Muhasabah.
Siapa
yang disebut Pemenang?
“Yaitu
orang-orang yang beriman dengan ghaib, dan menegakkan shalat dan dari rizki
yang telah Kami berikan, mereka memberikan infaq. Dan orang-orang beriman
dengan apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan
sebelummu, dan mereka itu yakin benar kepada akhirat. Mereka itulah orang-orang
yang diberi petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan.”
Orang-orang
yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan shalat, maksudnya adalah apa
yang ghaib dalam keimanan mereka bersifat tradisional (at-Taqlidi) dan bersifat ilmiah esensial (at-Tahqiqi al-‘ilmi). Iman itupun terbagi dua, Iman Taqlidi dan Iman Ilmi
Tahqiqi.
Iman Tahqiqi juga dibagi dua, pertama bersifat Istidlali, yaitu menggunakan pembuktian aksiomatika, kedua bersifat
Kasyfi, yaitu melalui pencerahan
jiwa. Kedua-duanya berpijak pada garis pengetahuan dan keghaiban.
Iman Taqlidi adalah keyakinan yang kelak disebut dengan Ilmul Yaqin.
Sedangkan
Iman Ilmi Tahqiqi, disebut penyaksian
nyata atas keyakinan tersebut, yang disebut dengan ‘Ainul Yaqin. Sementara yang bersifat Iman Haqqi, adalah Penyaksian
Dzat (asy-Syuhud adz-Ddzati), yang
disebut Haqqul Yaqin.
‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin,
bukan tergolong Iman pada yang ghaib. Iman pada yang ghaib mendorong keharusan
pada amal-amal yang bersifat kalbu, yaitu pembersihan jiwa (tazkiyah). Yakni mensucikan hati dari
kecenderungan pada kebahagiaan fisik, eksoterikal yang melupakan kebahagiaan
abadi.
Kebahagiaan
itu sendiri ada tiga, bersifat kekalbuan, bersifat jasadi dan ruang lingkup
seputar badan.
Yang
bersifat kekalbuan yaitu ma’rifat dan
hikmah, kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah serta akhlaq.
Sedangkan
yang bersifat badaniyah adalah kesehatan dan kekuatan, kenikmatan-kenikmatan
fisik dan kesenangan-kesenangan alami.
Sementara
yang berada diruang lingkup badan adalah harta-benda dan ikhtiar, seperti
ucapan Amirul Mu’minin as.: “Ingatlah diantara sebagian nikmat itu adalah
kemudahan harta. Yang lebih utama lagi dibanding harta adalah kesehatan badan
yang bisa menguatkan jiwa.”
Tentu
dua nikmat pertama di atas harus dijaga agar terjadi kelangsungan penjagaan
pada yang ketiga yang diraihnya melalui zuhud
dan ibadah.
Menegakkan
shalat adalah meninggalkan urusan badaniah dan kepayahan fisik, yaitu disebut
sebagai induk ibadah, dimana amaliyah
tersebut menjadi prioritas utama dibanding lainnya.
Shalat
sendiri bisa mencegah perbuatan keji dan munkar, karena shalat merupakan beban
badan dan nafsu, sekaligus menekan pada fisik dan nafsu itu sendiri. Sedangkan
menafkahkan harta yang telah diberikan oleh Allah berarti berpaling dari
sekedar kebahagiaan eksoteris yang disenangi nafsu, melalui zuhud. Sebab infaq
itu kadang-kadang lebih berat ketimbang pencurahan ruh, karena adanya tekanan
terhadap sikap kikir.
“Dan dari rizki yang telah Kami berikan
kepada mereka, mereka memberikan infaq.”
Dengan
demikian hati terbiasa untuk meninggalkan sikap berlebihan materi, melalui
sikap derma, murah-hati dan memberikan harta berkali-kali, melakukan hibah,
sedekah, selain yang wajib agar mampu menekan sikap kikir tadi.
Infaq
tersebut dianjurkan pada bentuk sebagian harta, dengan tujuan agar seseorang
tidak mengobral hartanya dengan memberikan yang secukupnya, agar keutamaan
sikap derma tadi tidak terhalangi. Sebab derma itu merupakan bagian dari salah
satu Akhlak Allah.
“Dan orang-orang yang beriman terhadap
apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu.”
Iman
Tahqiqi yang terbagi tiga hal di atas, maksudnya adalah agar bisa
mendisiplinkan amal kekalbuan, yaitu berias diri dengan akhlak, menggelar hati
melalui hikmah dan pengetahuan yang telah diturunkan dalam kitab-kitab
Ilahiyah, di samping ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hari akhir dan perkara
akherat, serta hakikat-hakikat ilmu al-Quds. Dan karena itu Allah berfirman:
“Dan
mereka yakin dengan akherat”.
Mereka
yang beriman pada akhirat adalah mereka yang tidak melampui batas penyucian dan
tidak sampai pada periasan jiwa yang menjadi buahnya, sebagaiman sabda Nabi
saw.: “Siapa yang mengamalkan ilmunya,
Allah akan mewarisi pengetahuan yang tidak pernah diketahuinya.”
Sedangkan
Ahlullah yang yakin secara
keseluruhan adalah mereka yang senantiasa terbimbing petunjuk Tuhan mereka,
kadang tertuju kepada-Nya, kadang pada rumah-Nya, yaitu rumah keselamatan,
keanugerahan, pahala dan kelembutan. Merekalah disebut para pemenang. Bukan
kalangan lain, seperti kalangan tersiksa atau terhijabi dengan Allah.
Allah
selanjutnya berfirman: “Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.”
(Mohd. Luqman Hakiem).
**%**

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.