Muhasabah.
Aku gembira dengan kosmos, aku mencintai
seluruh dunia, karena dunia milik-Nya (Sa’di).
Kalau kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an
dengan sangat tegas diteguhkan bahwa alam diciptakan bukanlah sebagai ekspresi
Tuhan dari sebuah kesia-siaan, namun betul-betul di belakangnya terbentang
suatu maksud agung: Sebagai sarana untuk mengabdi dan partner manusia dalam
beribadah kepada-Nya. (QS. Maryam : 93). Karena alam diciptakan bukan sebagai
kesia-siaan maka adalah suatu tindakan keliru apabila manusia memperlakukan
alam sebagai objek eksploitasi yang diperas dengan kebuasan tak terkendali,
manakala binatang kita bantai sedemikian rupa demi memanjakan
kesenangan-kesenangan jasmani.
Bagaimanapun
juga Allah-lah yang menata alam sedemikian rupa. Yang telah menurunkan air
hujan, sehingga dengan air hujan itu tumbuh pohon-pohon, tanam-tanaman,
buah-buahan. (QS. Qaf : 9-11). Dihidupkan dengan hujan itu tanah yang mati (QS.
Al-Jatsiyah : 5), bumi menjadi segar kembali (QS. Al-Hajj : 63), tanaman yang
bermacam-macam tumbuh di mana-mana (QS. Al-An’am : 99), buah-buahan yang
beraneka ragam dihasilkan (QS. Fathir : 27). Dan kita pun dengan penuh rasa
menikmati buah-buahan itu (QS. Ibrahim : 32). Dengan hujan pula, “Kami
timbulkan kebun-kebun yang indah permai, yang kamu tidak mampu menumbuhkan
pohon-pohonnya”. (QS. An-Naml :60), rahmat dari langit turun untuk kita (QS.
Al-Mu’min : 13).
Maka
menjadi tindakan dungu apabila tatanan yang sudah sangat seimbang itu oleh kita
dirusak atas nama dan alasan apa pun.
Teologi Pohon.
Kalau
boleh kita melompat kebelakang, ternyata kesadaran ekologi adalah risalah yang
paling tua setelah teologi. Bukankah salah satu pemicu terusirnya Nabi Adam
Siti Hawa dari surga Tuhan yang dilambangkan dengan lingkungan yang hijau dan
makmur. Sebab musababnya adalah karena mereka berdua tidak mengindahkan
larangan-Nya untuk tidak mendekati pohon tapi justru keduanya bukan hanya
mendekati tapi memetik bahkan memakan buahnya. Pohon dalam ayat ini simbol dari
kesadaran ekologis.
Ketika
kesadaran ini punah maka dengan serta-merta Adam dan Hawa pun harus merasakan
nasib pahit: terusir dari lingkungan teduh dan damai, terdampar di daerah
tandus dan panas sebelum pada akhirnya keduanya dipertemukan di bukit Rahmah (Jabal Rahmah yang berada di padang Arafah), dan langsung menyesali
perbuatannya, bertaubat kepada Allah SWT.
Kalau
kita membuka literatur hadis-hadis Nabi akan dengan mudah kita temukan teladan
nyata darinya tentang bagaimana keharusan memperlakukan alam dan binatang
dengan penuh kasih sayang, dengan sentuhan yang penuh cinta.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasul bersabda: “Barang siapa menanam tanaman akan
mendapatkan balasan pahala sesuai dengan banyak buah (manfaat) yang dihasilkan oleh
tanaman itu”.
Ketika
beliau menjadi pemimpin di Madinah beliau telah menetapkan sebuah kebijakan
yang sangat visioner, yakni ‘syari’at
hima’. Hima dalam makna asalnya adalah suatu ikhtiar melindungi hak-hak
sumber daya alam asli, mencagarkan wilayah sekitar Madinah untuk melindungi
tumbuh-tumbuhan dan kehidupan liar (wildlife).
Setelah
Nabi saw. wafat syari’at hima ini, sebagaimana dicatat Ulumul Qur’an (1998), terus dilestarikan para penggantinya (Khulafa
ar-rasyidin). Khalifah ibn Khatab misalnya menetapkan hima asy-syaraf dan hima
ar-raddah yang cukup luas di dekat Dariyah. Khalifah Utsman ibn Affan
memperluas hima kedua, yang menurut riwayat mampu menampung 1000 binatang
setiap tahun.
Sejumlah
hima yang ditetapkan di Arabia Barat ditanami rumput sejak awal Islam dan
dianggap oleh organinasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sebagai contoh yang paling lama
bertahan dalam pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia.
Kalau
kita berziarah ke Mekah, di sana juga akan kita temukan sebuah kawasan yang
lagi-lagi mencerminkan tentang kesadaran ekologi, kesadaran untuk mencintai
alam dan binatang sepenuh hati. Kawasan itu adalah Tanah Haram.
Di
tanah ini Nabi saw. melarang kita menyakiti binatang dan merusak tetumbuhan
hatta memetik sehelai rumput. Tanah Haram menjadi isyarat bahwa kemabruran (puncak-puncak kebaikan) itu
tidak hanya mengacu kepada kecermatan dalam menangkap pesan moral dari
situs-situs peninggalan Ibrahim (haji), namun juga dari sejauh mana kita dapat
memperlakukan alam dengan santun dan penuh tanggung-jawab.
Seandainya
segenap ritual haji dapat mengantarkan seseorang dalam kesadaran Ilahi, maka
sudah seharusnya Tanah Haram dengan pesan kesadaran ekologi dibelakangnya pun
menjadi jembatan bagi kita untuk mengalami kesadaran yang sama.
Tanah
Haram ternyata tidak hanya merujuk kepada tempat di seputar Mekah Mukarramah
dengan segala pemuliaan terhadap-Nya, tapi lebih dari itu ia adalah simbol dari
alam semesta secara keseluhuran yang juga merindukan perlakuan yang sama. Dari
Tanah Haram kita diingatkan untuk melakukan reorientasi meminjam Tafsir Nasr dari manusia antroposentris dan homosentris
ke teosentris.
Manusia
yang menciptakan pertautan berkelindan (erat menjadi satu) antara fungsi khalifah Allah dan tugas sebagai ‘abd Allah. Dan bukanlah kedamaian alam akan tercipta ketika
dikelola kaum beriman yang melakukan amal salih (QS. An-Nur : 55) yang paham
betul bahwa semua itu amanah yang
wajib dijaga dan dipelihara dengan seksama (QS. An-Ahzab : 72). Pengelolaan
alam tidak layak diserahkan kepada kaum perusak yang tidak memiliki kesadaran
‘Tanah Haram’ yang hanya akan mewariskan malapetaka, alih-alih mendatangkan
kemaslahatan justru mengundang kemaksiatan. (QS. Al-Rum : 41).
Realitas Metafisis.
Kalau
kita cermati lebih seksama ayat-ayat Al-Qur’an, ternyata keniscayaan kita untuk
mencintai alam dan binatang, karena dalam tilikan metafisis Al-Qur’an, alam dan
binatang bukanlah objek untuk dieksploitasi dengan semena-mena dijarah dengan
kebuasan tak terkendali, tapi semua sama sebagai makhluk-Nya yang memiliki hak
untuk kita perlakukan secara bijaksana. Kalau manusia (yang sholeh) bertasbih
kepada-Nya, maka alam dan binatang pun melakukan ibadah yang tidak berbeda,
tentu dengan caranya masing-masing. (QS. An-Nur : 41).
Ini
tidak mengandung arti bahwa kita tidak boleh memanfaatkan alam sekitar, tapi
cara pemanfaatannya inilah yang harus dilakukan penuh etika dengan cara tetap
menjaga keseimbangan dan keselarasan, memenuhi hak-haknya.
“Apa saja yang kamu potong dari pohon
kurma atau kamu biarkan berdiri di atas batang-batangnya, maka adalah dengan
izin Allah, dan karena Ia akan merendahkan orang-orang fasik (yang melampaui
batas)”.
(QS.
Al-Hasyr : 5. Lihat juga Al-Mulk : 15, Al-Nahl : 10-11, Qaf : 9-11, Al-Araf :
31, Al-An’am : 14, Al-Isra : 26-27).
Ternyata
dalam tilikan metafisis, bukan hanya manusia yang bisa bertasbih dan
mengagungkan Tuhan namun juga pekerjaan yang sama dilakukan alam. Dari sini
manusia diharapkan menjadi mitra untuk menjalin berkelindan bersama-sama
merintih mensucikan (tasbih) Sang
Pencipta.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua
isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih
memuji-Nya”.
(QS.
Al-Hajj : 18).
Bersama-sama
dengan khidmat, dan takzim bersujud kepada Sang Pemilik Alam (QS. Al-Hajj :
18). Tidak ada alasan baginya untuk melakukan pembangkangan kepada Tuhan,
merusak alam yang notabene menjadi sumber rahmat tempat mendulang rezeki (QS.
Al-Naml : 64).
“Kami menyembah-Mu itulah do’a taman di musim hujan.
Kami minta tolong hanya kepada-Mu. Itulah rengeknya di
musim semi.
Kami menyembah-Mu, Itu artinya aku datang memohon
kepadamu.
Jangan tinggalkan aku dalam kesedihan ini, Tuhan, bukalah
lebar-lebar pintu kegembiraan!
Kami minta tolong kepada-Mu Tuhan, yaitu kelimpahan buah
yang masak lagi manis rasanya.
Nah patahkanlah dahan dan rantingku.
Lindungilah daku, Ya Allah ya Tuhanku!”.
(Rumi).
Dalam
sebuah ayat Allah SWT. mentahbiskan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatullah) di muka bumi (QS.
Al-Baqarah : 30), yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (QS. Hud
: 61) sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan lingkungan. (QS.
Al-Rahman : 6-9).
Agar
peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi
kualitatifnya yang tinggi, maka manusia niscaya dengan ikhlas melibatkan
dimensi kesediaan diri untuk menegakkan ibadah (‘abd Allah). Di antara sekian banyak cakupan ibadah, ya itu tadi,
memperlakukan lingkungan dengan bertanggungjawab, sebab sekali lagi dalam optik
Ilahi, alam mempunyai hak yang sama dengan manusia (QS. Al-Hijr : 86).
Sekali
hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak
terkendali, demi memanjakan hasrat primitif yang bersifat dangkal maka sudah
menjadi Sunnatullah pada ambang batas
yang sudah tidak bisa ditolelir lagi alam pun akan melakukan ‘perlawanan’.
Perlawanan
yang terartikulasikan dalam wujud ‘kemarahan’ yang bisa mengambil rupa tanah
longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu dan
krisis ekologis mengerikan lainnya yang dampak destruktifnya akan kembali
menimpa jagat manusia bukan hanya sekarang tapi juga terwariskan kepada anak
cucu kita generasi mendatang yang tidak berdosa, dan tidak tahu apa-apa.
Keterpaduan
antara fungsi khalifah Allah (aktif
memakmurkan bumi) dan ‘abd Allah
(pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seseorang
memiliki kesadaran mencintai alam dan binatang. Kesadaran yang semata sebagai
panggilan luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan kokoh:
kearifan genuine Ilahiah.
Spiritualitas lingkungan.
Dalam
tilikan filsuf mutakhir Sayyad Hossen Nasr, “Bagaimana Tuhan memelihara dan
mengasuh dunia, manusia sebagai wakil-Nya juga harus mengasuh dan memelihara
atmosfer di mana ia memainkan peran penting.
Ia
tidak pernah menelantarkan tugas-tugas dunia alam tanpa pada saat yang sama
mengkhianati amanah yang telah diterimanya ketika ia bersaksi akan ketuhanan
Allah dalam kesepakatannya pra keabadiaan (al-mitsaq)
seperti ditunjukkan Al-Qur’an dalam ayat yang terkenal.
“Bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka
(manusia) menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami bersaksi”. (QS. Al-A’raf : 172).
(Asep Salahudin, MA).
**%**

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.