Embun Qolbu.
Seseorang
atau siapa saja memang harus patuh dan menghormati kedua orang tua kita. Bahkan
suatu dosa besar apabila kita menentang dan menyakiti kedua orang tersebut.
Nabi Ibrahim as. pun tetap tidak ingin menyakiti ayahnya yang tetap membuat ‘industri’
patung berhala. Namun Nabi Ibrahim as. tidak merasa mengalami konflik batin
dalam berhubungan dengan ayahnya, walaupun teologi dan akidahnya berbeda. Nabi
Ibrahim as. tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, sepanjang hayat di dunia,
sementara soal akherat adalah urusan Allah.
Dianjurkan
agar tidak perlu takut, apabila dihadapkan kepada pilihan antara orang tua atau
akidah agama Islam. Prioritas cinta dan ketaatan itu pertama-tama memang harus kepada
Allah dan kepada Rasulullah saw. dulu. Setelah itu barulah kepada kedua orang
tua. Kalau kecintaan kepada kedua orang tua melebihi cinta pada Allah dan
Rasul-Nya, maka kecintaan semacam itu adalah salah besar. Jika terlanjur telah
dihadapkan pada dilema di atas, maka kita hendaknya mesti bicara baik-baik,
sopan dan lembut dengan kedua orang tua kita sendiri di seputar apa yang kita
amalkan, bahwa kita tidak keluar dari rel syari’at. Justru kita jelaskan bahwa
cara itu akan mengamalkan syari’at dengan lebih sepenuh kalbu dan jiwa kita,
sampai pada ujung hakikatnya.
Apabila
kedua orang tua kita tetap tidak mau menerima dan tetap emosi pada kita, maka janganlah
merasa bersalah atau berdosa. Sebab kita telah melakukan tindakan benar, dan kedua
orang tualah yang salah. Untuk itu, dianjurkan agar tetap menjaga hubungan
baik, antara anak dan orang tua, bukan sebagai hubungan ‘keagamaan’. Sambil
terus menerus mendo’akan agar keduanya tetap diampuni oleh Allah dan
dikasihi-Nya, sebagaimana keduanya mengasihani kita diwaktu kita masih kecil,
seperti yang disarankan oleh agama.
Proses
keterbukaan hati hamba Allah memang harus diusahakan oleh hamba itu sendiri.
Tetapi hasil akhir dari keterbukaan itu sendiri bukan urusan hamba, tetapi
sudah jadi hak prerogratif Allah. Hamba tidak punya hak mencampuri urusan
Allah, termasuk misalnya harapan kita agar kedua orang tua kita mengikuti jejak
kita. Usaha ke arah sana boleh-boleh saja bahkan dianjurkan. Tetapi kita justru
berdosa kalau membencinya, karena kedua orang tua tetap tidak mau mengikuti
anjuran kita.
Sebagaimana
seorang da’i ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Kalau para da’i atau mubaligh melakukan dakwahnya dengan sikap amarah, dan
sangat berharap sekali mereka mengikuti kata-kata dan dakwahnya, justru ia
telah melampui batas kewengannya sebagai da’i, karena soal hidayah bukan
urusannya lagi, tetapi itu sudah menjadi urusan Allah. Dengan begitu, maka kita
pun bisa melakukannya dengan jiwa yang ikhlas dan merdeka. Sabar namun tegas.
**
% **

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.