Embun Qolbu.
Pancaran matahati (Syu’aaul Bashirah), mempersaksikan pada anda, betapa dekatNya Dia
pada anda. Sedangkan kenyataan Matahati (‘ainul
Bashirah) itu sendiri mempersaksikan pada anda, betapa anda sesungguhnya
tiada, karena AdaNya. Adapun hakikat matahati (haqqul bashirah) mempersaksikan pada anda WujudNya, bukan ketiadaan anda, juga bukan wujud anda. Allah
ada, dan tiada sesuatu pun yang menyertaiNya, dan Dia saat ini, sebagaimana
AdaNya.
Hikmah
ini menegaskan betapa dekatnya Allah dengan kita semua. Kedekatan Allah itu
dipandang oleh hamba, menurut perspektif matahatinya masing-masing. Ada yang
memandangnya dengan Ilmul Yaqin,
dengan produk pandangan dan keseimbangan tertentu, begitu juga ketika
memandangnya dengan ‘ainul yaqin,
bahkan dengan haqqul yagin.
Pandangan
matahatinya juga demikian. Ketika pancaran matahati kita melihat kedekatan
Allah Ta’ala, akan menyimpulkan betapa Allah itu Maha Dekat, tiada jarak dan
batas dengan kita. Pancaran itu merupakan cahaya akal kita yang menunjukkan
pada keimanan yang bertumpu dan berpangkal pada penetapan dalam posisiNya,
sekaligus menafikan segala hal yang tidak relevan denganNya.
Karena
itu jika seseorang memandang di cakrawala qalbunya, pastilah ia akan memandang
kedekatanNya, kemudian hamba akan terus-menerus memfokuskan qalbu itu agar
memandang kedekatan itu melalui Muroqobah
kepadaNya. Sampai akhirnya keimanan hamba menjadi sempurna penuh, maka sang
hamba akan memasuki tahap berikutnya, yaitu terbukanya kenyataan matahati,
sampai seluruh kedekatan itu sendiri meliputi dirinya dalam pengetahuannya.
Pada saat itulah sang hamba menegaskan bahwa, semua itu hakekatnya tidak ada,
karena yang ada hanyalah Al-Haq, Allah
Ta’ala.
Apa
yang dipandang oleh matahati dengan apa adanya disebut sebagai ‘Ainul Haqiqat, atau kenyataan
sebenarnya, yang bersimpul bahwa kenyataan hakiki adalah Adanya Allah, dan yang
lain tiada. Dalam tahap inilah disebut sebagai Al-Fana’ (ketiadaan diri kita).
Kesadaraan akan kefanaan diri menggambarkan bahwa diri kita adalah membutuhkan
yang sesungguhnya ada, yaitu Allah Ta’ala. Inilah yang disebut sebagai Cahaya Iman (Nurul Iman) yang menunjukkan pada praktek hakikat. Buah dari
praktek hakikat ini adalah meninggalkan ikut campur Urusan Allah, yakni dengan
cara kepasrahan pada apapun yang sudah diatur oleh Allah pada dirinya. Apabila
pancaran Cahaya Iman ini mengkristal dalam suatu titik akhir, sang hamba akan
berpindah pada pandangan yang tidak lagi bisa diungkapkan, kecuali bahwa
dirinya tidak ada, dan juga tidak tiada, karena semuanya apa saja, bermuara
pada Allah Ta’ala.
Itulah
yang disebut sebagai Haqqul Yaqin
atau Maqom Al-Baqo’, bahwa Allahlah
yang abadi, yang Ada, dan segalanya tiada, termasuk kesadaran diri kita telah
sirna dalam AdaNya dan Kemaha-abadianNya (Baqo’Nya).
Tahap
ini juga disebut sebagai Haqqul Bashirah,
Haqqul Yaqin atau Al-Baqo’,
berupa Cahaya Hakikat. Allah yang Wujud, dan segala yang ada ini, menjadi sirna
dengan WujudNya, yang baru sirna dengan datangnya yang Qadim.
Ibnu
Araby menegaskan: “Siapa yang menyaksikan makhluk, dimana makhluk tidak
memiliki keaktifan, berarti ia telah mendapatkan kebahagiaan. Siapa yang
melihat makhluk, dimana mereka tidak memiliki hidup, berarti ia telah datang
berjalan melintasinya. Dan siapa yang melihat makhluk sebagai kenyataan dari
ketiadaan, maka sesungguhnya ia telah sampai kepadaNya”.
Karena
itu Allah tidak disertai oleh apapun, selama-lamaNya, sebagaimana Dia tidak
disertai di zaman Azali dahulu.
Karena Allah adalah Esa, dengan Ketunggalan dan kesendirianNya, baik Azali maupun Abadi.
Sebagian
Sufi pernah ditanya: “Dimanakah Allah? Lalu dijawab: ‘Dia ada sebelum tempat
diciptakan’. Lalu sekarang bagaimana keadaanNya? Dijawab: ‘Sebagaimana adaNya
sekarang’. Artinya Allah tidak diketahui dengan ‘Dimana’ dan tidak pula
diketahui dengan ‘Keadaan semesta’ “. (M. Luqman Hakim).
**&**

No comments:
Post a Comment
Silahkan tulis saran dan kritik anda.