Translate

Wednesday, August 30, 2017

PANCARAN FANA DAN BAQO’.

Embun Qolbu.
Pancaran matahati (Syu’aaul Bashirah), mempersaksikan pada anda, betapa dekatNya Dia pada anda. Sedangkan kenyataan Matahati (‘ainul Bashirah) itu sendiri mempersaksikan pada anda, betapa anda sesungguhnya tiada, karena AdaNya. Adapun hakikat matahati (haqqul bashirah) mempersaksikan pada anda WujudNya, bukan  ketiadaan anda, juga bukan wujud anda. Allah ada, dan tiada sesuatu pun yang menyertaiNya, dan Dia saat ini, sebagaimana AdaNya.

Hikmah ini menegaskan betapa dekatnya Allah dengan kita semua. Kedekatan Allah itu dipandang oleh hamba, menurut perspektif matahatinya masing-masing. Ada yang memandangnya dengan Ilmul Yaqin, dengan produk pandangan dan keseimbangan tertentu, begitu juga ketika memandangnya dengan ‘ainul yaqin, bahkan dengan haqqul yagin.


Pandangan matahatinya juga demikian. Ketika pancaran matahati kita melihat kedekatan Allah Ta’ala, akan menyimpulkan betapa Allah itu Maha Dekat, tiada jarak dan batas dengan kita. Pancaran itu merupakan cahaya akal kita yang menunjukkan pada keimanan yang bertumpu dan berpangkal pada penetapan dalam posisiNya, sekaligus menafikan segala hal yang tidak relevan denganNya.

Karena itu jika seseorang memandang di cakrawala qalbunya, pastilah ia akan memandang kedekatanNya, kemudian hamba akan terus-menerus memfokuskan qalbu itu agar memandang kedekatan itu melalui Muroqobah kepadaNya. Sampai akhirnya keimanan hamba menjadi sempurna penuh, maka sang hamba akan memasuki tahap berikutnya, yaitu terbukanya kenyataan matahati, sampai seluruh kedekatan itu sendiri meliputi dirinya dalam pengetahuannya. Pada saat itulah sang hamba menegaskan bahwa, semua itu hakekatnya tidak ada, karena yang ada hanyalah Al-Haq, Allah Ta’ala.

Apa yang dipandang oleh matahati dengan apa adanya disebut sebagai ‘Ainul Haqiqat, atau kenyataan sebenarnya, yang bersimpul bahwa kenyataan hakiki adalah Adanya Allah, dan yang lain tiada. Dalam tahap inilah disebut sebagai Al-Fana’ (ketiadaan diri kita). Kesadaraan akan kefanaan diri menggambarkan bahwa diri kita adalah membutuhkan yang sesungguhnya ada, yaitu Allah Ta’ala. Inilah yang disebut sebagai Cahaya Iman (Nurul Iman) yang menunjukkan pada praktek hakikat. Buah dari praktek hakikat ini adalah meninggalkan ikut campur Urusan Allah, yakni dengan cara kepasrahan pada apapun yang sudah diatur oleh Allah pada dirinya. Apabila pancaran Cahaya Iman ini mengkristal dalam suatu titik akhir, sang hamba akan berpindah pada pandangan yang tidak lagi bisa diungkapkan, kecuali bahwa dirinya tidak ada, dan juga tidak tiada, karena semuanya apa saja, bermuara pada Allah Ta’ala.

Itulah yang disebut sebagai Haqqul Yaqin atau Maqom Al-Baqo’, bahwa Allahlah yang abadi, yang Ada, dan segalanya tiada, termasuk kesadaran diri kita telah sirna dalam AdaNya dan Kemaha-abadianNya (Baqo’Nya).

Tahap ini juga disebut sebagai Haqqul Bashirah, Haqqul Yaqin atau Al-Baqo’, berupa Cahaya Hakikat. Allah yang Wujud, dan segala yang ada ini, menjadi sirna dengan WujudNya, yang baru sirna dengan datangnya yang Qadim.

Ibnu Araby menegaskan: “Siapa yang menyaksikan makhluk, dimana makhluk tidak memiliki keaktifan, berarti ia telah mendapatkan kebahagiaan. Siapa yang melihat makhluk, dimana mereka tidak memiliki hidup, berarti ia telah datang berjalan melintasinya. Dan siapa yang melihat makhluk sebagai kenyataan dari ketiadaan, maka sesungguhnya ia telah sampai kepadaNya”.

Karena itu Allah tidak disertai oleh apapun, selama-lamaNya, sebagaimana Dia tidak disertai di zaman Azali dahulu. Karena Allah adalah Esa, dengan Ketunggalan dan kesendirianNya, baik Azali maupun Abadi.

Sebagian Sufi pernah ditanya: “Dimanakah Allah? Lalu dijawab: ‘Dia ada sebelum tempat diciptakan’. Lalu sekarang bagaimana keadaanNya? Dijawab: ‘Sebagaimana adaNya sekarang’. Artinya Allah tidak diketahui dengan ‘Dimana’ dan tidak pula diketahui dengan ‘Keadaan semesta’ “. (M. Luqman Hakim).

                                                          **&**


No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis saran dan kritik anda.