi mitra untuk menjalin berkelindan bersama-sama merintih mensucikan (tasbih) Sang Pencipta.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya”.
(QS. Al-Hajj : 18).
Bersama-sama dengan khidmat, dan takzim bersujud kepada Sang Pemilik Alam (QS. Al-Hajj : 18). Tidak ada alasan baginya untuk melakukan pembangkangan kepada Tuhan, merusak alam yang notabene menjadi sumber rahmat tempat mendulang rezeki (QS. Al-Naml : 64).
“Kami menyembah-Mu itulah do’a taman di musim hujan.
Kami minta tolong hanya kepada-Mu. Itulah rengeknya di musim semi.
Kami menyembah-Mu, Itu artinya aku datang memohon kepadamu.
Jangan tinggalkan aku dalam kesedihan ini, Tuhan, bukalah lebar-lebar pintu kegembiraan!
Kami minta tolong kepada-Mu Tuhan, yaitu kelimpahan buah yang masak lagi manis rasanya.
Nah patahkanlah dahan dan rantingku.
Lindungilah daku, Ya Allah ya Tuhanku!”.
(Rumi).

Dalam sebuah ayat Allah SWT. mentahbiskan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatullah) di muka bumi (QS. Al-Baqarah : 30), yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (QS. Hud : 61) sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan lingkungan. (QS. Al-Rahman : 6-9).

Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia niscaya dengan ikhlas melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan ibadah (‘abd Allah). Di antara sekian banyak cakupan ibadah, ya itu tadi, memperlakukan lingkungan dengan bertanggungjawab, sebab sekali lagi dalam optik Ilahi, alam mempunyai hak yang sama dengan manusia (QS. Al-Hijr : 86).

Sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali, demi memanjakan hasrat primitif yang bersifat dangkal maka sudah menjadi Sunnatullah pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolelir lagi alam pun akan melakukan ‘perlawanan’.

Perlawanan yang terartikulasikan dalam wujud ‘kemarahan’ yang bisa mengambil rupa tanah longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu dan krisis ekologis mengerikan lainnya yang dampak destruktifnya akan kembali menimpa jagat manusia bukan hanya sekarang tapi juga terwariskan kepada anak cucu kita generasi mendatang yang tidak berdosa, dan tidak tahu apa-apa.

Keterpaduan antara fungsi khalifah Allah (aktif memakmurkan bumi) dan ‘abd Allah (pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seseorang memiliki kesadaran mencintai alam dan binatang. Kesadaran yang semata sebagai panggilan luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan kokoh: kearifan genuine Ilahiah. Spiritualitas lingkungan.

Dalam tilikan filsuf mutakhir Sayyad Hossen Nasr, “Bagaimana Tuhan memelihara dan mengasuh dunia, manusia sebagai wakil-Nya juga harus mengasuh dan memelihara atmosfer di mana ia memainkan peran penting.

Ia tidak pernah menelantarkan tugas-tugas dunia alam tanpa pada saat yang sama mengkhianati amanah yang telah diterimanya ketika ia bersaksi akan ketuhanan Allah dalam kesepakatannya pra keabadiaan (al-mitsaq) seperti ditunjukkan Al-Qur’an dalam ayat yang terkenal.
“Bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka (manusia) menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami bersaksi”. (QS. Al-A’raf : 172).
(Asep Salahudin, MA).

                                                           **%**


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.