Muhasabah.
Nama
lengkapnya adalah Abu Mughis al-Husein bin Manshur al-Hallaj. Ia dilahirkan
tahun 858 M (244H) di kota Thur kawasan Baidhah di daerah Fars (Iran Tenggara),
tidak jauh dari pantai teluk Persia dan dibesarkan di kota Wasit (Irak) dan
Tustar. Nisbah al-Hallaj diberikan karena ia sebagaimana ayahnya, berprofesi
sebagai pemintal atau penyortir kapas.
Pendidikan
awalnya diperoleh di Wasit. Ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, al-Qur’an
dan tafsir, serta teologi pada usianya yang masih sangat muda. Pada usia 12
tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Pada usia 16 tahun, ia telah merampungkan
studinya. Saat itu ia merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang
telah dipelajarinya. Atas cerita pamannya tentang Sahl al-Tustari, seorang sufi
yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi, ia pindah ke Tustar untuk mengabdi
kepada Sahl. Dibawah bimbingan Sahl inilah, al-Hallaj mengamalkan secara ketat
tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras.
Dua
tahun kemudian, al-Hallaj pindah ke Bashrah. Ketika itu, al-Hallaj sudah berada
dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berguru kepada Amr
al-Makki, murid Imam Junaid al-Baghdadi (seorang sufi yang paling berpengaruh
saat itu), yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Ia berpisah dengan
Amr setelah ia mengawini anak gadis ahli mistik yang lain. Kemudian ia pindah
ke Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid.
Pada
tahun 892 M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dengan
menjalankan praktik kezuhudan yang keras dengan berpuasa. Tujuannya ialah untuk
mensucikan hatinya, menundukkannya kepada Ilahi sedemikian rupa sehingga
benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah.
Dari
Mekkah, al-Hallaj kembali ke Baghdad dengan membawa pikiran-pikiran baru
tentang berbagai topik, misalnya inspirasi Ilahi. Ia mendiskusikan
pikiran-pikiran barunya tersebut dengan para sufi di Baghdad. Diantaranya
dengan Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid. Sangat boleh jadi Amr segera
menentang al-Hallaj. Junaid bahkan juga meramalkan akhir yang menyedihkan bagi
bekas pengikutnya itu. Pada saat itu, permusuhan dari para ahli mistik lain di
lingkungan madzhab Baghdad semakin meningkat, terutama Amr al-Makki dan
kelompoknya, karena pikiran-pikiran al-Hallaj dianggap telah menyimpang dari
koridor aqidah Islam.
Ketika
al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia mulai mengajar dan menarik sejumlah murid.
Namun karena ayah mertuanya juga menentang faham tasawuf yang diajarkannya dan
tidak mau mengakuinya, bahkan malah menganggapnya seorang “tukang sihir licin
dan kafir”, ia kembali ke Tustar bersama istri dan adik iparnya yang masih
setia kepadanya. Di Tustar, ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang.
Namun, karena penentangan dari musuh-musuhnya semakin hari semakin keras,
lagi-lagi al-Hallaj harus menghentikan pengajarannya tersebut. Puncaknya, ia
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Ia
meninggalkan jubah sufinya dan terjun ke dalam kancah ingar bingar dan hiruk pikuk
duniawi untuk beberapa lama.
Pada
tahun 899 M, ia mengadakan pengembaraan apostolik (berhubungan dengan atau
berdasarkan ajaran para rasul) ke perbatasan laut timur negeri itu, kemudian
menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam
pengembaraannya ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam
tradisi, diantaranya Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Dari guru-guru
spiritual ini, al-Hallaj mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang
mereka gunakan, yang kemudian digunakan dalam karya-karyanya belakangan.
Ketika
kembali ke Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah
tentang berbagai rahasia alam semesta. Juga terkadang ia menyingkap apa yang
terbersit di hati para jamaahnya. Akibatnya ia mendapat julukan baru “Hallaj
al-Asrar” yang berarti “sang pemintal rahasia-rahasia hati”.
Ia
menarik sejumlah besar pengikut. Namun karena ajarannya yang tak lazim
didengar, sejumlah ulama tertentu khawatir dan menuduhnya sebagai ‘dukun’.
Setahun
kemudian, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya diikuti oleh 400
pengikutnya. Banyak legenda dituturkan berkenaan dengan diri al-Hallaj dalam
perjalanan ini. Setelah menunaikan ibadah haji keduanya, ia memutuskan untuk
meninggalkan Tustar dan bermukim di Baghdad, kota tempat tinggal sejumlah sufi
terkenal. Ia bersahabat dengan dua di antara mereka, Nuri dan Syilbi. Di
Baghdad, lagi-lagi ia dimusuhi Muhammad ibn Daud, putra pendiri madzab fiqih
Zahiri, dan mengajak ahli-ahli lainnya menyerang orang yang menyatakan telah
mencapai penyatuan sebenarnya dengan kekasih Ilahinya.
Pada
tahun 905 M, ia memutuskan melakukan misi suci menyiarkan Islam kepada
orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India. Dari Gujarat ia menuju Sind,
lembah hilir Indus, yang telah menjadi bagian kekaisaran Muslim sejak 771 M.
Dari Sind, al-Hallaj mengembara ke perbatasan utara India, kemudian Khurasan,
ke Turkestan dan akhirnya ke Turfan. Misi sucinya ini berlangsung selama enam
tahun. Namanya semakin terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya, jumlah
pengikutnya semakin banyak. Setelah itu iapun kembali ke Baghdad.
Titik
puncak pengalaman spiritualnya berupa kesadaran tentang kebenaran diraih
setelah ia menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya pada tahun 913 M. Ia
merasa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap. Dirinya bertatap muka
langsung dengan Allah (Al-Haqq). Pada
saat itulah ia mengucapkan “Ana al-Haqq”
(Akulah Allah) dalam keadaan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri, seperti
keadaan orang yang sedang khusyuk bersemadi). Ucapan inilah dan sederet tuduhan
lainnya, yang dijadikan senjata pamungkas oleh musuh-musuhnya untuk menyeret
al-Hallaj ke tiang gantungan pada tahun 922 M setelah sebelumnya meringkuk
dalam penjara selama sembilan tahun. Ucapan inilah yang dianggap telah merusak
kemurnian tauhid.
Ana al-Haqq.
Kata-kata
‘Ana al-Haqq’ yang diucapkan
al-Hallaj ternyata telah menyulut konflik terbuka yang tak terhindarkan antara
golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf, yang bisa dilukiskan seperti antara
ahli tasawuf dengan ahli syari’at. Konflik ini semakin menajam hingga akhirnya
memuncak dengan peristiwa tragis, yaitu dengan hukuman mati bagi al-Hallaj di
tiang gantungan. Asal-usul cerita tersebut bila dilacak labih jauh dengan
menelusuri ajaran al-Hallaj sendiri, ternyata merupakan hasil – dan mendapat
pembenaran – dari ajaran filosofinya yang sangat dikenal dalam diskursus ilmu
tasawuf dengan teori ‘hulul’ yang
secara harfiah berarti ‘mengambil tempat’.
Menurut
al-Hallaj, sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri.
Dalam kesendirian-Nya, terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri.
Dialog tanpa kata-kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan
ketinggian dzat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan Dia pun cinta pada
zat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan. Cinta inilah yang
menjadikan sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Kemudian dari cinta yang
kekal ini Tuhan menciptakan Adam dan bayanganNya. Pada diri Adam-lah Tuhan
muncul dalam bentuk-Nya. Pada diri Adam Tuhan menampakkan diri-Nya seolah-olah
dalam cermin yang memantulkan bayangan-Nya.
Dengan
demikian, menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua natur atau sifat dasar, yakni
ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia,
sebaliknya mempunyai sifat nasut dan lahut. Dengan teorinya ini al-Hallaj
mengatakan bahwa persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi karena keberadaan
manusia dan Tuhan bisa terjadi karena keberadaan sifat nasut (kemanusiaan) di
dalam diri Tuhan yang memungkinkan manusia pada satu titik tertentu bisa
mengalami dan merasakan dirinya pada keberadaan Tuhan. Syair al-Hallaj berikut
ini menyiratkan pandangannya tersebut;
Aku
adalah Dia yang kucintai dan
Dia
yang kucintai adalah aku
Kami
adalah dua jiwa yang
bertempat
dalam satu tubuh.
Jika
engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan
jika engkau lihat Dia,
engkau
lihat aku.
Karena
itulah, ketika menafsirkan ayat yang memerintahkan kepada malaikat untuk
bersujud kepada Adam, al-Hallaj mengatakan bahwa perintah bersujud kepada Adam
tersebut karena pada diri Adam tersebut Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma
dalam diri Isa. Teori hulul-nya ini
juga dapat kita tangkap dari ekspresi syair yang diungkapkan berikut ini;
Maha
suci zat yang sifat
kemanusiaan-Nya,
membukakan
rahasia cahaya
ketuhanan-Nya
yang gemilang.
Kemudian
kelihatan baginya
makhluk-Nya,
dengan
nyata dalam bentuk
manusia
yang makan dan minum.
Al-Hallaj
melukiskan sifat persatuan antara ruh manusia dengan Tuhan bagaikan persatuan
antara unsur anggur dan air. Bila salah satu dari kedua unsur yang bersatu ini
tersentuh, maka tersentuh pulalah yang lainnya. Hal ini terekpresi dalam syair
berikut;
Jiwa-Mu
disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana
anggur disatukan
dengan
air murni.
Jika
sesuatu menyentuh Engkau,
ia
menyentuhku pula,
dan
ketika itu dalam tiap hal
Engkau
adalah aku.
Syair-syair
yang dikutip di atas menunjukkan bahwa al-Hallaj telah mencapai taraf bersatu
dengan Tuhan. Antara dirinya dengan Tuhan tidak lagi dapat dipisahkan. Menurut
al-Hallaj, seorang sufi yang telah sampai pada puncak persatuan yang demikian,
akan dapat merasakan dan menghayati Keesaan Tuhan. Pada saat itu, kehendak yang
berlaku bukan lagi kehendak manusia tetapi sepenuhnya kehendak Tuhan.
Pencapaian puncak persatuan dengan Tuhan dalam satu diri inilah yang disebut
dengan hulul.
Menurut
al-Hallaj, persatuan dengan Tuhan tidaklah dengan mudah dapat dicapai. Bersatu
dengan Tuhan itu harus dilalui dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, yaitu
perjuangan yang intens dalam mensucikan batin. Atau dengan ungkapan lain,
manusia terlebih dulu harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan
melalui fana’. Bila sifat-sifat
kemanusiaan ini telah hilang dalam diri manusia dan yang tinggal hanya
sifat-sifat ketuhanan, barulah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya.
Selanjutnya,
menurut al-Hallaj, kesadaran tentang persatuan antara ruh manusia dengan Tuhan
timbul akibat dari cinta yang mendalam kepada Tuhan. Sebagai pecinta Tuhan,
al-Hallaj mengibaratkan cintanya kepada Tuhan telah menyatu dengan hembusan
nafas dan getaran hatinya. Ia menunjukkan akibat cinta sempurna dan makna
penyerahan pada penyatuan kekasih Ilahi tidak dengan maksud mendapatkan pujian
kesucian pribadi semacam apapun, tetapi agar bisa mengungkapkan rahasia ini,
hidup di dalamnya dan mati untuk-Nya. Al-Hallaj mengatakan, “Cukuplah bagi
pencita untuk menjadikan Yang Esa, Tunggal”.
Pembelaan Terhadap al-Hallaj.
Keadaan
hulul yang dicapai al-Hallaj telah
melahirkan pernyataan “Ana al-Haqq”.
Menurut para ahli sufi, ungkapan yang dilontarkan al-Hallaj tersebut adalah
ekspresi dari seorang sufi yang telah mencapai tingkatan dimana ia merasa telah
bersatu dengan Tuhan, yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu sehingga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai aku”.
Namun dikalangan para penentangnya, terutama para teolog dan ahli fiqih,
perkataan ini seolah-olah mencerminkan pengakuan bahwa al-Hallaj adalah Tuhan
atau setidak-tidaknya penjelmaan Tuhan sebagaimana yang mereka tuduhkan.
Sebenarnya
tuduhan itu telah terbantah dengan teori hulul-nya
tersebut. Meskipun demikian al-Hallaj sendiri nampaknya ingin lebih mempertegas
bantahannya dengan mengatakan bahwa ketika ia mengucapkan kata itu bukanlah ruh
dirinya, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat pada dirinya, sebagaimana
peristiwa dialog antara Musa dan Tuhan yang mengambil medium semak yang
terbakar (QS. 20 : 8-14).
Lebih
tegas lagi bantahan itu terlihat sebagaimana ditulis dalam syairnya berikut
ini:
Aku
adalah rahasia Yang Maha Benar,
dan
bukanlah Yang Maha Benar itu Aku
Aku
hanya satu dari yang benar, maka
bedakanlah
antara kami.
Dengan
demikian maka al-Hallaj tetap mempertahankan keunggulan mutlak Tuhan atas
segala yang diciptakan, itulah qidamnya,
pra keabadian yang selamanya memisahkan-Nya dari yang baru, yang diciptakan
dalam waktu. Dengan detail indah dan tajam, ia memberikan penegasan dan
keyakinannya bahwa Allah itu Esa dalam ungkapannya berikut;
Sebelum
tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan
Dia dalam hal keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia, ketidak menyatu
dengan Dia, Dia tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak
berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia, di bawah tidak menyangga Dia,
sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, di balik tidak
mengikat Dia, di depan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, di
belakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak
memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian tidak
menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului
yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas.
Diantara
para ahli sufi sendiri terdapat beragam penilaian terhadap ajaran dan
pernyataan al-Hallaj tersebut. Imam Junaid misalnya, ketika memberikan
keterangan atas permintaan Khalifah Muqtadir Billah setelah enam kali surat
Khalifah kembali tanpa tanda tangan, menyatakan bahwa ajaran al-Hallaj secara
syari’at mengganggu ketenteraman dan aqidah namun hakikat kebenarannya hanya
Allah yang tahu. Nampak Junaid sangat berhati-hati dalam memberikan penilaian
dengan menyerahkan hakikat kebenaran ajaran kepada Allah.
Al-Ghazali
yang datang satu tahun kemudian memberikan respon yang lebih maju dan positif
terhadap pernyataan tersebut. Ia menyatakan bahwa pernyataan “Ana al-Haqq”, “Subhani Subhani” adalah
pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut seorang yang ‘alim billah’. Namun ia sangat menyayangkan dan tidak menyetujui
jika pernyataan tersebut diumbar ke khalayak awam. Sikap al-Ghazali dalam hal
ini sangat jelas. Ia menyatakan bahwa tidak setiap rahasia boleh diungkapkan
dan disiarkan. Tidak setiap hakikat boleh dikemukakan dan diterangkan. Bahkan
hati orang-orang yang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia. Ia juga mengutip
ungkapan seorang arif yang menyatakan bahwa mengungkap rahasia Ilahi adalah
kekufuran. Akhirnya ia mengutip sebuah Hadits Rasulullah saw.: “Di antara berbagai ilmu ada yang
tersembunyi rapat, tidak seorangpun mengetahuinya kecuali para ‘alim billah’.
Apabila mereka menuturkannya tidak seorangpun yang akan menyanggahnya kecuali
orang yang terkelabui”.
Rumi
yang datang tiga abad setelah al-Hallaj memberikan simpati dan pembelaannya
terhadap pernyataan Ana al-Haqq
tersebut. Kata Rumi: “Orang menganggap itu pernyataan sombong, padahal ialah adalah
sebenar-benarnya sombong, dan yang menyatakan Ana al-‘Abd (aku seorang hamba). Dan Ana al-Haqq adalah ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam.
Orang yang menyatakan Ana al-Abd’
menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan dia
yang menyatakan Ana al-Haqq membuat
dirinya bukan wujud dan menyerahkan dirinya seraya berseru, “Aku adalah Tuhan”,
yakni Aku tiada, Dia-lah segalanya, tiada wujud kecuali Tuhan. Inilah
kerendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan.
Menurut
para ahli sufi yang lebih mutakhir, setelah merenungkan dalam-dalam dan membandingkan
dengan pernyataan Fir’aun, pernyataan Ana
al-Haqq nya al-Hallaj berbeda sepenuhnya dengan pernyataan Fir’aun
sebagaimana terdapat dalam surat an-Nazi’at
ayat 24: “Akulah Tuhanmu Yang Paling
Tinggi”. Perbedaan dua “Aku” yang keluar dari lisan yang berbeda ini,
disimpulkan oleh para ahli sufi tersebut bahwa Fir’aun hanya melihat dirinya
sendiri dan kehilangan Aku. Adapun al-Hallaj hanya melihat Aku sehingga
kehilangan dirinya sendiri, sehingga “Aku” penguasa Mesir merupakan kekafiran,
sedangkan “Aku” al-Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan.
Sampai
disini bisa disimpulkan bahwa para pembela al-Hallaj menggunakan tiga lajur
pertahanan dalam membelanya. Pertama,
al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi ia dihukum karena
tindakan yang dipandang bertentangan dengan hukum. Ia telah membuka rahasia
Tuhan dengan mengumumkan segala yang dianggap misteri yang tertinggi, yang
seyogyanya hanya boleh diketahui oleh orang-orang yang terpilih saja.
Kedua,
al-Hallaj berbicara dibawah pengaruh ketidaksadaran dari ekstase. Ia
membayangkan dirinya telah bersatu dengan inti Ilahi. Padahal dalam
kenyataannya ia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi.
Ketiga,
al-Hallaj mengumumkan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya, sebagaimana dengan kesatuan Ilahi yang melingkupi makhluk-Nya.
Menurutnya, manusia sepenuhnya telah melampaui peristiwa diri melalui dirinya
yang nyata, adalah Tuhan.
Di
dalam kemuliaan
tiada
Aku,
atau
Engkau
atau
Kita
Aku,
Kita, Engkau dan Dia
seluruhnya
menytu
Satu
hal lagi yang luput dari pembelaan tersebut adalah pernyataan Ana al-Haqq
secara harfiah tidak jauh berbeda dengan ucapan Rasulullah saw. yang sering
dikutip oleh para sufi: “Saya Ahmad tanpa
mim, Saya ‘Arabi tanpa ‘ayn, maka barang siapa melihat diriku sesungguhnya ia
telah melihat al-Haqq (Tuhan)”.
Terlepas
dari shahih tidaknya Hadits ini, tapi para sufi sendiri meyakininya dan
seringkali lebih percaya pada intuisi (kasf)-nya.
Yang jelas bahwa ungkapan semacam ini tidak akan keluar kecuali yang
bersangkutan memiliki kapasitas seorang sufi yang teramat tinggi.
Akhirnya,
ungkapan pengalaman dzauq (yaitu
semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin) yang mistis dari seorang sufi
harus dipahami dengan cara sedemikian rupa, agar tehindar dari kesimpulan yang
dangkal seperti yang dituduhkan terhadap al-Hallaj. Atau kalau tidak,
pernyataan seorang sufi besar yang tidak kita pahami itu kita diamkan dulu,
karena boleh jadi maqam spiritual
kita sama sekali belum memungkinkan untuk bisa memahaminya. Jangan sampai kita
termasuk ke dalam kelompok seperti yang dikatakan Imam Sya’rani ra. yang
mengomentari musuh-musuh Ibn Arabi. Katanya: “Hukum mereka itu hanyalah hukum
seekor nyamuk yang hendak meniup sebuah bukit dengan tujuan melenyapkannya dari
tempatnya. Sementara angin berhasil melenyapkan ribuan nyamuk, tetapi
bukit-bukit itu tetap berdiri dengan kokoh. Bukit-bukit itulah yang menjaga
keseimbangan bumi”. (Salahuddin).
** & **

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.