Translate

Sunday, January 8, 2017

MEREKA YANG MENANG.


Muhasabah.
Siapa yang disebut Pemenang?
“Yaitu orang-orang yang beriman dengan ghaib, dan menegakkan shalat dan dari rizki yang telah Kami berikan, mereka memberikan infaq. Dan orang-orang beriman dengan apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelummu, dan mereka itu yakin benar kepada akhirat. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan shalat, maksudnya adalah apa yang ghaib dalam keimanan mereka bersifat tradisional (at-Taqlidi) dan bersifat ilmiah esensial (at-Tahqiqi al-‘ilmi). Iman itupun terbagi dua, Iman Taqlidi dan Iman Ilmi Tahqiqi.

Iman Tahqiqi juga dibagi dua, pertama bersifat Istidlali, yaitu menggunakan pembuktian aksiomatika, kedua bersifat Kasyfi, yaitu melalui pencerahan jiwa. Kedua-duanya berpijak pada garis pengetahuan dan keghaiban.

Iman Taqlidi adalah keyakinan yang kelak disebut dengan Ilmul Yaqin.

Sedangkan Iman Ilmi Tahqiqi, disebut penyaksian nyata atas keyakinan tersebut, yang disebut dengan ‘Ainul Yaqin. Sementara yang bersifat Iman Haqqi, adalah Penyaksian Dzat (asy-Syuhud adz-Ddzati), yang disebut Haqqul Yaqin.

‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, bukan tergolong Iman pada yang ghaib. Iman pada yang ghaib mendorong keharusan pada amal-amal yang bersifat kalbu, yaitu pembersihan jiwa (tazkiyah). Yakni mensucikan hati dari kecenderungan pada kebahagiaan fisik, eksoterikal yang melupakan kebahagiaan abadi.

Kebahagiaan itu sendiri ada tiga, bersifat kekalbuan, bersifat jasadi dan ruang lingkup seputar badan.
Yang bersifat kekalbuan yaitu ma’rifat dan hikmah, kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah serta akhlaq.
Sedangkan yang bersifat badaniyah adalah kesehatan dan kekuatan, kenikmatan-kenikmatan fisik dan kesenangan-kesenangan alami.

Sementara yang berada diruang lingkup badan adalah harta-benda dan ikhtiar, seperti ucapan Amirul Mu’minin as.: “Ingatlah diantara sebagian nikmat itu adalah kemudahan harta. Yang lebih utama lagi dibanding harta adalah kesehatan badan yang bisa menguatkan jiwa.”

Tentu dua nikmat pertama di atas harus dijaga agar terjadi kelangsungan penjagaan pada yang ketiga yang diraihnya melalui zuhud dan ibadah.
Menegakkan shalat adalah meninggalkan urusan badaniah dan kepayahan fisik, yaitu disebut sebagai induk ibadah, dimana amaliyah tersebut menjadi prioritas utama dibanding lainnya.
Shalat sendiri bisa mencegah perbuatan keji dan munkar, karena shalat merupakan beban badan dan nafsu, sekaligus menekan pada fisik dan nafsu itu sendiri. Sedangkan menafkahkan harta yang telah diberikan oleh Allah berarti berpaling dari sekedar kebahagiaan eksoteris yang disenangi nafsu, melalui zuhud. Sebab infaq itu kadang-kadang lebih berat ketimbang pencurahan ruh, karena adanya tekanan terhadap sikap kikir.
“Dan dari rizki yang telah Kami berikan kepada mereka, mereka memberikan infaq.”

Dengan demikian hati terbiasa untuk meninggalkan sikap berlebihan materi, melalui sikap derma, murah-hati dan memberikan harta berkali-kali, melakukan hibah, sedekah, selain yang wajib agar mampu menekan sikap kikir tadi.

Infaq tersebut dianjurkan pada bentuk sebagian harta, dengan tujuan agar seseorang tidak mengobral hartanya dengan memberikan yang secukupnya, agar keutamaan sikap derma tadi tidak terhalangi. Sebab derma itu merupakan bagian dari salah satu Akhlak Allah.
“Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu.”

Iman Tahqiqi yang terbagi tiga hal di atas, maksudnya adalah agar bisa mendisiplinkan amal kekalbuan, yaitu berias diri dengan akhlak, menggelar hati melalui hikmah dan pengetahuan yang telah diturunkan dalam kitab-kitab Ilahiyah, di samping ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hari akhir dan perkara akherat, serta hakikat-hakikat ilmu al-Quds. Dan karena itu Allah berfirman:
“Dan mereka yakin dengan akherat”.

Mereka yang beriman pada akhirat adalah mereka yang tidak melampui batas penyucian dan tidak sampai pada periasan jiwa yang menjadi buahnya, sebagaiman sabda Nabi saw.: “Siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah akan mewarisi pengetahuan yang tidak pernah diketahuinya.”

Sedangkan Ahlullah yang yakin secara keseluruhan adalah mereka yang senantiasa terbimbing petunjuk Tuhan mereka, kadang tertuju kepada-Nya, kadang pada rumah-Nya, yaitu rumah keselamatan, keanugerahan, pahala dan kelembutan. Merekalah disebut para pemenang. Bukan kalangan lain, seperti kalangan tersiksa atau terhijabi dengan Allah.

Allah selanjutnya berfirman: “Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Mohd. Luqman Hakiem).

                                                           **%**


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.