Embun Qolbu.
Dalam
dunia Islam, khususnya sufi, mimpi merupakan tema yang cukup urgen dalam
spiritualitas kehidupan manusia. Dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwatkan
oleh al-Bukhari, disebutkan: “Mimpi itu
datangnya dari Allah sedangkan mimpi khayalan datangnya dari syetan.” Hal
ini dikuatkan pula dalam hadits lain masih seputar mimpi. “Barangsiapa bermimpi melihat aku, maka dia benar-benar mimpi
melihatku. Sebab syetan tidak bisa menyerupaiku.” (HR. at-Tirmidzi).
Dalam
Al Qur’an juga disebutkan: “Dialah
yang menidurkan kamu di malam hari, dan
Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di
siang hari.” (QS. a-An’aam : 60).
Jadi
mimpi merupakan sebagian dari ilham Allah kepada para hamba-Nya. Hanya saja
memang ada mimpi yang muncul dari syetan, juga ada mimpi yang benar yang
disebut dengan “Ar-Ru’yah ash-Shadiqah.”
Ketika bermimpi bertemu Allah, dan yakin bahwa apa yang muncul dalam mimpi itu
adalah Allah, maka itulah memang mimpi yang benar.
Dalam
mimpi itu yang melihat bukan lagi mata kepala tetapi adalah mata hati.
Sebagaimana disebutkan bahwa Allah itu bisa dilihat dengan mata hati di dunia.
Seorang sufi mengatakan dalam tidur ada makna-makna yang tidak dapat dilihat
dalam jaga, antara lain bisa melihat Rasulullah saw., para sahabat, para ulama
salaf yang tidak bisa kita lihat dalam jaga. Begitu juga dalam tidur kita bisa
melihat Allah dan ini merupakan keistimewaan yang agung dan karunia yang suci dari
Allah.
Sufi
Abu Bakr al-Ajiry melihat Allah dalam mimpinya, Allah lalu berfirman kepadanya:
“Mintalah apa kebutuhanmu.” Lalu Abu Bakr memohon: “Ya Allah, ampunilah seluruh
pendusta dari ummat Muhammad saw.” Maka Allah menjawab: “Aku lebih utama
daripada kamu dalam hal ampunan. Karena itu minta saja apa yang kamu butuhkan.”
Abu
Yazid al-Busthami meriwatkan: “Aku bermimpi bertemu Allah lantas aku bertanya
kepadaNya, ‘Bagaimana aku harus menempuh jalan menuju kepadaMu?’.” Allah
menjawab: “Tinggalkan dirimu dan kemarilah!”.
Dikisahkan
pula, bahwa Ahmad bin Hadhrawaih bermimpi melihat Allah, dan Allah Ta’ala
berfirman kepadanya: “Hai Ahmad, setiap orang saling mencari sesuatu dari-Ku
kecuali Abu Yazid. Sebab dia itu mencariKu!”.
Yahya
bin Sa’id al-Qaththan bercerita: “Aku bermimpi melihat Tuhanku, lalu aku
memohon : “Tuhan, berapa lama aku memohon kepadamu, namun belum juga Engkau
kabulkan?” Allah menjawab: “Wahai Yahya, Aku sesungguhnya senang mendengar
suaramu.”
Imam
al-Junaid al-Baghdadi pernah bermimpi: “Aku bermimpi seakan-akan berada di
hadapan Allah. Kemudian Dia berfirman: “Wahai Abul Qasim (al-Junaid), darimana
engkau dapatkan kalam yang engkau ucapkan?” Lalu aku menjawab: “Aku tidak
pernah bicara kecuali yang benar.” Allah berfirman: “Engkau benar!”.
Dalam
kitab Ar-Risalatul Qusyairiyah, ada
bab khusus tentang mimpi. Dalam bab tersebut tidak disebutkan takwil mimpi
sebagaimana diburu banyak orang hingga saat ini, tetapi mengenai
pengalaman-pengalaman mimpi para sufi bersama Rasulullah saw. atau bersama para
sahabat, atau kalangan pendahulunya. Bab ini dimunculkan para sufi untuk
mengetengahkan suatu aspek ruhani dalam mimpi, sebagai Ar-Ru’yah ash-Shadiqah atau mimpi yang benar, dan mengandung hikmah
keagungan. Dan merupakan “saksi” atas perjalanan ruhani si pemimpi sendiri ketika
sedang menuju kepada Allah.
Mimpi
adalah bagian dari keghaiban yang tersingkap, atau disebut bagian dari al-kasyf. Di atas disebutkan bahwa apa
yang muncul dalam tidur kadang-kadang tidak pernah muncul dalam jaga, karena
keterbatasan saat jaga itu sendiri. Banyak makna universal atau penampakan
universal muncul dalam tidur kita. Tetapi hendaknya kita jangan tercengang
lebih jauh. Apabila kita mengalami impian-impian ruhani, sementara kita tidak
mampu mewakili makna impian secara ruhani pula, kita harus bertanya pada orang
sufi, agar penafsiran kita tidak keliru, dan kita pun bebas dari kebingungan.
Bagi para sufi, mimpi apa pun harus dinilai positif, karena para sufi sama
sekali tidak punya su’udhdhan kepada
Allah.
** & **

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.