Translate

Sunday, February 12, 2017

PENGEMBANGAN NILAI TASAWUF DALAM MENGHADAPI MODERNISASI


MUHASABAH

Gambaran Keadaan.
Islam sejak kedatangannya telah menanamkan seperangkat nilai-nilai yang mewarnai masyarakat Indonesia dan memberikan pengaruh yang besar dalam bidang politik, sosial dan budaya.

Pada masa kerajaan Islam, terutama di Jawa nilai-nilai Islam itu tidak hanya tertanam dalam perilaku masyarakat tapi juga terlihat pada penataan pembangunan wilayah khususnya di tingkat kabupaten, pembangunan pendopo, alun-alun dan masjid Kauman ditempatkan pada satu lokasi.

Ketika pusat kekuasaan berada di tangan penjajah, penanaman nilai-nilai Islam tidak terhenti dan terus berlanjut karena ulama yang oleh para ahli dikatakan sebagai “cultural broker” berupaya mendirikan pesantren-pesantren di daerah pedalaman dan terus memperkuat kedudukannya sebagai perumus etos sosial yang menjadi dasar kerangka normatif masyarakat. Kondisi semacam ini terus dipertahankan oleh para ulama sampai Indonesia merdeka.

Nilai-nilai ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para ulama ternyata dapat membangkitkan semangat Kebangsaan untuk melepaskan diri dari tangan penjajah sehingga para pemikir Belanda seperti Snouck Horgronje dan Hazaui menganggap Islam bukan hanya sebagai agama yang resmi yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia tetapi juga sebagai simbol kebangsaan. Bila rakyat sudah mulai merasa haknya diinjak, menurut Snouck, maka mereka akan menemukan pemecahannya melalui tuntunan Islam kemudian mereka bergerak, berbuat atau berontak di bawah panji-panji Islam.

Diakhir abad ke-19 dan 20 memang ditandai dengan kecenderungan untuk mempersamakan Islam dengan Bangsa, sehingga Budi Utomo sendiri dalam perumusan rumah tangga dan programnya sekitar tahun 1912 mencantumkan “Memajukan Islam” sebagai salah satu tujuannya.

Setelah Indonesia merdeka peluang untuk menanamkan ajaran Islam semakin terbuka karena hambatan yang datangnya dari penjajah sudah tidak ada dan kalau ada hanyalah hambatan sifatnya politis sebagai akibat dari adanya partai-partai Islam yang oleh sementara pihak, kegiatan-kegiatan Islam dianggap sebagai kegiatan politik. Akan tetapi setelah partai-partai Islam tidak ada maka keadaannya menjadi lain, oleh karena itu kekalahan partai Islam pada Pemilu tahun 1955,1971 dan 1977 serta hilangnya partai Islam tidak boleh diartikan sebagai kekalahan Islam atau hilangnya Islam karena terbukti setelah itu Islam bukan semakin mundur tetapi justru semakin berkembang.

Dewasa ini Islam semakin dituntut utuk berperan lebih besar dalam memberikan arah pada pembangunan nasional terutama setelah Iman dan Taqwa menjadi salah satu asas pembangunan nasional. Namun demikian bukan berarti sudah tidak ada hambatan dan tantangan lagi. Tantangan yang kita hadapi sekarang ini adalah tantangan modernisasi dan kemajuan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), yang tidak hanya membawa hal-hal yang bersifat positif tetapi juga membawa hal-hal yang bersifat negatif, disamping hambatan internal yang datang dari umat Islam sendiri.

Peran Tasawuf.
Pengaruh tasawuf dalam penanaman nilai-nilai di Indonesia sangat besar, baik melalui tarekat maupun non tarekat. Istilah-istilah tasawuf seperti syari’at, tarekat dan hakekat sangat akrab di telinga umat Islam Indonesia, karena umat Islam Indonesia sangat dipengaruhi oleh tuntunan tasawuf. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihya ‘Ulumiddin, Al-Hikam dan lain-lain banyak dipelajari di Indonesia sendiri, baik yang berbahasa Melayu seperti Siyarus Saalikin dan Hidayatus Saalikin karangan Syekh Abdul Shomad Palembang maupun yang berbahasa Arab seperti Maraqil ‘Ubadiyah atau Salalimul Fudhola oleh Syeikh Ikhsan Muhammad Dahlan Jamper Kediri.

Perkembagan tarekat di Indonesia juga cukup besar sehingga mencapai lebih dari 50 aliran tarekat, bahkan di antara tarekat itu ada yang memiliki anggota sampai puluhan juta anggota. Dengan demikian peranan tarekat dalam upaya penanaman nilai-nilai di masyarakat demikian besar, apalagi dalam ajaran tarekat hubungan antara guru dan murid demikian erat dan guru bagi muridnya merupakan panutan yang harus dipatuhi secara mutlak walaupun hal tersebut terkadang dapat menimbulkan pengkultusan yang berlebihan.

Hubungan antara Tasawuf, Fiqih dan Tauhid sangat erat karena ulama-ulama di Indonesia pada masa yang lampau umumnya selain sufi juga fiqih dan pelajaran yang diberikan selalu mencakup ketiga hal tersebut bahkan di antaranya terdapat kitab-kitab yang isinya memuat ketiga pelajaran tersebut terpadu, seperti Kitab Bahjatul Wasail.

Antara Tasawuf, Fiqih dan Tauhid tidak dapat dipisahkan karena ketiganya berasal dari sumber yang sama yaitu Al Qur’an dan Al-Hadits. Menurut Ibnu ‘Ajibah, ‘Seorang sufi tidak boleh ingkar terhadap Fiqih’ dan dikatakan pula oleh Imam Malik bahwa ‘Mantashawwfa walam yatafaqqah faqad tazandaq, waman tafaqqaha walam yatashawwaf faqad tafassaq, waman jama’a baina huma faqad tahaqqad’. (siapa yang bertasawuf tetapi tidak berpegang kepada fiqih maka ia dzindiq (hatinya Islam tetapi batinnya kafir) dan siapa yang berpegang kepada fiqih saja tetapi tidak berpegang kepada tasawuf maka ia fasik dan siapa yang menghimpun keduanya maka ia benar).

Tasawuf di Indonesia ternyata bukan hanya berperan membina kesalehan tetapi juga pernah ikut berperan dalam membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda yaitu perlawanan yang terjadi pada akhir abad ke-19, yang oleh Mr. Sartono Kartodirjo gerakan tersebut dinyatakan sebagai Kebangkitan Agama (Religius Revival) yang ditandai antara lain oleh makin berkembangnya pesantren dan tarekat. Sudah tentu istilah tersebut kurang tepat, karena gerakan ini dilakukan oleh umat Islam maka lebih tepat bila dipergunakan istilah Kebangkitan Islam (Islamic Revival). Dan kebangkitan ini sesungguhnya merupakan embrio dari Kebangkitan Nasional.

Hambatan dan Tantangan.
Hambatan yang dihadapi dalam mempertahankan, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai spiritual ada yang bersifat eksternal dan ada yang bersifat internal.

Hambatan yang bersifat eksternal berupa arus modernisasi dan kemajuan Iptek yang sekarang ini telah berhasil merobek  batas-batas negara, menembus dinding budaya serta membentangkan jaringan hubungan antar bangsa menjadi lebih dekat. Kemajuan Iptek telah menanamkan pengaruhnya begitu luas dalam sistem berpikir yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, di mana kita dituntut untuk berpikir lebih sistematis dan rasional. Di samping itu hampir tidak ada satu budayapun saat ini yang murni tanpa dipengaruhi oleh modernisasi dan kemajuan Iptek. Dan tidak jarang kebiasaan suatu masyarakat dapat berobah dikarenakan pengaruh Iptek. Sebagai contoh; masyarakat Indonesia yang menganggap membuang hajat kecil sambil berdiri itu sesuatu yang tabu, sehingga ada peribahasa yang berbunyi “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Kebiasaan ini bersumber dari tuntunan agama yang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak baik (makruh). Tetapi sekarang ini beberapa tempat seperti hotel-hotel, lapangan terbang, gedung-gedung pertemuan, kantor-kantor terpaksa harus melaksanakan sambil berdiri karena sarananya memaksa kita untuk melakukan seperti itu, dan hal-hal yang sifatnya lebih besar lagi banyak kita jumpai.

Hambatan dan tantangan yang bersifat internal antara lain sikap Umat Islam yang menganggap tasawuf sebagai penyebab kemunduran. Tasawuf itu hanya layak untuk kaum tua dan yang sudah mendekati ajal. Sebagian ada yang tertarik pada tasawuf tetapi hanya pada aspek pemikirannya saja (Tasawuf Falsafi), sehingga tasawuf hanya menjadi bahan perbincangan di seminar-seminar tetapi tidak tercermin dalam perilaku kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat. Sebaliknya di kalangan tasawuf sendiri banyak yang hanya mementingkan aspek amaliahnya saja (Tasawuf ‘Amali) dan sudah tidak memperhatikan aspek pemikirannya. Selain itu dewasa ini ada kecenderungan untuk memisahkan Tasawuf dan Fiqih, oleh karena itu tidak heran apabila antara kalangan tasawuf dan fiqih sering terjadi konflik atau pertentangan.

Tradisi tasawuf yang seharusnya bersikap antisipatif, dinamis dan kreatif telah kehilangan sifat aslinya dan dalam menghadapi setiap persoalan lebih bersikap reaktif bahkan ada kecenderungan memencilkan diri (Isolatif). Tidak jarang sikap isolatif tersebut diperburuk lagi dengan sikap menjauhi duniawi sebagai akibat dari kekeliruan dalam memahami ajaran tasawuf, seruan agar tidak hubuddunya telah disalah-artikan dengan sikap menjauhi dunia.

Pengembangan Nilai-nilai Spiritual.
Arus modernisasi dan perkembangan Iptek yang demikian pesat ternyata telah memberikan pengaruh terhadap kebudayaan umat dan bukan mustahil bila pada gilirannya nilai-nilai yang telah tertanam akan tercabut bila tidak ada upaya untuk memelihara dan mengembangkannya.

Upaya mengembangkan nilai-nilai spiritual sebaiknya tidak hanya dapat bertahan dari pengaruh negatif modernisasi tetapi juga dapat mempengaruhi dan memberikan arah bagi terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang kreatif, dinamis dan agamis (shaleh dan muslih). Upaya-upaya itu antara lain:
Pertama, mengembangkan sifat antisipatif sebagai implementasi dari prinsip al-muhafadhah ‘alal qaminis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang baik serta mengambil yang baru yang lebih baik). Prinsip ini memberikan dorongan untuk bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang positif yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik. Dalam kaitannya dengan modernisasi dan perkembangan teknologi yang dituntut adalah sikap kritis dan selektif.

Kedua, menumbuhkan sikap kreatif sesuai dengan prinsip Iqamatul Maslahah (Membangun Kesejahteraan). Prinsip ini mendorong untuk aktif mencari alternatif dan menghasilkan produk-produk orang lain, yaitu dengan membuat produk sendiri yang pembuatannya tidak hanya berdasarkan Iptek tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran Islam.

Ketiga, memadukan antara Tasawuf ‘Amali dan Tasawuf Falsafi agar terjadi kesimbangan (tawazun) antara nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang bersifat ‘amali secara sosiologis mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam membentuk jatidiri, sedangkan nilai-nilai yang bersifat pemikiran akan memberikan motivasi dan kemantapan dalam pengamalan nilai tersebut serta memberikan jawaban terhadap tuntutan perkembangan modernisasi.

Keempat, memadukan antara Tasawuf, Tauhid dan Fiqih sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dipisahkan agar pemahaman terhadap masalah keagamaan dapat dipahami secara utuh.

Kelima, mengaktualkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam ajaran tasawuf dan memberikan pengertian secara tepat terhadap istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalah-pahaman seperti zuhud, hubuddunya dan lain-lain.

Keenam, mengembangkan nilai-nilai spiritual secara terpadu dengan perkembangan Iptek melalui program alih nilai (tranfers of values), alih terknologi (transfer of technology) dan alih metode (transfer of metodology). (KH. Dr. Ma’ruf Amin).

                                                                ***


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.