MUHASABAH
Gambaran Keadaan.
Islam
sejak kedatangannya telah menanamkan seperangkat nilai-nilai yang mewarnai
masyarakat Indonesia dan memberikan pengaruh yang besar dalam bidang politik,
sosial dan budaya.
Pada
masa kerajaan Islam, terutama di Jawa nilai-nilai Islam itu tidak hanya
tertanam dalam perilaku masyarakat tapi juga terlihat pada penataan pembangunan
wilayah khususnya di tingkat kabupaten, pembangunan pendopo, alun-alun dan
masjid Kauman ditempatkan pada satu lokasi.
Ketika
pusat kekuasaan berada di tangan penjajah, penanaman nilai-nilai Islam tidak
terhenti dan terus berlanjut karena ulama yang oleh para ahli dikatakan sebagai
“cultural broker” berupaya mendirikan
pesantren-pesantren di daerah pedalaman dan terus memperkuat kedudukannya
sebagai perumus etos sosial yang menjadi dasar kerangka normatif masyarakat.
Kondisi semacam ini terus dipertahankan oleh para ulama sampai Indonesia
merdeka.
Nilai-nilai
ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para ulama ternyata dapat membangkitkan
semangat Kebangsaan untuk melepaskan diri dari tangan penjajah sehingga para
pemikir Belanda seperti Snouck Horgronje dan Hazaui menganggap Islam bukan
hanya sebagai agama yang resmi yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia
tetapi juga sebagai simbol kebangsaan. Bila rakyat sudah mulai merasa haknya
diinjak, menurut Snouck, maka mereka akan menemukan pemecahannya melalui
tuntunan Islam kemudian mereka bergerak, berbuat atau berontak di bawah panji-panji
Islam.
Diakhir
abad ke-19 dan 20 memang ditandai dengan kecenderungan untuk mempersamakan
Islam dengan Bangsa, sehingga Budi Utomo sendiri dalam perumusan rumah tangga
dan programnya sekitar tahun 1912 mencantumkan “Memajukan Islam” sebagai salah satu tujuannya.
Setelah
Indonesia merdeka peluang untuk menanamkan ajaran Islam semakin terbuka karena
hambatan yang datangnya dari penjajah sudah tidak ada dan kalau ada hanyalah
hambatan sifatnya politis sebagai akibat dari adanya partai-partai Islam yang
oleh sementara pihak, kegiatan-kegiatan Islam dianggap sebagai kegiatan
politik. Akan tetapi setelah partai-partai Islam tidak ada maka keadaannya
menjadi lain, oleh karena itu kekalahan partai Islam pada Pemilu tahun
1955,1971 dan 1977 serta hilangnya partai Islam tidak boleh diartikan sebagai
kekalahan Islam atau hilangnya Islam karena terbukti setelah itu Islam bukan
semakin mundur tetapi justru semakin berkembang.
Dewasa
ini Islam semakin dituntut utuk berperan lebih besar dalam memberikan arah pada
pembangunan nasional terutama setelah Iman dan Taqwa menjadi salah satu asas
pembangunan nasional. Namun demikian bukan berarti sudah tidak ada hambatan dan
tantangan lagi. Tantangan yang kita hadapi sekarang ini adalah tantangan
modernisasi dan kemajuan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), yang tidak
hanya membawa hal-hal yang bersifat positif tetapi juga membawa hal-hal yang
bersifat negatif, disamping hambatan internal yang datang dari umat Islam
sendiri.
Peran Tasawuf.
Pengaruh
tasawuf dalam penanaman nilai-nilai di Indonesia sangat besar, baik melalui
tarekat maupun non tarekat. Istilah-istilah tasawuf seperti syari’at, tarekat
dan hakekat sangat akrab di telinga umat Islam Indonesia, karena umat Islam
Indonesia sangat dipengaruhi oleh tuntunan tasawuf. Kitab-kitab tasawuf seperti
Ihya ‘Ulumiddin, Al-Hikam dan
lain-lain banyak dipelajari di Indonesia sendiri, baik yang berbahasa Melayu
seperti Siyarus Saalikin dan Hidayatus
Saalikin karangan Syekh Abdul Shomad Palembang maupun yang berbahasa Arab
seperti Maraqil ‘Ubadiyah atau Salalimul Fudhola oleh Syeikh Ikhsan
Muhammad Dahlan Jamper Kediri.
Perkembagan
tarekat di Indonesia juga cukup besar sehingga mencapai lebih dari 50 aliran
tarekat, bahkan di antara tarekat itu ada yang memiliki anggota sampai puluhan
juta anggota. Dengan demikian peranan tarekat dalam upaya penanaman nilai-nilai
di masyarakat demikian besar, apalagi dalam ajaran tarekat hubungan antara guru
dan murid demikian erat dan guru bagi muridnya merupakan panutan yang harus
dipatuhi secara mutlak walaupun hal tersebut terkadang dapat menimbulkan
pengkultusan yang berlebihan.
Hubungan
antara Tasawuf, Fiqih dan Tauhid sangat erat karena ulama-ulama di Indonesia
pada masa yang lampau umumnya selain sufi juga fiqih dan pelajaran yang
diberikan selalu mencakup ketiga hal tersebut bahkan di antaranya terdapat
kitab-kitab yang isinya memuat ketiga pelajaran tersebut terpadu, seperti Kitab Bahjatul Wasail.
Antara
Tasawuf, Fiqih dan Tauhid tidak dapat dipisahkan karena ketiganya berasal dari
sumber yang sama yaitu Al Qur’an dan Al-Hadits. Menurut Ibnu ‘Ajibah, ‘Seorang sufi tidak boleh ingkar terhadap
Fiqih’ dan dikatakan pula oleh Imam Malik bahwa ‘Mantashawwfa walam yatafaqqah faqad tazandaq, waman tafaqqaha walam yatashawwaf
faqad tafassaq, waman jama’a baina huma faqad tahaqqad’. (siapa yang
bertasawuf tetapi tidak berpegang kepada fiqih maka ia dzindiq (hatinya Islam
tetapi batinnya kafir) dan siapa yang berpegang kepada fiqih saja tetapi tidak
berpegang kepada tasawuf maka ia fasik dan siapa yang menghimpun keduanya maka
ia benar).
Tasawuf
di Indonesia ternyata bukan hanya berperan membina kesalehan tetapi juga pernah
ikut berperan dalam membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda
yaitu perlawanan yang terjadi pada akhir abad ke-19, yang oleh Mr. Sartono
Kartodirjo gerakan tersebut dinyatakan sebagai Kebangkitan Agama (Religius Revival) yang ditandai antara lain
oleh makin berkembangnya pesantren dan tarekat. Sudah tentu istilah tersebut kurang
tepat, karena gerakan ini dilakukan oleh umat Islam maka lebih tepat bila
dipergunakan istilah Kebangkitan Islam (Islamic
Revival). Dan kebangkitan ini sesungguhnya merupakan embrio dari
Kebangkitan Nasional.
Hambatan dan Tantangan.
Hambatan
yang dihadapi dalam mempertahankan, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai
spiritual ada yang bersifat eksternal dan ada yang bersifat internal.
Hambatan
yang bersifat eksternal berupa arus modernisasi dan kemajuan Iptek yang
sekarang ini telah berhasil merobek
batas-batas negara, menembus dinding budaya serta membentangkan jaringan
hubungan antar bangsa menjadi lebih dekat. Kemajuan Iptek telah menanamkan
pengaruhnya begitu luas dalam sistem berpikir yang berkaitan dengan
masalah-masalah keagamaan, di mana kita dituntut untuk berpikir lebih
sistematis dan rasional. Di samping itu hampir tidak ada satu budayapun saat
ini yang murni tanpa dipengaruhi oleh modernisasi dan kemajuan Iptek. Dan tidak
jarang kebiasaan suatu masyarakat dapat berobah dikarenakan pengaruh Iptek.
Sebagai contoh; masyarakat Indonesia yang menganggap membuang hajat kecil
sambil berdiri itu sesuatu yang tabu, sehingga ada peribahasa yang berbunyi “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Kebiasaan ini bersumber dari tuntunan agama yang menganggap hal tersebut
sebagai sesuatu yang tidak baik (makruh).
Tetapi sekarang ini beberapa tempat seperti hotel-hotel, lapangan terbang,
gedung-gedung pertemuan, kantor-kantor terpaksa harus melaksanakan sambil
berdiri karena sarananya memaksa kita untuk melakukan seperti itu, dan hal-hal
yang sifatnya lebih besar lagi banyak kita jumpai.
Hambatan
dan tantangan yang bersifat internal antara lain sikap Umat Islam yang
menganggap tasawuf sebagai penyebab kemunduran. Tasawuf itu hanya layak untuk
kaum tua dan yang sudah mendekati ajal. Sebagian ada yang tertarik pada tasawuf
tetapi hanya pada aspek pemikirannya saja (Tasawuf
Falsafi), sehingga tasawuf hanya menjadi bahan perbincangan di
seminar-seminar tetapi tidak tercermin dalam perilaku kehidupan pribadi,
keluarga maupun masyarakat. Sebaliknya di kalangan tasawuf sendiri banyak yang
hanya mementingkan aspek amaliahnya saja (Tasawuf
‘Amali) dan sudah tidak memperhatikan aspek pemikirannya. Selain itu dewasa
ini ada kecenderungan untuk memisahkan Tasawuf dan Fiqih, oleh karena itu tidak
heran apabila antara kalangan tasawuf dan fiqih sering terjadi konflik atau
pertentangan.
Tradisi
tasawuf yang seharusnya bersikap antisipatif, dinamis dan kreatif telah
kehilangan sifat aslinya dan dalam menghadapi setiap persoalan lebih bersikap
reaktif bahkan ada kecenderungan memencilkan diri (Isolatif). Tidak jarang
sikap isolatif tersebut diperburuk lagi dengan sikap menjauhi duniawi sebagai
akibat dari kekeliruan dalam memahami ajaran tasawuf, seruan agar tidak hubuddunya telah disalah-artikan dengan
sikap menjauhi dunia.
Pengembangan Nilai-nilai Spiritual.
Arus
modernisasi dan perkembangan Iptek yang demikian pesat ternyata telah
memberikan pengaruh terhadap kebudayaan umat dan bukan mustahil bila pada
gilirannya nilai-nilai yang telah tertanam akan tercabut bila tidak ada upaya
untuk memelihara dan mengembangkannya.
Upaya
mengembangkan nilai-nilai spiritual sebaiknya tidak hanya dapat bertahan dari
pengaruh negatif modernisasi tetapi juga dapat mempengaruhi dan memberikan arah
bagi terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang kreatif, dinamis dan agamis
(shaleh dan muslih). Upaya-upaya itu antara lain:
Pertama, mengembangkan sifat antisipatif sebagai implementasi
dari prinsip al-muhafadhah ‘alal qaminis
shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang baik serta
mengambil yang baru yang lebih baik). Prinsip ini memberikan dorongan untuk
bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang positif yang tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang
baik. Dalam kaitannya dengan modernisasi dan perkembangan teknologi yang
dituntut adalah sikap kritis dan selektif.
Kedua,
menumbuhkan sikap kreatif sesuai dengan prinsip Iqamatul Maslahah (Membangun Kesejahteraan). Prinsip ini mendorong
untuk aktif mencari alternatif dan menghasilkan produk-produk orang lain, yaitu
dengan membuat produk sendiri yang pembuatannya tidak hanya berdasarkan Iptek
tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran
Islam.
Ketiga,
memadukan antara Tasawuf ‘Amali dan Tasawuf Falsafi agar terjadi kesimbangan (tawazun) antara nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai
yang bersifat ‘amali secara
sosiologis mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam membentuk jatidiri,
sedangkan nilai-nilai yang bersifat pemikiran akan memberikan motivasi dan
kemantapan dalam pengamalan nilai tersebut serta memberikan jawaban terhadap
tuntutan perkembangan modernisasi.
Keempat, memadukan antara Tasawuf, Tauhid dan Fiqih sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dan dipisahkan agar pemahaman terhadap masalah
keagamaan dapat dipahami secara utuh.
Kelima,
mengaktualkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam ajaran tasawuf dan
memberikan pengertian secara tepat terhadap istilah-istilah yang dapat
menimbulkan kesalah-pahaman seperti zuhud,
hubuddunya dan lain-lain.
Keenam,
mengembangkan nilai-nilai spiritual secara terpadu dengan perkembangan Iptek
melalui program alih nilai (tranfers of
values), alih terknologi (transfer of
technology) dan alih metode (transfer
of metodology). (KH. Dr. Ma’ruf Amin).
***

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.