Translate

Sunday, July 23, 2017

Etika Kehambaan Kita di Depan Allah.


Muhasabah.
"Permintaanmu dari Allah menunjukkan bahwa Anda masih menyangsikan Allah. Pencarianmu pada Allah, menunjukkan bahwa anda telah kehilangan Allah dari diri Anda. Sedangkan permintaanmu kepada selain Allah menunjukkan betapa anda tidak punya rasa malu di hadapan Allah. Dan permintaanmu melalui selain Allah. menunjukkan betapa jauhnya dirimu dari Allah."

"Permintaanmu dari Allah menunjukkan bahwa Anda masih menyangsikan Allah."

Yaitu permohonan seorang hamba kepada Allah terhadap kebutuhan yang selama ini ia inginkan, baik kebutuhan konsumtif maupun kebutuhan primer lainnya dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan bahwa seorang hamba masih menyangsikan rahmat, fadla'il dan janji-janjinya Allah. Padalah dalam al-Qur'an ditegaskan, "Bukanlah Allah telah mencukupi hambaNya?".

Karena itu jika Anda berpijak pada ilmunya Allah yang ada pada perilaku jiwa Anda (haal), Anda tidak membutuhkan permintaan seperti itu. Jika Anda berpijak pada rahmat-Nya, Anda sudah merasa cukup dari sekadar permintaan itu. Bahkan kalau Anda berpijak pada janji-janji Allah, Anda tidak berharap-harap atau bahkan ragu-ragu pada bagian-bagian yang sudah dibagi untuk diri Anda melalui janji-janjiNya, sebelum Anda lahir di dunia. Karena itu para sufi menegaskan, "Janganlah Anda begitu hasrat untuk mencari rizki, sementara Anda merasa sangsi terhadap Pemberi Rizki."

Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman: "Siapa yang sibuk dengan mengingat-Ku namun jauh dari permintaan kepada-Ku, ia akan Kuberi sesuatu yang lebih utama, dibanding permintaaan orang-orang yang meminta kepada-Ku."

Pada wacana ini sangat tegas, agar kita tetap mengalir pada aliran takdir Allah Ta'ala. Karena kepasrahan ini lebih baik - menurut orang-orang yang arif kepada Allah -  ketimbang orang-orang yang berhasrat memohon kepada-Nya. Syekh al-Arabi mengatakan, "Sufi yang benar tidak menyisakan sedikit pun keinginan meminta, kalaupun harus ada permintaan, maka yang ia pinta hanyalah ma'rifat kepada-Nya."

Kalau ia memohon dan berdoa setiap hari, bukan karena meminta bagian-bagian yang terwujud dalam permintaan, tetapi berdoa itu hanya sebagai ibadah belaka. Bukan menyiratkan permohonan apa yang diminta.

"Pencarianmu pada Allah, menunjukkan bahwa Anda telah kehilangan Allah dari diri Anda."

Orang yang mencari Allah, berarti Allah tidak hadir dalam kalbunya, Allah gaib dari jiwanya, sehingga yang ada dan hadir di hatinya adalah selain Allah. Padahal Allah itu tidak pernah hilang, juga tidak punya sifat gaib. Allah juga tidak jauh, ketika hati Anda jauh dan Allah. Allah itu Maha Dekat, bahkan sampai Anda tahu bahwa Allah lebih dekat dari segala yang ada, termasuk lebih dekat dibanding jiwa Anda sendiri.

Dalam al-Qur'an disebutkan, "Dan jika bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku itu Maha Dekat."

Di lingkungan kita, banyak orang yang merasa belum menemukan Allah, termasuk belum menemukan Allah dalam kehadiran hatinya. Lalu kita mencari Allah, sedangkan yang kita cari itu lebih dekat dibanding angan-angan kita tentang "dekat" itu sendiri. Di sinilah pentingnya dzikrullah, agar kehadiran Allah bisa istiqamah dalam hati kita, sehingga kita tidak pernah merasa kehilangan Allah. Inilah yang kemudian disebutkan oleh Ibnu Atha' illah dengan kalimat berikutnya:

"Sedangkan permintaanmu kepada selain Allah menunjukkan betapa Anda tidak punya rasa malu di hadapan Allah."

Padahal sudah jelas, bahwa rasa malu itu sebagian dari iman. Kalau orang sudah tidak punya rasa malu di hadapan Allah, maka ia tidak akan punya malu di hadapan makhluk Allah lainnya.

Manusia cenderung mengandalkan pertolongan kepada selain Allah, padahal Allah senantiasa memanggilnya agar si hamba dekat dan memohon kepada-Nya. Bayangkan kalau Anda menghadap seorang raja, dan sang raja menatap penuh perhatian kepada Anda, tetapi tiba-tiba Anda berpaling dari raja itu, lalu mencari yang lain di sana, apakah berarti Anda masih punya rasa malu dengan raja itu?

Selain itu Anda juga tidak memiliki rasa mesra dalam keindahan Allah di sana, sebab kalau kemesraan itu ada pada diri Anda, pasti Anda takut untuk berpaling kepada selain Allah. Syekh Ibnu Ajibah al-Hasani menyindir, bahwa rasa asyik dengan sesama manusia atau makhluk Allah, itu merupakan tanda-tanda kebangkrutan. Menghadap Allah itu berarti membelakangi makhluk Allah. Menghadap makhluk Allah berarti membelakangi Allah. Padahal dalam prinsip Tarekat Sufi ada satu kaidah, yaitu berpaling pada selain Allah, baik dalam keadaan menghadap atau membelakangi.

"Dan permintaanmu melalui selain Allah, menunjukkan betapa jauhnya dirimu dari Allah."

Orang seringkali mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi ketika ia kekurangan, ia meminta melalui orang atau makhluk Allah. Di sinilah sesungguhnya ukuran jauh dekatnya seorang hamba dengan Allah. (M. Luqman Hakim).


                                                                         ***+***


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.