Translate

Saturday, January 21, 2017

SANG PEMINTAL RAHASIA HATI.


Muhasabah.
Nama lengkapnya adalah Abu Mughis al-Husein bin Manshur al-Hallaj. Ia dilahirkan tahun 858 M (244H) di kota Thur kawasan Baidhah di daerah Fars (Iran Tenggara), tidak jauh dari pantai teluk Persia dan dibesarkan di kota Wasit (Irak) dan Tustar. Nisbah al-Hallaj diberikan karena ia sebagaimana ayahnya, berprofesi sebagai pemintal atau penyortir kapas.

Pendidikan awalnya diperoleh di Wasit. Ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, al-Qur’an dan tafsir, serta teologi pada usianya yang masih sangat muda. Pada usia 12 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Pada usia 16 tahun, ia telah merampungkan studinya. Saat itu ia merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Atas cerita pamannya tentang Sahl al-Tustari, seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi, ia pindah ke Tustar untuk mengabdi kepada Sahl. Dibawah bimbingan Sahl inilah, al-Hallaj mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj pindah ke Bashrah. Ketika itu, al-Hallaj sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berguru kepada Amr al-Makki, murid Imam Junaid al-Baghdadi (seorang sufi yang paling berpengaruh saat itu), yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Ia berpisah dengan Amr setelah ia mengawini anak gadis ahli mistik yang lain. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid.

Pada tahun 892 M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dengan menjalankan praktik kezuhudan yang keras dengan berpuasa. Tujuannya ialah untuk mensucikan hatinya, menundukkannya kepada Ilahi sedemikian rupa sehingga benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah.

Dari Mekkah, al-Hallaj kembali ke Baghdad dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik, misalnya inspirasi Ilahi. Ia mendiskusikan pikiran-pikiran barunya tersebut dengan para sufi di Baghdad. Diantaranya dengan Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid. Sangat boleh jadi Amr segera menentang al-Hallaj. Junaid bahkan juga meramalkan akhir yang menyedihkan bagi bekas pengikutnya itu. Pada saat itu, permusuhan dari para ahli mistik lain di lingkungan madzhab Baghdad semakin meningkat, terutama Amr al-Makki dan kelompoknya, karena pikiran-pikiran al-Hallaj dianggap telah menyimpang dari koridor aqidah Islam.

Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia mulai mengajar dan menarik sejumlah murid. Namun karena ayah mertuanya juga menentang faham tasawuf yang diajarkannya dan tidak mau mengakuinya, bahkan malah menganggapnya seorang “tukang sihir licin dan kafir”, ia kembali ke Tustar bersama istri dan adik iparnya yang masih setia kepadanya. Di Tustar, ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Namun, karena penentangan dari musuh-musuhnya semakin hari semakin keras, lagi-lagi al-Hallaj harus menghentikan pengajarannya tersebut. Puncaknya, ia memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Ia meninggalkan jubah sufinya dan terjun ke dalam kancah ingar bingar dan hiruk pikuk duniawi untuk beberapa lama.

Pada tahun 899 M, ia mengadakan pengembaraan apostolik (berhubungan dengan atau berdasarkan ajaran para rasul) ke perbatasan laut timur negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam pengembaraannya ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi, diantaranya Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Dari guru-guru spiritual ini, al-Hallaj mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakan dalam karya-karyanya belakangan.

Ketika kembali ke Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta. Juga terkadang ia menyingkap apa yang terbersit di hati para jamaahnya. Akibatnya ia mendapat julukan baru “Hallaj al-Asrar” yang berarti “sang pemintal rahasia-rahasia hati”.

Ia menarik sejumlah besar pengikut. Namun karena ajarannya yang tak lazim didengar, sejumlah ulama tertentu khawatir dan menuduhnya sebagai ‘dukun’.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya diikuti oleh 400 pengikutnya. Banyak legenda dituturkan berkenaan dengan diri al-Hallaj dalam perjalanan ini. Setelah menunaikan ibadah haji keduanya, ia memutuskan untuk meninggalkan Tustar dan bermukim di Baghdad, kota tempat tinggal sejumlah sufi terkenal. Ia bersahabat dengan dua di antara mereka, Nuri dan Syilbi. Di Baghdad, lagi-lagi ia dimusuhi Muhammad ibn Daud, putra pendiri madzab fiqih Zahiri, dan mengajak ahli-ahli lainnya menyerang orang yang menyatakan telah mencapai penyatuan sebenarnya dengan kekasih Ilahinya.

Pada tahun 905 M, ia memutuskan melakukan misi suci menyiarkan Islam kepada orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India. Dari Gujarat ia menuju Sind, lembah hilir Indus, yang telah menjadi bagian kekaisaran Muslim sejak 771 M. Dari Sind, al-Hallaj mengembara ke perbatasan utara India, kemudian Khurasan, ke Turkestan dan akhirnya ke Turfan. Misi sucinya ini berlangsung selama enam tahun. Namanya semakin terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya, jumlah pengikutnya semakin banyak. Setelah itu iapun kembali ke Baghdad.

Titik puncak pengalaman spiritualnya berupa kesadaran tentang kebenaran diraih setelah ia menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya pada tahun 913 M. Ia merasa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap. Dirinya bertatap muka langsung dengan Allah (Al-Haqq). Pada saat itulah ia mengucapkan “Ana al-Haqq” (Akulah Allah) dalam keadaan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri, seperti keadaan orang yang sedang khusyuk bersemadi). Ucapan inilah dan sederet tuduhan lainnya, yang dijadikan senjata pamungkas oleh musuh-musuhnya untuk menyeret al-Hallaj ke tiang gantungan pada tahun 922 M setelah sebelumnya meringkuk dalam penjara selama sembilan tahun. Ucapan inilah yang dianggap telah merusak kemurnian tauhid.

Ana al-Haqq.
Kata-kata ‘Ana al-Haqq’ yang diucapkan al-Hallaj ternyata telah menyulut konflik terbuka yang tak terhindarkan antara golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf, yang bisa dilukiskan seperti antara ahli tasawuf dengan ahli syari’at. Konflik ini semakin menajam hingga akhirnya memuncak dengan peristiwa tragis, yaitu dengan hukuman mati bagi al-Hallaj di tiang gantungan. Asal-usul cerita tersebut bila dilacak labih jauh dengan menelusuri ajaran al-Hallaj sendiri, ternyata merupakan hasil – dan mendapat pembenaran – dari ajaran filosofinya yang sangat dikenal dalam diskursus ilmu tasawuf dengan teori ‘hulul’ yang secara harfiah berarti ‘mengambil tempat’

Menurut al-Hallaj, sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya, terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri. Dialog tanpa kata-kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian dzat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan Dia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan. Cinta inilah yang menjadikan sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Kemudian dari cinta yang kekal ini Tuhan menciptakan Adam dan bayanganNya. Pada diri Adam-lah Tuhan muncul dalam bentuk-Nya. Pada diri Adam Tuhan menampakkan diri-Nya seolah-olah dalam cermin yang memantulkan bayangan-Nya.

Dengan demikian, menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua natur atau sifat dasar, yakni ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, sebaliknya mempunyai sifat nasut dan lahut. Dengan teorinya ini al-Hallaj mengatakan bahwa persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi karena keberadaan manusia dan Tuhan bisa terjadi karena keberadaan sifat nasut (kemanusiaan) di dalam diri Tuhan yang memungkinkan manusia pada satu titik tertentu bisa mengalami dan merasakan dirinya pada keberadaan Tuhan. Syair al-Hallaj berikut ini menyiratkan pandangannya tersebut;
Aku adalah Dia yang kucintai dan
Dia yang kucintai adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang
bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia,
engkau lihat aku.

Karena itulah, ketika menafsirkan ayat yang memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam, al-Hallaj mengatakan bahwa perintah bersujud kepada Adam tersebut karena pada diri Adam tersebut Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa. Teori hulul-nya ini juga dapat kita tangkap dari ekspresi syair yang diungkapkan berikut ini;
Maha suci zat yang sifat
kemanusiaan-Nya,
membukakan rahasia cahaya
ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan baginya
makhluk-Nya,
dengan nyata dalam bentuk
manusia yang makan dan minum.

Al-Hallaj melukiskan sifat persatuan antara ruh manusia dengan Tuhan bagaikan persatuan antara unsur anggur dan air. Bila salah satu dari kedua unsur yang bersatu ini tersentuh, maka tersentuh pulalah yang lainnya. Hal ini terekpresi dalam syair berikut;
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur disatukan
dengan air murni.
Jika sesuatu menyentuh Engkau,
ia menyentuhku pula,
dan ketika itu dalam tiap hal
Engkau adalah aku.

Syair-syair yang dikutip di atas menunjukkan bahwa al-Hallaj telah mencapai taraf bersatu dengan Tuhan. Antara dirinya dengan Tuhan tidak lagi dapat dipisahkan. Menurut al-Hallaj, seorang sufi yang telah sampai pada puncak persatuan yang demikian, akan dapat merasakan dan menghayati Keesaan Tuhan. Pada saat itu, kehendak yang berlaku bukan lagi kehendak manusia tetapi sepenuhnya kehendak Tuhan. Pencapaian puncak persatuan dengan Tuhan dalam satu diri inilah yang disebut dengan hulul.

Menurut al-Hallaj, persatuan dengan Tuhan tidaklah dengan mudah dapat dicapai. Bersatu dengan Tuhan itu harus dilalui dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, yaitu perjuangan yang intens dalam mensucikan batin. Atau dengan ungkapan lain, manusia terlebih dulu harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan melalui fana’. Bila sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dalam diri manusia dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan, barulah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya.

Selanjutnya, menurut al-Hallaj, kesadaran tentang persatuan antara ruh manusia dengan Tuhan timbul akibat dari cinta yang mendalam kepada Tuhan. Sebagai pecinta Tuhan, al-Hallaj mengibaratkan cintanya kepada Tuhan telah menyatu dengan hembusan nafas dan getaran hatinya. Ia menunjukkan akibat cinta sempurna dan makna penyerahan pada penyatuan kekasih Ilahi tidak dengan maksud mendapatkan pujian kesucian pribadi semacam apapun, tetapi agar bisa mengungkapkan rahasia ini, hidup di dalamnya dan mati untuk-Nya. Al-Hallaj mengatakan, “Cukuplah bagi pencita untuk menjadikan Yang Esa, Tunggal”.

Pembelaan Terhadap al-Hallaj.
Keadaan hulul yang dicapai al-Hallaj telah melahirkan pernyataan “Ana al-Haqq”. Menurut para ahli sufi, ungkapan yang dilontarkan al-Hallaj tersebut adalah ekspresi dari seorang sufi yang telah mencapai tingkatan dimana ia merasa telah bersatu dengan Tuhan, yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai aku”. Namun dikalangan para penentangnya, terutama para teolog dan ahli fiqih, perkataan ini seolah-olah mencerminkan pengakuan bahwa al-Hallaj adalah Tuhan atau setidak-tidaknya penjelmaan Tuhan sebagaimana yang mereka tuduhkan.

Sebenarnya tuduhan itu telah terbantah dengan teori hulul-nya tersebut. Meskipun demikian al-Hallaj sendiri nampaknya ingin lebih mempertegas bantahannya dengan mengatakan bahwa ketika ia mengucapkan kata itu bukanlah ruh dirinya, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat pada dirinya, sebagaimana peristiwa dialog antara Musa dan Tuhan yang mengambil medium semak yang terbakar (QS. 20 : 8-14).

Lebih tegas lagi bantahan itu terlihat sebagaimana ditulis dalam syairnya berikut ini:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu Aku
Aku hanya satu dari yang benar, maka
bedakanlah antara kami.

Dengan demikian maka al-Hallaj tetap mempertahankan keunggulan mutlak Tuhan atas segala yang diciptakan, itulah qidamnya, pra keabadian yang selamanya memisahkan-Nya dari yang baru, yang diciptakan dalam waktu. Dengan detail indah dan tajam, ia memberikan penegasan dan keyakinannya bahwa Allah itu Esa dalam ungkapannya berikut;
Sebelum tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia, ketidak menyatu dengan Dia, Dia tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia, di bawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, di balik tidak mengikat Dia, di depan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, di belakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas.

Diantara para ahli sufi sendiri terdapat beragam penilaian terhadap ajaran dan pernyataan al-Hallaj tersebut. Imam Junaid misalnya, ketika memberikan keterangan atas permintaan Khalifah Muqtadir Billah setelah enam kali surat Khalifah kembali tanpa tanda tangan, menyatakan bahwa ajaran al-Hallaj secara syari’at mengganggu ketenteraman dan aqidah namun hakikat kebenarannya hanya Allah yang tahu. Nampak Junaid sangat berhati-hati dalam memberikan penilaian dengan menyerahkan hakikat kebenaran ajaran kepada Allah.

Al-Ghazali yang datang satu tahun kemudian memberikan respon yang lebih maju dan positif terhadap pernyataan tersebut. Ia menyatakan bahwa pernyataan “Ana al-Haqq”, “Subhani Subhani” adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut seorang yang ‘alim billah’. Namun ia sangat menyayangkan dan tidak menyetujui jika pernyataan tersebut diumbar ke khalayak awam. Sikap al-Ghazali dalam hal ini sangat jelas. Ia menyatakan bahwa tidak setiap rahasia boleh diungkapkan dan disiarkan. Tidak setiap hakikat boleh dikemukakan dan diterangkan. Bahkan hati orang-orang yang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia. Ia juga mengutip ungkapan seorang arif yang menyatakan bahwa mengungkap rahasia Ilahi adalah kekufuran. Akhirnya ia mengutip sebuah Hadits Rasulullah saw.: “Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorangpun mengetahuinya kecuali para ‘alim billah’. Apabila mereka menuturkannya tidak seorangpun yang akan menyanggahnya kecuali orang yang terkelabui”.

Rumi yang datang tiga abad setelah al-Hallaj memberikan simpati dan pembelaannya terhadap pernyataan Ana al-Haqq tersebut. Kata Rumi: “Orang menganggap itu pernyataan sombong, padahal ialah adalah sebenar-benarnya sombong, dan yang menyatakan Ana al-‘Abd (aku seorang hamba). Dan Ana al-Haqq adalah ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam. Orang yang menyatakan Ana al-Abd’ menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan dia yang menyatakan Ana al-Haqq membuat dirinya bukan wujud dan menyerahkan dirinya seraya berseru, “Aku adalah Tuhan”, yakni Aku tiada, Dia-lah segalanya, tiada wujud kecuali Tuhan. Inilah kerendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan.

Menurut para ahli sufi yang lebih mutakhir, setelah merenungkan dalam-dalam dan membandingkan dengan pernyataan Fir’aun, pernyataan Ana al-Haqq nya al-Hallaj berbeda sepenuhnya dengan pernyataan Fir’aun sebagaimana terdapat dalam surat  an-Nazi’at ayat 24: “Akulah Tuhanmu Yang Paling Tinggi”. Perbedaan dua “Aku” yang keluar dari lisan yang berbeda ini, disimpulkan oleh para ahli sufi tersebut bahwa Fir’aun hanya melihat dirinya sendiri dan kehilangan Aku. Adapun al-Hallaj hanya melihat Aku sehingga kehilangan dirinya sendiri, sehingga “Aku” penguasa Mesir merupakan kekafiran, sedangkan “Aku” al-Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan.  

Sampai disini bisa disimpulkan bahwa para pembela al-Hallaj menggunakan tiga lajur pertahanan dalam membelanya. Pertama, al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi ia dihukum karena tindakan yang dipandang bertentangan dengan hukum. Ia telah membuka rahasia Tuhan dengan mengumumkan segala yang dianggap misteri yang tertinggi, yang seyogyanya hanya boleh diketahui oleh orang-orang yang terpilih saja.
Kedua, al-Hallaj berbicara dibawah pengaruh ketidaksadaran dari ekstase. Ia membayangkan dirinya telah bersatu dengan inti Ilahi. Padahal dalam kenyataannya ia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi.
Ketiga, al-Hallaj mengumumkan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, sebagaimana dengan kesatuan Ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Menurutnya, manusia sepenuhnya telah melampaui peristiwa diri melalui dirinya yang nyata, adalah Tuhan.
Di dalam kemuliaan
tiada Aku,
atau Engkau
atau Kita
Aku, Kita, Engkau dan Dia
seluruhnya menytu

Satu hal lagi yang luput dari pembelaan tersebut adalah pernyataan Ana al-Haqq secara harfiah tidak jauh berbeda dengan ucapan Rasulullah saw. yang sering dikutip oleh para sufi: “Saya Ahmad tanpa mim, Saya ‘Arabi tanpa ‘ayn, maka barang siapa melihat diriku sesungguhnya ia telah melihat al-Haqq (Tuhan)”.

Terlepas dari shahih tidaknya Hadits ini, tapi para sufi sendiri meyakininya dan seringkali lebih percaya pada intuisi (kasf)-nya. Yang jelas bahwa ungkapan semacam ini tidak akan keluar kecuali yang bersangkutan memiliki kapasitas seorang sufi yang teramat tinggi.

Akhirnya, ungkapan pengalaman dzauq (yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin) yang mistis dari seorang sufi harus dipahami dengan cara sedemikian rupa, agar tehindar dari kesimpulan yang dangkal seperti yang dituduhkan terhadap al-Hallaj. Atau kalau tidak, pernyataan seorang sufi besar yang tidak kita pahami itu kita diamkan dulu, karena boleh jadi maqam spiritual kita sama sekali belum memungkinkan untuk bisa memahaminya. Jangan sampai kita termasuk ke dalam kelompok seperti yang dikatakan Imam Sya’rani ra. yang mengomentari musuh-musuh Ibn Arabi. Katanya: “Hukum mereka itu hanyalah hukum seekor nyamuk yang hendak meniup sebuah bukit dengan tujuan melenyapkannya dari tempatnya. Sementara angin berhasil melenyapkan ribuan nyamuk, tetapi bukit-bukit itu tetap berdiri dengan kokoh. Bukit-bukit itulah yang menjaga keseimbangan bumi”. (Salahuddin).


                                                        ** & **  

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.